Rabu, 08 Juli 2009

Ketika Cinta Bertasbih II (bab 9 - 15)

BERTEMU IBU
Sebelum sulur cahaya fajar mekar, Toyota Fortuner itu sudah sampai
Tugu Kartasura. Jalanan masih sepi dan lengang. Hanya sesekali satu
dua mobil dan bus Sumber Kencono melesat memecah keheningan.
Fortuner itu mengambil jalan ke kanan, ke arah Jogja, melaju dengan
tenang. Sebelum sampai markas Kopasus belok kanan masuk dukuh
Sraten yang masuk dalam wilayah Pucangan, Kartasura.
Rumah-rumah masih rapat menutup pintu dan jendelanya. Hanya
beberapa rumah saja yang sudah membuka pintunya tanda sang
penghuninya sudah siap beraktivitas. Mereka yang telah membuka
pintu di hari masih gelap seperti itu biasanya adalah para bakul yang
harus sampai di pasar sebelum subuh tiba. Kecuali sebuah rumah tak
begitu jauh dari masjid Al Mannar. Itu adalah rumah kelahiran
Khairul Azzam. Sejak jam tiga Lia dan ibunya telah bangun dan
menyiapkan segalanya menyambut kepulangan Azzam.
Hati Azzam bergetar. Rumahnya masih seratus meter lagi, tapi ia
seperti telah mencium bau wangi ibunya. Ibu yang sangat
Edited by : Bo155 Bon-q97
dicintainya, telah sembilan tahun berpisah lamanya. Matanya basah.
Diujung dua matanya air matanya meleleh.
Saat cahaya fajar perlahan mulai mekar, fajar keharuan luar biasa
mekar di hati Azzam. Fortuner itu berhenti di halaman rumahnya. Bu
Nafis dan Lia sudah berdiri di beranda. Azzam turun dengan derai air
mata yang tak bisa ditahannya.
"Bue...!"
Ia bergegas mencium tangan ibunya lalu memeluk ibunya penuh
cinta. Tangis bahagia Azzam tak tertahan lagi. Tangis pertemuan
seorang anak dengan orang yang telah melahirkan, merawat dan
mengajarkannya kebaikan, setelah sekian tahun lamanya ditinggal
pergi.
Ibunya juga menangis bersedu-sedan. Tangis kerinduan yang
memuncak dan tertahan bertahun-tahun lamanya. Azzam
sesenggukan dalam pelukan ibunya. Lia, Husna, Eliana bahkan Pak
Marjuki menitikkan air mata.
"Kau akhirnya pulang juga Nak."
"Iya Bu."
"Kau kurus Nak."
"Tidak apa-apa Bu. Alhamdulillah Azzam sehat."
"Iya Alhamdulillah."
Azan Subuh memecah keheningan. Sesaat lamanya Azzam
berpelukan dengan ibunya. Setelah cukup lama, ia melepaskan
Edited by : Bo156 Bon-q97
pelukan ibunya dan memeluk Lia dengan penuh kasih sayang. Lia tak
kuasa menahan tangis. Air mata Azzam terus mengalir.
"Kau sudah besar Dik." Ujar Azzam sambil menatap wajah Lia yang
basah dengan air mata.
Lia hanya mengangguk. Karena keharuan luar biasa Lia tidak mampu
berkata-kata. Setelah mencium ubun ubun kepala adiknya yang
dibalut jilbab biru tua Azzam melepas pelukannya. Husna dan Eliana
menyalami dan mencium tangan Bu Nafis. Sementara Azzam dan
Pak Marjuki menurunkan barang-barang.
Mereka semua lalu masuk ke dalam rumah. Azzam mengamat-amati
keadaan rumahnya dengan hati penuh bahagia. Tak ada yang
berubah, masih seperti semula saat sembilan tahun lalu ia tinggalkan.
Hanya saja rumah itu semakin tampak kusam dan tua.
"Inilah rumah kami Mbak Eliana. Rumah orang desa, gubuk reot, tak
seperti rumah orang kota." Kata Husna. Ketika Husna menyebut
Eliana, Bu Nafisah mendongakkan kepala. Ia baru sadar kalau yang
ada di hadapannya adalah Eliana yang terkenal itu. Sejak jam tiga
konsentrasinya hanyalah pada Azzam saja.
"Jadi ini tho yang namanya Eliana. Masya Allah, terima kasih ya Nak
sudi mampir ke gubug reot ini." Kata Bu Nafis.
"Iya Bu, saya Eliana. Keluarga saya biasa memanggil saya El. Mm...
kebetulan dari Cairo saya bareng sama Mas Irul. Iya di Cairo ia lebih
dikenal dengan sebutan Irul atau Khairul. Terus kemarin kok ya di
Graha Bhakti Budaya bertemu lagi. Saya sangat terkejut ternyata
salah seorang peraih penghargaan bergengsi itu Husna, adiknya Mas
Irul. Terus saya punya agenda ke Solo. Akhirnya ya bareng saja kan
lebih enak. Oh ya kenalkan ini paman saya. Pak Marjuki Abbas
namanya." Jelas Eliana tenang.
Edited by : Bo157 Bon-q97
Lia keluar membawa nampan berisi wedang jahe. Husna membantu
meletakkan wedang jahe itu ke meja. Lia masuk lagi dan
mengeluarkan mendoan hangat dan tape goreng hangat.
"Wah, ini pas sekali. Yang seperti ini nih yang saya kangeni." Ujar
Pak Marjuki.
"Iya Pak monggo, silakan. Ya namanya juga kampung. Adanya ya
cuma makanan seperti ini." Sahut Bu Nafis.
"Agenda apa di Solo Mbak, kalau boleh tahu?" Tanya Lia pada
Eliana.
"Pertama ingin melihat-lihat kota Solo. Saya kan belum pernah ke
Solo. Kalau paman ini sudah hafal. Lha dulu SMA dia di Solo. Lebih
spesifik lagi saya ingin melihat tempat untuk syuting. Kedua saya
punya Bude di daerah Gemolong. Saya ingin bersilaturrahmi ke
rumah Bude. Sebab belum sekali pun saya bersilaturrahmi ke sana.
Padahal Bude dan anak-anaknya sudah beberapa kali ke Jakarta. Ya
alhamdulillah saya juga bersilaturrahmi ke rumahnya Mas Irul ini."
Jelas Eliana.
"Oh ya Mbak. Mumpung bertemu saya mau klarifikasi langsung saja.
Saat ini penduduk di kampung ini sedang geger lho Mbak. Ini garagara
wawancara Mbak dengan para wartawan di bandara itu lho.
Wawancara itu kan diputar berulang-ulang di hampir semua televisi
swasta. Di situ Mbak kan bilang pria paling dekat dengan Mbak
adalah Mas Khairul Azzam. Opini yang berkembang di masyarakat
adalah Mas Azzam itu pacarnya Mbak. Apa benar itu Mbak?" Tanya
Lia dengan ceplas-ceplos dan gamblang.
Eliana tersenyum. Ia memandang Azzam yang duduk agak di dekat
dengan pintu.
Edited by : Bo158 Bon-q97
"Tanya aja sama dia. Kalau dia ngaku pacar saya ya bagaimana lagi.
Kalau tidak ya bagaimana lagi." Jawab Eliana diplomatis sambil
memberi isyarat ke arah Azzam. Azzam diam saja.
"Bagaimana Kak sesungguhnya?" Desak Lia pada Azzam.
"Ah kayak begitu kok dibahas. Ya mudahnya begini saja. Saat di
wawancara itu nggak apa-apalah saya ini pacarnya Eliana. Ya hitunghitung
saya sedekah menjaga nama baik dalam tanda petik pamor
Eliana. Kan di dunia artis itu seolah-olah aib kalau tidak punya
pacar. Kayaknya kok tidak laku begitu. Jadi saya ini ya bemper lah
saat itu. Kalau di luar wawancara ya biasa saja. Tidak ada hubungan
apa-apa. Kamu apa tidak lihat tho Dik, apa sudah gila Eliana punya
pacar kayak saya. Artis-artis atau pengusaha yang ganteng-ganteng
dan kaya kan masih banyak. " Azzam menjelaskan dengan tenang.
"Ah Mas Irul, jangan segitunya merendah tho Mas. Jujur ya saat di
bandara itu memang saya menjawab pertanyaan wartawan asal saja.
Habis bagaimana, kan saat itu masih lelah. Pusing amat dengan
wartawan. Tapi sesungguhnya saya melihat ada sesuatu dalam diri
Mas Irul yang saya kagumi Mas. Jujur saya ini sedang dalam proses
mencari makna hidup. Dan saya paham hidup tidak mungkin
sendirian terus. Pendamping hidup itu penting. Saya sedang mencari,
terus terang pendamping hidup yang bisa saya ajak hidup sampai tua.
Saya, jujur, sudah bosan bergonta-ganti pacar. Sudah saatnya saya
mencari pasangan hidup, atau belahan jiwa. Bukan pacar. Maka
dalam wawancara kemarin saya tidak menyebut pacar. " Eliana
menjelaskan pandangannya sedikit tentang apa yang sedang ia cari.
Iqamat dikumandangkan. Azzam mengajak Pak Marjuki ke masjid.
Husna mempersilakan Eliana mengambil air wudhu. Sementara Bu
Nafis masih duduk menikmati rasa bahagianya. Ia merasakan
kebahagiaan yang tidak bisa dihargai dengan seluruh isi dunia
sekalipun. Kebahagiaan itu adalah kebahagiaan kembalinya Azzam
Edited by : Bo159 Bon-q97
setelah sembilan tahun tak pernah bertemu kecuali lewat surat,
mimpi dan telepon.
Pagi seperti bergetar. Selesai shalat subuh puluhan tetangga
berdatangan. Awalnya ibu-ibu dan bapak-bapak jamaah subuh
masjid Al Mannar. Tak lama kemudian para tetangga yang tidak
shalat subuh berjamaah. Kabar Azzam telah pulang langsung
menyebar. Dan kabar Eliana yang mengantar Azzam membuat pagi
itu seperti bergetar. Puluhan orang ingin membuktikan dengan mata
dan kepala sendiri bahwa kabar itu benar. Banyak ibu muda yang
datang bukan semata karena menjenguk Azzam yang pulang. Tapi
karena ingin bertemu dan berfoto bareng Eliana.
Sebenarnya, selesai shalat Subuh Eliana langsung ingin jalan. Tapi
Bu Nafisah menahan, "Ibu tidak ridha kalau pergi sebelum mandi di
rumah ini dan belum sarapan di sini." Akhirnya Eliana mengalah. Ia
akhirnya terpaksa mandi dan sarapan di rumah Azzam. Eliana ganti
pakaian di kamar Husna. Kamar yang sederhana. Tapi rapi, bersih
menebar rasa cinta siapa saja yang masuk ke dalamnya. Meskipun
sederhana tapi kamar itu membuat betah siapa saja yang
memasukinya. Demikian juga Eliana.
"Ini kamar penulis besar." Desis Eliana pada dirinya sendiri. Ia jadi
merasa malu pada Husna. Ia merasa hanya menang popularitas dan
mungkin menang cantik belaka. Ia belum memiliki karya buah
pikiran dan tangannya. Sementara Husna sudah melahirkan puluhan
cerpen. Di rumah Azzam ia seperti melihat dunia dari sisi yang lain,
Ia melihat rumah Azzam adalah rumah prestasi. Dan rumah prestasi
tidak harus mewah dan megah.
Ketika para tetangga berdatangan dan kaum lelakinya merangkul
Azzam dengan penuh haru dan penuh kasih sayang, Eliana diamdiam
iri pada Azzam. Iri pada ikatan persaudaraan yang sedemikian
kuatnya di kampung itu. Itu yang tidak ia dapati di lingkungan
Edited by : Bo160 Bon-q97
perumahan mewahnya di Jakarta. Tak ada yang peduli ia mau apa,
dari mana dan sedang apa. Tak ada yang peduli ia sedih atau bahagia.
Tapi di sini, kepulangan Azzam tidak hanya milik keluarganya yang
telah menunggu sekian tahun lamanya.
Bukan hanya kebahagiaan dan haru keluarga ibu Nafis saja,
melainkan kebahagiaan seluruh masyarakat sekitar rumah Azzam.
Azzam adalah bagian dari mereka. Cara hidup yang penuh
persaudaraan seperti itulah yang sebenarnya didambakan Eliana.
Pagi itu, orang-orang silih berganti berdatangan ke rumah Azzam.
Tidak hanya rasa haru dan bahagia yang mereka rasakan. Ada sedikit
rasa penasaran di hati mereka. Mereka selalu menanyakan kabar
Azzam dan seseorang yang menyertainya saat keluar dari bandara,
yaitu Eliana. Jadilah Eliana menemani Azzam menemui para
tetangganya. Husna ikut menemani. Sementara Bu Nafis dan Lia
sibuk membuat minuman dan menyiapkan sarapan. Pak Marjuki
minta diri tidur di kamar Azzam. Semalam suntuk dia tidak tidur. Ia
mengendarai mobil kira-kira dua belas jam. Tiap tiga jam istirahat.
Begitu terus sampai akhirnya sampai Solo. Maka selepas dari masjid
ia langsung tidur.
"Maaf Mbak Eliana, saya pengagum Mbak lho. Sinetron Dewi-Dewi
Cinta tak pernah saya lewatkan. Kalau boleh tahu kapan rencana
pernikahan Mbak Eliana dengan Mas Azzam?" Seorang perempuan
muda dengan mata berbinar-binar. Perempuan itu seolah tidak
percaya kalau Eliana ada di hadapannya.
Mendengar pertanyaan itu Eliana dan Azzam berpandangpandangan.
Azzam mengangkat kedua bahunya dan berekspresi yang
mengisyaratkan ia tidak tahu jawabannya, ia minta Eliana saja yang
menjawab. Eliana sendiri bingung harus bagaimana menjawabnya.
Edited by : Bo161 Bon-q97
Husna tahu kebingungan dua orang itu, maka ia mencoba membantu
dengan berkata,
"Ya ini kan baru ikhtiar Mbak. Belum final. Kalau jodoh ya pasti
akan ditemukan Allah. Pokoknya jangan khawatir nanti kalau Mas
Azzam menikah Mbak kami beri tahu dan kami undang."
Eliana langsung menimpali kata-kata Husna itu dengan mengatakan,
"Iya benar." Perempuan muda itu lalu minta foto bareng Eliana dan
Azzam. Ia juga minta tanda tangan di buku agendanya. Lalu pergi
dengan rasa puas di hati.
Jam sembilan sarapan siap. Bu Nafis dan Lia menghidangkan nasi
rojolele yang pulen wangi. Lauknya pecel, rempeyek, tempe goreng,
lele goreng dan cethol15 goreng yang renyah.
"Mbak Eliana, ini cethol asli waduk Cengklik. Sangat gurih rasanya.
Sangat pas untuk lauk pecel. Coba rasakan pasti nanti ketagihan."
ujar Lia sambil menuang teh ke dalam cangkir.
Eliana tersenyum. Aroma nasi rojolele itu membuat nafsu makannya
terbit. Pak Marjuki yang lebih duluan mengambil nasi pecel dan
cethol goreng, langsung menyantap dengan lahap.
"Wah kalau ini benar-benar beda. Uenak betul!"
Bu Nafis tersenyum mendengarnya. Eliana mengambil nasi, pecel,
cethol, dan tempe. Suapan pertama ia langsung mengacungkan
jempol pada Lia. Azzam paling banyak mengambil nasi. Ia sangat
rindu dengan masakan ibunya. Rasanya ia ingin menghabiskan
semua itu sendirian saja. Azzam makan dengan sangat lahap seperti
15 Cethol adalah sebutan untuk ikan kecil-kecil sebesar jari kelingking atau jari
telunjuk tapi bukan ikan Teri. Banyak ditemukan di waduk Cengklik, Boyolali.
Edited by : Bo162 Bon-q97
orang kelaparan.
"Wah yang paling menikmati kayaknya Mas Irul ini." Ucap Eliana
sambil mengunyah cethol gorengnya.
"Mm... iya, soalnya ini masakan ada bumbu cinta dan rindunya. Jadi
sangat nikmat." Jawab Azzam sambil mencomot tempe goreng di
depannya.
Di tengah-tengah asyiknya sarapan, sebuah sedan datang dan parkir
di belakang mobil Fortuner. Melihat mobil itu Husna langsung
berseru,
"Itu Anna datang!"
Mendengar nama Anna, dada Azzam sedikit bergetar. Entah kenapa.
Meskipun ia tidak yakin kalau yang datang Anna Althafunnisa. Maka
Azzam langsung bertanya pada adiknya, "Anna siapa?"
"Anna Althafunnisa. Dia mahasiswi Cairo. Mungkin kakak kenal."
"Ya. Aku kenal." Sahut Azzam menahan getar di hatinya. Tiba-tiba
ia teringat lamarannya untuk Anna yang ia sampaikan lewat Ustadz
Mujab ditolak. Bukan ditolak oleh Anna, tapi ditolak Ustadz Mujab
karena Anna sudah dilamar oleh Furqan, sahabatnya sendiri.
Memang apa yang dilakukan Ustadz Mujab benar. Sebab seorang
muslim tidak boleh melamar seseorang yang telah dilamar oleh
saudaranya.
"Wah kok kebetulan ya. Orang-orang Cairo pada ngumpul di sini.
Aku dengar Anna sudah mau menikah dengan Furqan ya?" Kata
Eliana sambil memandang Azzam.
"Aku tak tahu pasti. Coba saja nanti kita tanya." Jawab Azzam.
Edited by : Bo163 Bon-q97
Anna melangkah ke beranda. Husna berdiri menyongsongnya.
"Assalamu'alaikum." Suara Anna menimbulkan desiran halus dalam
hati Azzam. Azzam berusaha kuat melawannya.
"Wa'alaikumussalam. Mbak Anna, kebetulan kami sedang sarapan
ayo masuk. Kok pas banget. Ayo silakan!" Jawab Husna ramah.
Semua kursi sudah terisi. Husna memberikan kursinya pada Anna. Ia
lalu pergi ke belakang mengambil kursi plastik di dapur.
"Ini Eliana, putri Pak Dubes kan?" Tanya Anna pada Eliana. Ia
kaget, ada apa gerangan seorang putri Dubes sampai ke rumah
Husna.
"Iya benar. Wah surprise kita bisa bertemu di sini. Rumah Anna
dekat dari sini?"
"Mungkin sekitar empat belas kilo dari sini."
"Wah selamat ya. Di Cairo sudah beredar kabar kamu tunangan sama
Furqan. Itu benar kan ya?"
"Iya benar. Kami memang sudah tunangan. Mohon doanya. Akad
nikah insya Allah Jumat kedua bulan ini." Jelas Anna pada Eliana. Ia
belum sadar kalau di sebelahnya itu adalah Azzam atau yang ia kenal
dengan nama Abdullah. Karena pusat perhatiannya tertuju pada
Eliana. Sementara Azzam mendengar penjelasan itu dengan hati
yang ditabah-tabahkan.
"Wah sudah dekat ya. Tak ada dua minggu lagi dong." Timpal Lia.
"Iya. Mohon doanya."
"Mbak Anna, ini Azzam kakakku yang aku ceritakan itu. Bagaimana
tidak kenal juga?" Husna mengenalkan Azzam pada Anna. Anna
Edited by : Bo164 Bon-q97
memandang Azzam, Azzam memandang Anna. Saat pandangan
keduanya bertemu, Anna kaget, benarkah ini orangnya? Kakaknya
Husna? Anna berusaha menyembunyikan kekagetannya. Keduanya
lalu menunduk. Anna teringat dengan pemuda bernama Abdullah
yang menolongnya saat ia dan Erna belanja kitab ke Sayyeda Zaenab.
Dompet Erna kecopetan. Ia berusaha mengejar copet sampai lupa
dengan kitabnya. Kitabnya tertinggal di bus. Ia kehabisan uang. Lalu
seorang mahasiswa yang naik taksi menolongnya. Bahkan meminta
sopir taksi mengejar bus. Dan akhirnya ia mendapatkan kembali
kitab-kitab yang baru dibelinya. Ia sempat menanyakan nama
pemuda itu. Dan pemuda itu menjawab namanya Abdullah. Ia tidak
bisa melupakan wajah pemuda baik itu. Wajah pemuda itu sama
persis dengan pemuda yang kini duduk tak jauh darinya. Bukankah
ini Abdullah itu? Pikirnya. Ia yakin, tak mungkin salah lagi, pemuda
yang duduk tak jauh darinya adalah Abdullah yang dulu
menolongnya.
Hati Anna hampir-hampir terkoyak. Seseorang yang pernah ia
harapkan, kini benar-benar ada di pelupuk kedua matanya. Tak
pernah terpikirkan sedikitpun bahwa suatu saat ia akan bertemu
dengannya. Perasaan Anna yang sudah benar-benar terpendam jauh
semenjak lamaran Furqan diterima, hampir muncul kepermukaan.
Hampir hampir ia tak kuasa menahan perasaannya itu. Namun ia
segera mengukuhkan hatinya untuk orang yang telah resmi menjadi
tunangannya, yaitu Furqan. Ia beristighfar.
Ia harus meneguhkan diri, bahwa lamaran Furqan telah diterima, dua
keluarga telah mempersiapkan segalanya, dan akad nikah akan
dilangsungkan segera. Inilah kenyataan yang harus ia syukuri. Ia
harus bisa melawan keinginan semunya yang telah lampau. Ia juga
harus membuang jauh perasannya. Perasaan yang hanya akan
membuatnya gamang. Boleh jadi perasaan itu sebenarnya hanyalah
godaan setan kepada orang yang akan mengikuti sunnah rasul, yaitu
membangun rumah tangga sesuai tuntunan syariat yang mulia.
Edited by : Bo165 Bon-q97
Anna kembali menenangkan hatinya dan bersiap untuk menjawab
pertanyaan Husna. Namun Eliana malah mendahulinya dengan
kalimat yang bernada mencercanya,
"Ah masak Mbak Anna tidak kenal sama Mas Khairul Azzam.
Mahasiswa Indonesia di Cairo, saya yakin sebagian besar
mengenalnya. Dikenal sebagai pembuat tempe dan bakso. Ah yang
benar saja Mbak Anna!"
"Namanya penjual tempe itu tidak akan masuk dalam kamus elit
mahasiswa. Penjual tempe juga tidak perlu dikenal sosoknya, yang
penting dikenal tempenya enak." Sambung Azzam santai sambil
promosi tempenya.
"Wah, iya bener juga. Itu kalimat yang indah lho Mas. Penjual tempe
tidak perlu dikenal sosoknya yang penting dikenal tempenya enak."
Husna mengapresiasi kalimat kakaknya.
Anna merasa tidak enak hati, seolah ia tidak mau mengenal
mahasiswa yang pangkatnya jualan tempe. Maka ia pun angkat
bicara,
"Maaf, bukannya saya tidak kenal. Kemarin waktu kenalan sama
Mbak Husna, yang disebut adalah Azzam. Katanya jualan tempe.
Terus saya bilang kalau Azzam saya tidak kenal. Saya mengenal
beberapa nama penjual tempe. Saat itu saya sebut beberapa nama
yaitu Rio, Budi, dan Muhandis atau Irul. Saya jelaskan yang paling
senior adalah Muhandis. Saya tidak tahu kalau Muhandis atau Irul itu
sebenarnya adalah Mas Azzam. Dan kalau tidak salah saya pernah
kenalan dengan Mas Azzam saat pulang dari Sayyeda Zaenab. Saat
itu temanku Erna kecopetan di bus. Aku berusaha mengejar copetnya
yang menyebabkan kitabku ketinggalan. Mas Azzam membantu
mengejarkan bus yang membawa kitabku itu akhirnya ketemu. Dan
Edited by : Bo166 Bon-q97
saat itu Mas Azzam mengaku namanya Abdullah. Coba jika saat itu
mengaku bernama Khairul Azzam."
Azzam tersenyum. Ia pun jadi ingat kejadian yang nyaris ia lupakan.
Ia memang pernah menolong Anna. Saat itu pun ia belum tahu
namanya. Anna memakai jilbab biru seingatnya. Dan ia memang
mengaku bernama Abdullah. Sebab nama panjangnya sebenarnya
ketika kecil adalah Abdullah Khairul Azzam.
"Yang disampaikan Anna benar. Saya memang dikenal dengan nama
Muhandis atau Irul, atau Muhandis Irul. Hanya orang-orang dekat
saja yang memanggil saya Azzam. Hampir seluruh mahasiswa
mengenal saya sebagai Irul. Terus saya memang sering berkenalan
dengan orang memakai nama Abdullah. Itu nama depan saya.
Alhamdulillah, yang penting bisa ketemu di sini, iya kan? Oh ya,
bagaimana kabar Furqan? Apa jadi lanjut S3?" Di ujung kalimatnya
Azzam memandang Anna sekilas. Anna mendongakkan kepalanya.
"Alhamdulillah, dia baik. Ya insya Allah dia mau lanjut S3. Nanti
datang ya di acara pernikahan." Jawabnya.
"Insya Allah, kalau tidak ada halangan."
"Oh ya Mbak Eliana sama Mas Azzam, kapan kalian menikah? Aku
lihat di televisi kemarin katanya kalian pacaran!?" Anna memandang
ke arah Eliana.
"Aduh kasihan Mas Irul..." Kata Eliana yang langsung diputus Anna,
"Lho memanggilnya Irul kan bukan Azzam. Sebab di Cairo memang
dikenal dengan nama Irul. Maaf Mbak saya potong."
"Iya jadi kasihan Mas Irul. Semua orang nanti akan nanya dia begitu.
Jujur saja sebenarnya itu murni ulah saya. Begitu sampai di bandara
saya diberondong pertanyaan sama wartawan ya saja jawab
sekenanya. Sebenarnya jujur saja saya tidak ada apa-apa dengan Mas
Edited by : Bo167 Bon-q97
Irul. Ya hanya kenal biasa. Kecuali, ya kecuali kalau Mas Irul berani
minta saya sebagai calon isterinya! He... he... he..."
Semua yang ada di ruangan itu tersenyum mendengar perkataan
Eliana. Azzam tidak mau kalah begitu saja, ia langsung angkat suara,
"Ah Mbak Eliana bisa saja candanya. Nanti kalau saya lamar betulan
terus kayak Rorojonggrang dilamar Prabu Bondowoso, gimana?
Karena saya buruk rupa tidak sesuai dengan standar yang diinginkan
lalu disyaratkan membuat seribu candi dalam waktu semalam agar
dengan sendirinya sama saja mundur teratur. Iya tho?"
Dengan nada bercanda Eliana menjawab, "Iya!" Husna menimpal,
"Hayoh kapokmu kapan."16
Matahari semakin tinggi. Sinarnya semakin panas menyengat. Satu
dua orang masih berdatangan menjenguk Azzam yang pulang. Tepat
pukul sepuluh Eliana pamitan. Demikian juga Anna Althafunnisa.
Sebelum Eliana dan Anna pergi, Lia minta agar foto bersama.
Anna pergi duluan sebab mobilnya tepat di belakang mobil Eliana.
Anna melambaikan tangan dengan senyum mengembang. Kepada
Azzam ia menganggukkan kepala. Azzam kembali merasakan
desiran halus dalam hatinya.
"Mas Azzam selamat ya sudah berada di tengah-tengah keluarga."
Kata Eliana.
"Terima kasih ya atas tumpangannya." Jawab Azzam.
"Sama-sama."
16 Hayoh jeramu kapan.
Edited by : Bo168 Bon-q97
"Ini langsung ke Gemolong?"
"Tidak. Kami mau check in hotel dulu."
"Rencana menginap di mana?"
"Di Novotel. Mungkin nanti sore jalan-jalan keliling kota Solo.
Besok baru ke Gemolong. Kata Pak Marjuki tidak jauh."
"Selamat jalan ya Nak. Hati-hati. Kalau ada waktu mampir lagi
kemari." Kata Bu Nafis yang berdiri di samping Azzam.
"Iya Bu. Terima kasih atas pecelnya. Sungguh, enak." Jawab Eliana
sambil masuk mobil. Sejurus kemudian mobil itu telah berjalan
meninggalkan halaman.
"Dua gadis yang sama-sama cantik." Ujar Lia lirih.
"Siapa?" Tanya Husna.
"Ya Anna sama Elianalah. Mbak kira siapa?"
"Aku sama kamu."
"Ih geernya. Memang Mbak cantik?"
"Apa Mbak tidak cantik?"
Mendengar percakapan dua adiknya itu Azzam langsung menengahi,
"Sudah ayo masuk. Kalian berdua cantik. Di mata kakak, kalian
berdua lebih cantik dari mereka berdua. Kakak ada oleh-oleh buat
kalian. Kakak belikan kalian jilbab Turki dari sutera. Ayo kita lihat."
Edited by : Bo169 Bon-q97
"Ayo." Sahut Lia dan Husna nyaris bersamaan dengan senyum
mengembang.
Mereka kembali masuk rumah. Angin bertiup dari Timur ke Barat
menggoyang daun-daun pohon mangga yang mulai berbunga di
depan rumah. Bunga matahari di dekat jalan bergoyang-goyang
indah. Bu Nafis sudah mengambil air wudhu untuk shalat Dhuha.
Tak lama kemudian perempuan yang rambutnya sudah memerak
sebagian itu larut dalam sujud kepada Tuhan Yang Maha Pengasih
dan Penyayang. Bertasbih dan bertahmid atas pulangnya sang putra
kesayangan.
Edited by : Bo170 Bon-q97
10
BELAJAR DARI JALAN
Azzam tidak perlu waktu lama untuk menyatu dengan masyarakat.
Tujuh hari di rumah ia telah kembali akrab dengan hampir semua
orang di kampungnya. Ia menyatu dengan mereka. Tak ada jarak
antara dirinya dan mereka. Ia tidak pernah merasa berbeda dengan
mereka. Tidak sedikitpun terbersit dalam hatinya bahwa ia adalah
seorang mahasiswa dari Mesir yang lebih baik dari mereka. Azzam
merasa ia sama dengan mereka. Profesinya tidaklah berbeda dengan
orang-orang di sekelilingnya.
Hikmah yang ia dapat dari bertahun-tahun jualan tempe dan bakso
adalah bahwa ia merasa hanyalah seorang penjual tempe yang tidak
boleh merasa lebih atau lebih baik dari orang lain. Kang Jarwo yang
jualan ketoprak keliling. Kang Birin yang buka salon pangkas rambut
di pojok pasar Kartasuro. Pak Huri yang buka bengkel motor di
depan STAIN. Semua ia anggap sama bahkan lebih baik dari dirinya.
Mereka ia anggap lebih memiliki pengalaman hidup.
Edited by : Bo171 Bon-q97
Juga Kang Paimo yang waktu kecil dulu sering bermain gobak sodor
dengannya kini menjadi sopir truk. Ia merasa dirinya dengan Kang
Paimo sama saja. Kang Paimo sering ke luar kota. Paling sering ke
Jakarta. Ia pernah jadi sopir truk ikan di Demak. Majikannya seorang
juragan ikan.
Pernah suatu malam, sambil minum kopi panas di gardu ronda
Azzam mendengarkan cerita Kang Paimo. Ada empat orang yang
ronda malam itu; Kang Paimo, Kang Qadir, Si Badrun dan Azzam.
Kang Paimo bercerita dengan penuh semangat. Sementara Azzam,
Kang Qadir, dan Si Badrun diam mendengarkan dengan seksama.
"Zam, kamu tahu nggak sopir yang benar-benar sopir adalah sopir
truk ikan. Kalau orang belum pernah jadi sopir truk ikan belum
menjadi sopir sejati. Orang yang pernah jadi sopir truk ikan berarti ia
pernah jadi raja jalanan. Bayangkan Zam, dulu tiga tahun jadi sopir
truk ikan. Tiga kali aku kecelakaan, tapi alhamdulillah selalu
selamat."
"Apa hebatnya sopir truk ikan Kang?" Tanya Azzam.
Kang Paimo menjawab, "Hebatnya, sopir truk ikan itu harus selalu
cepat dan ngebut sepanjang jalan. Harus selalu mendahului dan
menyalip mobil lain. Jalan raya ibarat medan lomba balapan. Dan
sopir truk ikan harus menang. Sebab mengejar waktu. Bayangkan
saya dulu jadi sopir truk ikan milik juragan ikan di Demak. Saya
berangkat dari Demak habis shalat maghrib dan harus sampai Pasar
Minggu Jakarta pukul tiga pagi. Tidak boleh terlambat. Kalau
terlambat ikannya bisa layu, tidak segar lagi, dan para pernbeli sudah
pada pergi. Sepanjang jalan itu saya ngebut. Selalu tancap gas. Sekali
pun belok saya tetap tancap gas. Dan itu memerlukan nyali yang
besar. Saya harus jadi raja di jalan. Jika ada mobil di depan saya
harus membuatnya minggir. Saya perintah minggir dengan lampu
Edited by : Bo172 Bon-q97
dan klakson. Bus jurusan Surabaya-Jakarta saja kalau lihat truk saya
pasti minggir!
"Dulu saat masih megang truk ikan, saya sering ditemani minuman.
Agar berani tancap gas terus ya harus dibantu minum. Dengan
setengah mabuk saya merasa melayang tidak takut apa-apa! Itu dulu.
Untung Gusti Allah masih sayang pada saya. Tiga kali kecelakaan
saya, dan itu karena kondisi saya benar-benar mabuk. Tidak lagi
setengah mabuk. Tiga kali kecelakaan dan saya selamat. Yang dua
kali menghantam pohon asam di Pemalang. Yang sekali masuk
sawah di Brebes. Alhamdulillah saya selamat. Akhirnya saya insyaf.
Saya cari kerjaan lain. Susah! Tidak dapat-dapat. Saya pengangguran
setengah tahun. Lalu saya nekat jual tanah warisan untuk beli truk.
Ya truk itulah sekarang yang jadi andalan saya. Alhamdulillah tiap
minggu selalu ada order kirim barang."
Azzam akrab dengan siapa saja. Karena akrab dengan Kang Paimo,
ia ditawari belajar mengendarai truk. Ia sambut tawaran itu dengan
penuh antusias. Kepada tokoh masyarakat ia sangat hormat. Ia sangat
dekat dengan Pak Mahbub, teman seperjuangan ayahnya dulu saat
merintis pendirian Masjid Al Mannar. Kini Pak Mahbub jadi ketua
takmir sekaligus imam masjidnya. Setiap kali shalat berjamaah dan
ia diminta Pak Mahbub menjadi imam. Tapi ia menolak. Ia merasa
Pak Mahbub lebih berhak dan layak. Kecuali kalau Pak Mahbub
tidak ada dan jamaah memaksanya maka ia baru maju ke depan.
Karena tidak banyak yang dikerjakannya ia merencanakan mau
berwirausaha. Ia mau mencoba membuka warung bakso. Ia telah
mengelilingi Kartasura dan Solo mencari tempat yang tepat untuk
membuka usahanya. Yang berjualan bakso telah banyak jumlahnya.
Namun ia yakin usahanya akan jaya. Ia yakin dengan inovasi ia akan
mampu meraih pelanggan sebanyak-banyaknya.
Edited by : Bo173 Bon-q97
Namun setelah ia pikir dengan seksama lebih baik memulai usaha itu
setelah ia benar-benar cukup menguasai medan. Ia harus lebih
matang melakukan penelitian. Dengan penelitian yang mendalam ia
akan mampu melihat peluang-peluang bisnis yang lain.
Hari menjelang petang. Azzam baru pulang dari Pabelan. Ia baru saja
mengakses internet untuk membuka emailnya. Persis seperti yang ia
perkirakan. Dua hari lagi kontainer Pak Amrun Zein datang.
Sebelum pulang Indonesia, ia telah membuat kesepakatan bisnis
bahwa ia akan menjadi penanggung jawab pendistribusian buku buku
mahasiswa Indonesia yang dikirim lewat Pak Amrun. Ia bertanggung
jawab untuk wilayah Jawa Tengah, Jogja dan Jawa Timur.
Dari email yang ia baca, ia harus mengirim buku ke tiga puluh satu
alamat. Sore itu setelah mandi ia langsung ke masjid. Habis shalat ia
langsung ke rumah Kang Paimo. Ia mengajak Kang Paimo ke Jakarta
untuk mengambil dua ratus sepuluh kardus berisi buku dan kitab,
dua hari lagi. Lalu mengantarkannya ke tiga puluh satu alamat. Kang
Paimo sangat bahagia mendapat tawaran Azzam. Apalagi Azzam
membayarnya dengan profesional.
Dan benar. Dua hari berikutnya Azzam bersiap untuk pergi ke
Jakarta. Kepada ibu dan adik-adiknya Azzam pamit untuk empat hari
lamanya. Kang Paimo datang menjemput Azzam dengan ditemani Si
Kamdun. Si Kamdun adalah teman kerja Kang Paimo yang paling
giat dan andal. Si Kamdun juga bisa mengendarai truk, sehingga
apabila Kang Paimo capek Si Kamdun bisa menggantikannya.
Mereka bertiga berangkat selepas shalat Ashar. Kang Paimo
mengemudikan truknya sambil memberi pengarahan kepada Azzam
cara mengendarai mobil yang baik. Azzam yang sudah beberapa kali
berlatih semakin paham.
Edited by : Bo174 Bon-q97
"Yang penting praktik bukan teori Zam. Nanti suatu ketika ada
kesempatan kau harus praktik langsung." Kata Kang Paimo.
Azzam menganggukkan kepala sambil tersenyum. Kang Paimo
mengendarai truk itu dengan kecepatan sedang. Karena jalan dari
Solo ke Jakarta cukup padat. Banyak sekali bus yang beriringan
menuju Jakarta. Ketika truk sampai di Batang, Kang Paimo minta Si
Kamdun gantian yang duduk di kursi sopir. Truk melaju delapan
puluh kilometer perjam. Sampai di Indramayu istirahat di sebuah
waning kopi setengah jam. Lalu berjalan lagi. Gantian Kang Paimo
yang mengemudi. Kali ini Kang Paimo mengemudi dengan
kecepatan tinggi seperti orang kesetanan.
"Kang tidak usah ngebut! Ini bukan truk ikan!" Protes Azzam
"Oke Zam. Sorry." Sahut Kang Paimo sambil mengurangi gasnya.
Truk itu sampai di rumah Pak Amrun pukul enam pagi. Dua ratus
sepuluh kardus ukuran kecil dan besar dinaikkan. Sebelum menata
ratusan kardus buku itu Kang Paimo minta daftar alamat yang akan
dikirim. Ia berkata kepada Azzam,"Mana Zam alamat-alamatnya?"
Azzam lalu menyerahkan daftar alamat yang dituju. Kang Paimo
memperhatikan dengan serius. Setelah sesaat lamanya menganalisa,
Kang Paimo berkata,"Setelah kulihat maka kita akan mengambil rute
seperti ini: Tegal, Purwokerto, Cilacap, Jogja, Klaten, Sragen,
Ngawi, Madiun, Jombang, Surabaya, Tuban, Rembang, Kudus,
Kendal, baru pulang ke Kartasura. Bagaimana Zam?"
"Aku ikut saja, Kang Paimo kan lebih paham."
"Kalau begitu cara menyusunnya alamat paling akhir kita masukkan
dulu. Sehingga letaknya paling dalam sana. Begitu seterusnya. Dan
Edited by : Bo175 Bon-q97
alamat yang rencananya paling awal kita datangi kita letakkan di
depan. Sehingga kita enak nanti ketika menurunkan."
"Wah benar itu Kang. Cerdas juga sampeyan."
"Lho Paimo itu sejak dulu cerdas Zam. Hanya karena nasib saja
putus sekolah. Kalau Paimo ini dibiayai sampai lulus kuliah mungkin
sudah jadi dosen sekarang. Bukan sopir truk."
"Memang sudah diatur oleh Allah Kang. Kalau sampeyan jadi dosen
lha siapa yang akan aku ajak jalan jalan mengantar buku-buku ini?
Kang selama kita bersyukur apa pun pekerjaan kita insya Allah
diridhai Allah. Dengan ridha Allah jadi barakah. Yang mahal itu
barakahnya itu lho Kang."
Pukul tujuh truk itu kembali berjalan. Kang Paimo membawa
truknya ke tempat seorang teman akrabnya di Bekasi Barat. Mereka
sampai di sana pukul sembilan.
"Kita mandi, makan dan istirahat di sini. Siang ini harus tidur. Nanti
sore baru kita lanjutkan." Azzam jadi tambah mengerti dunia para
sopir. Siang itu Azzam tidur pulas. Jam dua siang ia bangun. Ia
shalat dengan menjamak dan mengqashar. Lalu tidur lagi. Jam
setengah empat bangun mandi dan memulai perjalanan panjang.
Tengah malam mereka sampai di Tegal. Saat melewati kantor polisi
Kang Paimo turun dan menanyakan dua buah alamat yang ada dalam
daftar itu. Seorang polisi yang sedang berjuang melawan kantuk
menjelaskan rute menuju dua alamat itu dengan menguap berkalikali.
Pukul setengah satu mereka tiba di alamat pertama. Terpaksa
membangunkan pemilik alamat yang sedang tidur. Tapi begitu yang
punya rumah bangun dan mengetahui yang datang adalah mahasiswa
dari Cairo yang mengantar buku-buku anaknya yang masih di Mesir
mereka senang. Mereka terus banyak bertanya tentang Mesir.
Tentang keadaan anaknya kira-kiranya. Azzam menjelaskan dengan
Edited by : Bo176 Bon-q97
penuh kesabaran. Ia membayangkan seperti itulah kira-kiranya
ibunya dulu bertanya kepada teman-temannya yang ia titipi sesuatu
untuk disampaikan pada ibunya.
Pukul setengah dua sampai di alamat kedua. Lalu tancap gas ke
Purwokerto dan Cilacap. Mereka sampai di Cilacap saat subuh tiba.
Mereka shalat subuh dahulu sebelum menurunkan barang di alamat
yang dituju. Kang Paimo sudah tidak kuat maka digantikan oleh Si
Kamdun. Langsung tancap gas ke Jogjakarta. Baru sampai Kebumen,
Kang Paimo minta berhenti istirahat.
"Kita berhenti dulu Zam, istirahat. Di depan ada rumah makan besar
yang ada mushallanya. Kita bisa tidur di mushalla itu beberapa jam
saja."
Azzam mengiyakan usul Kang Paimo. Lebih baik istirahat dulu agar
tubuh kembali fit dan segar, daripada memaksakan diri yang bisa
berakibat fatal. Mereka istirahat cuma dua jam. Kang Paimo dan Si
Kamdun bisa tidur begitu nyenyak dan tenang. Mereka bangun,
makan, dan melanjutkan perjalanan.
Pukul tiga sore mereka sampai di Jogja. Ada tiga alamat yang harus
mereka datangi. Yaitu di Kotagede, Krapyak, dan Kalasan. Mereka
langsung menuju Klaten.
"Coba kau tengok Zam. Klaten berapa tempat?" Ujar Kang Paimo
sambil memindah gigi truk agar melaju lebih cepat.
"Cuma satu Kang."
"Di mana?"
"Pesantren Daarul Quran, Polanharjo."
Edited by : Bo177 Bon-q97
"Oh aku tahu. Itu pesantrennya Kiai Lutfi. Aku dulu sering diajak
Pak Mahbub mengaji pada Kiai Lutfi kalau hari Rabu."
"Mengaji apa Kang?"
"Kitab Al Hikam."
"Sekarang masih sering ke sana Kang?"
"Jarang. Aku sering luar ke kota sih Zam."
"Ya kalau pas di rumah mbok ya disempatkan ngaji Kang."
"Insya Allah, masak ngejar dunia terus ya Zam."
"Oh ya Zam. Aku dengar putrinya Kiai Lutfi kan kuliah di Cairo juga
tho. Kau kenal?"
"Kenal Kang."
"Kalau belum punya calon, kau lamar saja Zam. Orang orang bilang,
putrinya Pak Kiai Lutfi itu cantik lho Zam."
"Aku tahu itu Kang. Tapi dia sudah tunangan. Minggu depan dia
nikah."
"Wah berarti bukan rezekimu Zam."
"Kang Sampeyan tahu tidak jumlah anak Kiai Lutfi. Semuanya
berapa?"
"Setahuku cuma dua. Yang pertama laki-laki dan sekarang diambil
menantu oleh Kiai Hamzah Magelang. Dan tinggal di Magelang.
Yang kedua ya yang kuliah di Cairo itu."
Edited by : Bo178 Bon-q97
Pukul setengah delapan malam, truk itu sampai di Pasar Tegalgondo.
Kang Paimo belok kiri ke arah Janti. Kang Paimo lalu tancap gas.
Jalan sepi. Di depan tampak sebuah mobil sedan. Azzam kenal
dengan mobil itu.
"Pelan Kang. Kalau tidak salah itu mobilnya Anna, putri Kiai Lutfi."
Kata Azzam.
Kang Paimo agak teliti melihat ke depan. Truk itu berjalan hanya
sepuluh meter di belakang sedan. Sangat jelas sekali sedan itu
Toyota Vios.
"Yang mengendarai kelihatannya perempuan berjilbab Zam."
"Aku yakin itu Anna, Kang."
Sedan itu sampai di pertigaan Polanharjo ambil kiri. Truk terus
mengikuti. Sedan Vios itu terus berjalan sampai di pertigaan lagi,
ambil kiri. Dan truk itu juga mengikuti. Masuk di perkampungan
desa Wangen. Hati Azzam entah kenapa berdesir, jantungnya
berdegup lebih kencang. Sedan itu masuk gerbang pesantren. Truk
juga masuk. Truk parkir tak jauh dari sedan.
Pengemudi sedan keluar. Perempuan tinggi semampai berjilbab biru
muda. Azzam terperanjat. Ia seperti melihat gadis yang ia tolong di
Cairo. Perempuan itu menoleh ke arah truk. Dalam terang cahaya
lampu truk tampak benar pesona kecantikannya. Perempuan itu
memang Anna Althafunnisa. Azzam turun, lalu dengan hati bergetar
melangkah ke arah Anna. Putri Kiai Lutfi itu terhenyak melihat siapa
yang datang.
"Assalamu'alaikum, maaf saya mau mengantar buku buku dari Cairo
yang dikirim lewat kontainer Pak Amrun." Kata Azzam pada Anna.
Edited by : Bo179 Bon-q97
"Wa... wa... wa'alaikum salam. Oh ya Mas Azzam. Turunkan saja di
rumah." Anna agak gugup dan tidak percaya kalau yang mengantar
buku-bukunya adalah Azzam.
Anna bergegas masuk rumah. Ia membuka pintu ruang tamu selebarlebarnya.
Anna lalu bergegas ke masjid memberi tahu ayahnya yang
saat itu sedang membacakan kitab Fathul Wahhab pada para
pengurus dan santri senior.
Azzam membantu Kang Paimo dan Si Kamdun menurunkan karduskardus
berisi buku dan meletakkannya di ruang tamu kediaman Kiai
Lutfi. Anna dan Kiai Lutfi sampai di samping truk. Mereka berdua
melihat kesibukan tiga orang itu. Anna mengamati Azzam dengan
seksama. Ada rasa kagum bercampur heran masuk dalam hatinya.
Kagum ada pemuda yang ulet dan pekerja keras seperti Azzam.
Pemuda yang tidak malu untuk mengangkat kardus-kardus seperti itu
demi ibu dan adik adiknya. Dan heran, Azzam sama sekali tidak
canggung menyatu bersama dengan kedua orang temannya, yang ia
pastikan adalah seorang sopir dan kernetnya.
Begitu melihat Pak Kiai Lutfi, Azzam menurunkan kardusnya lalu
beranjak menjabat dan mencium tangan ayahanda Anna itu. Apa
yang dilakukan Azzam diikuti dua temannya.
"Azzam ya?" Sapa Pak Kiai.
"Inggih Pak Kiai."
"Aku sudah tahu banyak tentangmu. Ayo kita masuk dulu. Kita
duduk dan ngobrol-ngobrol dulu."
"Maaf Pak Kiai, ini biar kami selesaikan dulu." "Oh ya. Saya tunggu
di ruang tamu sana ya?" "Baik Pak Kiai."
Edited by : Bo180 Bon-q97
Kiai Lutfi dan Anna masuk rumah. Pak Kiai menghitung jumlah
kardus yang telah dimasukkan ke ruang tamu. Sementara Anna ke
dapur membuat minuman dan mencari makanan yang bisa
dikeluarkan. Tak lama kemudian seluruh kardus milik Anna selesai
diturunkan. Keringat Azzam berkucuran, demikian juga dua
temannya. Mereka duduk-duduk di beranda.
"Ayo Zam, masuk! Ajak teman-temanmu itu masuk!" Perintah Pak
Kiai.
"Kami masih keringatan Pak Kiai." Jawab Azzam pelan.
"Tidak apa-apa ayo, jangan duduk di situ. Ini sudah ada tempat
duduk. Nanti AC-nya aku hidupkan biar sejuk." Desak Pak Kiai.
"Baik Pak Kiai."
Azzam dan kedua temannya masuk. Azzam membuka topinya.
Rambut dan wajahnya tampak sedikit kusut dan awut-awutan.
"Sudah dari mana saja Zam?" Tanya Pak Kiai.
Azzam lalu menceritakan perjalanannya. Sejak berangkat sampai ke
Jakarta. Lalu ke Tegal, Purwokerto, Cilacap dan Jogja. Pak Kiai
Lutfi mengangguk-anggukkan kepala.
"Terus setelah dari sini mau ke mana lagi Zam?"
"Wah masih banyak lagi Pak Kiai. Perjalanannya masih panjang.
Yang kami tempuh baru sepertiga perjalanan. Ada tiga puluh satu
alamat. Kami baru mengantarkan di sebelas alamat termasuk sini.
Jadi masih ada dua puluh alamat lagi."
"Yang sudah mana saja?" Tanya Pak Kiai lagi.
Edited by : Bo181 Bon-q97
"Tegal dua. Purwokerto tiga. Cilacap dua. Jogja tiga. Dan Klaten,
sini, satu." Jawab Azzam, "Dan yang belum tersebar di Sragen,
Ngawi, Madiun, Jombang, Surabaya, Tuban, Rembang, Kudus, dan
Kendal Pak Kiai." Lanjut Azzam menjelaskan rute yang akan
ditempuhnya sekalian.
"Wah kau hampir keliling seluruh Jawa Zam." "Begitulah Pak Kiai,
demi mengais rezeki Allah." "Semoga Allah memberkahi."
Anna keluar membawa nampan berisi empat gelas minuman segar
berwarna kuning. Gadis itu meletakkan gelas ke meja satu per satu
dengan hati-hati. Azzam menunduk, tapi kedua matanya tidak bisa
untuk tidak memperhatikan jari-jari Anna mengambil dan
meletakkan gelas. Jari-jari itu putih bersih dan lancip. Jari-jari yang
indah. Azzam beristighfar dalam hati, ia merasa telah melakukan
dosa dengan menikmati keindahan jari-jari lentik itu. Anna kembali
masuk ke belakang.
"Silakan diminum Nak Azzam. Kalau tidak salah ini sirup Markisa
asli Brastagi Medan. Kemarin yang membawa kakaknya Anna yang
di Magelang. Dia kan pergi ke Medan mengunjungi adik isterinya
yang kuliah di USU. Pulang bawa sirup Markisa ini. Segar lho.
Ayo!"
Azzam, Kang Paimo, dan Si Kamdun mengambil gelas yang ada di
hadapannya dan meminumnya. Minuman itu dingin. Mereka yang
kehausan dan kegerahan sangat merasakan kenikmatannya.
"Oh ya ngomong-ngomong kalian sudah makan belum?" Tanya Pak
Kiai Lutfi.
"Mm... mm..." Azzam merasa kikuk mau menjawab.
Edited by : Bo182 Bon-q97
"Aku tahu kalian belum makan. Paling terakhir kalian makan tadi
siang. Kalau tidak di Jogja mungkin di Kebumen."
Azzam diam. Pak Kiai Lutfi bisa menebak kekikukannya.
"Nduk, Anna! Siapkan makan yang enak!" Seru Kiai Lutfi sambil
menoleh ke belakang.
"Inggih Bah." Jawab Anna pelan, tapi jelas sampai ke ruang depan.
"Aduh tidak usah repot-repot Pak Kiai." Ucap Azzam basa-basi.
"Tidak. Kalian tidak boleh keluar dari rumah ini kecuali sesudah
makan. Biar Anna yang menyiapkan. Aku juga ingin tahu seperti apa
masakan putriku. Biasanya kan ada khadimah dan Umminya, jadi dia
santai, tidak perlu masak. Katanya sih kalau di Cairo masak sendiri.
Aku ingin tahu seperti apa yang akan ia hidangkan. Ini kebetulan dua
khadimah yang biasanya membantu sedang tidak ada. Yang satu
sedang pulang dan yang satunya ikut sama Umminya Anna ke
Magelang, ke rumah kakaknya." Kiai Lutfi menjelaskan dengan
santai ceplas-ceplos pada ketiga tamunya. Suara Kiai Lutfi itu agak
keras, sehingga terdengar sampai ke belakang. Anna mendengarnya
dengan perasaan malu dan tertantang. Malu seolah-olah selama ini ia
hanya anak Ummi, tidak berbuat apa-apa. Semua telah disediakan.
Meskipun kenyataannya begitu. Tapi hal itu, entah kenapa membuat
dirinya malu. Sebab di sana ada Azzam. Dan ia tertantang, ia akan
membuktikan pada ayahnya bahwa ia adalah putri ayahnya yang bisa
memasak enak.
"Abah belum tahu kalau aku bisa masak nasi goreng ala Pattani
Thailand!" Desis Anna dalam hati sambil tersenyum. Ia belajar
membuat nasi goreng yang unik itu dari Jamilah, gadis asli Pattani
saat masih di Alexandria. Tadi sore ia melihat di nasi rice cooker
masih penuh dan kulkas ada bahan yang lengkap untuk masak nasi
Edited by : Bo183 Bon-q97
goreng ala Pattani. Ia memang sudah merencanakan membuat nasi
goreng untuk dirinya sendiri malam ini.
Lima belas menit kemudian Anna keluar dengan membawa hasil
masakannya. Anna mengeluarkan tiga piring yang isinya tampak
sebagai telur dadar berbentuk segi empat. Kiai Lutfi mengernyitkan
keningnya.
"Silakan Mas Azzam!" Anna mempersilakan.
"Apa ini Nduk, cuma telur dadar begini?" Ucap Kiai Lutfi. Anna
hanya tersenyum dan kembali masuk. Ia tidak menjawab pertanyaan
Abahnya.
"Setahu saya ini namanya nasi goreng Pattaya. Nasi goreng khas
muslim daerah Pattani di Thailand." Justru Azzam yang
menerangkan. Azzam mengambil piring itu dan menyendok dadar
telur persegi empat. Ternyata di dalamnya ada nasi goreng yang ada
cacahan daging ayamnya. Pak Kiai Lutfi jadi takjub.
"Nasinya dibungkus telur ya. Kok bisa ya?" Heran Kiai Lutfi.
Azzam menyantap dengan lahap. Ia harus mengakui masakan Anna
lezat. Ia jadi iri pada Furqan, ia merasa Furqan benar-benar pria
paling beruntung di dunia. Anna tidak hanya cerdas, dan berprestasi
secara akademik. Gadis itu ternyata juga jago masak.
Kang Paimo dan Si Kamdun juga makan dengan lahap.
"Wah, luar biasa. Ini enak betul. Gurih! Dan unik Pak Kiai!"
Komentar Kang Paimo sambil mengacungkan jempolnya pada Kiai
Lutfi. Kiai Lutfi menelan ludahnya. Ia sangat penasaran pada
masakan putrinya itu. Kenapa cuma tiga piring? Ia malu mau minta
pada putrinya. Sementara Anna tersenyum di belakang, mendengar
Edited by : Bo184 Bon-q97
perkataan-perkataan yang memujinya di depan. Ia sengaja
membiarkan Abahnya melihat tamunya makan. Ia sedikit ingin
'mencandai' ayahnya. Ketika ia yakin ayahnya berada di puncak
penasaran dan nafsu makannya, ia keluarkan bagian untuk Abahnya.
"Lha yang ini untuk Abah! Ini namanya nasi goreng Pattaya Bah!"
Kata Anna pelan sambil tersenyum. Abahnya tersenyum lalu
mencicipi nasi goreng bikinan putrinya. Ia masih penasaran,
bagaimana meletakkan nasi dalam balutan telur dadar ini. Ini
memang baru kali pertama ia menemukan penyajian masakan seperti
itu.
"Ini cara memasukkan nasinya bagaimana ya Zam?" Tanya Kiai
Lutfi.
Azzam tersenyum. Azzam mau menjawab, tapi sebelum ia
menjawab dari dalam suara Anna terdengar menyahut, "Nanti Anna
ajarin cara membuatnya Bah!"
Kiai Lutfi tersenyum. Malam itu putrinya membuat kejutan
untuknya.
Selesai makan Azzam dan kedua temannya berpamitan pada Kiai
Lutfi. Azzam dan dua temannya turun ke halaman. Kiai Lutfi
mengikuti di belakang. Malam terang. Bulan perak sebesar semangka
seperti bertengger di langit, di kelilingi bintang-bintang. Azzam
melangkah tenang.
"Nak Azzam." Kiai Lutfi memanggil.
Azzam menghentikan langkah. Anna memperhatikan dari beranda
dengan seksama.
"Iya Pak Kiai."
Edited by : Bo185 Bon-q97
"Kalau ada waktu senggang sering mampir ke sini ya? Itu anak-anak
santri perlu mendengar banyak hal dari orang yang punya
pengalaman lebih sepertimu."
"Aduh saya ini juga masih bodoh Pak Kiai. Mohon doa restunya."
"Benar ya sering datang?" "Insya Allah."
"Oh ya satu lagi. Rabu depan kamu sudah selesai kan mengantarkan
buku-bukumu itu?"
"Insya Allah."
"Datang ke sini ya. Pengajian Al Hikam. Untuk umum. Biar kamu
serawung dengan banyak orang. Biar nanti dengan silaturrahmi
tambah jaringan dan koneksi. Di antara yang ngaji itu banyak juga
lho pebisnis-pebisnis muda Solo dan Klaten."
"Iya Insya Allah." "Terakhir."
"Jangan lupa hari Jumat datang. Itu hari pernikahan Anna." "Insya
Allah."
"Ingat semua insya Allah yang kamu ucapkan itu aku tagih lho."
"Doanya bisa memenuhi Pak Kiai."
Cahaya bulan menerangi halaman. Rumput-rumput Jepang di selasela
paving tampak hijau keperakan. Angin malam mengalir pelan.
Azzam naik truk dengan mengucap salam.
Truk yang dinaiki Azzam menderu dan hilang dari pandangan. Kiai
Lutfi mengambil nafas panjang. Kiai Lutfi naik ke beranda. Anna
Edited by : Bo186 Bon-q97
masih berdiri di sana. Lalu sambil berjalan masuk rumah ia berkata
pada putrinya,
"Abah suka dan kagum pada pemuda itu. Sayang baru tahu dan
bertemu sekarang."
Ada rasa dingin masuk dalam relung-relung hati Anna.
"Jujur, pemuda seperti Azzam itu kalau boleh Abah berterus terang
adalah pemuda yang jadi idaman Abah. Sayang baru bertemu
sekarang. Jika Abah masih punya anak putri pasti akan Abah pinta
Azzam jadi menantu. Abah tak akan menyia-nyiakan kesempatan.
Abah tahu tentang perjuangannya membesarkan adik-adiknya. Dia
sungguh pemuda luar biasa!"
Ada gemuruh cemburu luar biasa dalam hati Anna. Lalu perasaan
sedih perlahan menyusup ke dalam hatinya. Mata Anna basah
mendengar perkataan Abahnya. Ingin rasanya ia katakan pada
Abahnya, bahwa Azzam itulah ternyata pemuda yang dulu
menolongnya. Pemuda yang menundukkan pandangannya dan
mengatakan namanya Abdullah. Azzam itulah juga pemuda yang
dulu sangat mengesan di hatinya. Bukan hanya dulu, bahkan sampai
sekarang. Tapi takdir telah memilihkannya jalan. Furqanlah jalannya.
Anna masuk kamarnya. Dan di kamarnya ia menangis. Kata-kata
Abahnya terus terngiang-ngiang dalam hatinya,
"Jika Abah masih punya anak putri, pasti akan Abah pinta Azzam
jadi menantu. Abah tak akan menyia-nyiakan kesempatan."
Di jalan Kang Paimo dan Si Kamdun tiada henti hentinya memuji
Anna Althafunnisa. Mereka juga tiada henti-hentinya memuji
keramahan Pak Kiai Lutfi.
Edited by : Bo187 Bon-q97
"Aku tidak mengira Pak Kiai ternyata ramah sekali dan bisa sangat
cair dengan tamunya. Selama ini kalau aku ikut pengajian Al Hikam
beliau kan tampak berwibawa sekali." Kata Kang Paimo.
"Tapi kukira ini semua karena berkahnya Azzam. Kalau tidak bareng
Azzam mungkin lain ceritanya. Karena bareng Azzam kita dapat
mencicipi masakan putrinya Pak Kiai segala. Tidak sembarang orang
lho bisa mendapatkan kemuliaan seperti ini. Memang berkumpul
dengan orang baik seperti Azzam ini banyak berkahnya. Seringseringlah
kau ajak kami ya Zam kalau ada acara apa saja, atau kalau
jalan ke mana begitu. Biar kami kecipratan berkahnya." Sahut Si
Kamdun.
"Ah kamu ini ada-ada saja Dun. Ini semua karena berkah
silaturrahmi. Begitu saja." Azzam meluruskan.
Truk itu melaju kencang ke Solo. Ketika masuk perbatasan Kartasura
Kang Paimo bertanya, "Mau pulang dulu tidak Zam?"
Azzam menggelengkan kepala. "Kenapa?"
"Nanti malah tidak selesai-selesai. Kalau saya pulang dulu pasti saya
akan ditahan ibu dan adik-adik saya. Baru boleh berangkat lagi besok
pagi. Itu pun pasti agak siang jika sudah sarapan. Sudah lurus saja.
Jika belum saatnya pulang ya tidak usah pulang!" Tegas Azzam.
"Wah kau bakat jadi pemimpin besar Zam. Kau punya disiplin yang
bisa diandalkan!" Sahut Kang Paimo.
Truk itu terus melaju melewati Solo, lalu ke Sragen. Sampai di
Sragen pukul sebelas malam. Kemudian melanjutkan perjalanan dan
mengantarkan buku-buku itu ke Ngawi, Madiun, Jombang,
Surabaya, Tuban, Rembang, Kudus, dan Kendal.
Edited by : Bo188 Bon-q97
Azzam dan kedua temannya pulang kembali ke rumahnya di Sraten,
Kartasura, dua hari setelahnya. Azzam memasuki rumahnya dini hari
jam empat. Ia disambut ibu dan kedua adiknya dengan penuh cinta
dan kerinduan. Husna langsung menyiapkan air hangat untuk mandi
kakaknya. Melalui perjalanan mengantar buku-buku itu Azzam
banyak belajar dan mengambil pelajaran.
Azzam juga sudah benar-benar bisa mengendarai truk itu karena
mengantarkan buku-buku. Dalam perjalanan dari Sragen dan Ngawi
Kang Paimo kelelahan, dan Si Kamdun tak kuasa menahan kantuk.
Kang Paimo memaksa Azzam untuk mengemudikan. Pertama ia
mengemudikan dengan pelan. Lama-lama tambah kecepatan. Dan
akhirnya bisa mengemudikan truk itu dengan baik dari Sragen
bahkan sampai Madiun. Ia jadi banyak belajar dari jalan.
Edited by : Bo189 Bon-q97
11
UJIAN TAK TERDUGA
Azzam meminjam sepeda motor butut milik Husna. Ia harus shalat
Ashar di Wangen. Ia telah berjanji pada Kiai Lutfi bahwa dirinya
akan ikut pengajian Al Hikam. Ia tidak mau mengingkari janji yang
telah terlanjur ia ucapkan. Meskipun saat itu lelah dari tubuhnya
belum benar-benar pulih.
Ia pacu sepeda motor tua itu sekuat-kuatnya. Tapi lajunya maksimal
tetap enam puluh kilometer perjam. Menjelang sampai Polanharjo ia
melihat sawah yang terhampar. Sejenak ia hentikan motornya. Sudah
lama ia tidak menikmati pemandangan sawah seperti itu.
Di kejauhan ia melihat orang-orang sedang bekerja. Mereka
mencangkul bergelut dengan lumpur. Dari jauh mereka kelihatan
seumpama kayu hidup, tak berbaju. Terik matahari memanggang
mereka. Tubuh mereka hitam dan berkilauan karena keringat.
Keringat mereka merembes dari setiap pori-pori lalu jatuh dan jadi
pupuk penyubur padi yang kelak mereka tanam. "Mereka para
Edited by : Bo190 Bon-q97
pahlawan, karena keringat merekalah jutaan orang bisa makan."
Gumam Azzam.
Setelah puas menikmati pemandangan yang menggugah itu ia
melanjutkan perjalanan. Lima belas menit sebelum ashar Azzam
sampai di masjid pesantren. Masyarakat yang hendak mengikuti
pengajian Al Hikam telah banyak berdatangan. Azzam melihat di
antara yang hadir ada Pak Mahbub, imam masjid di kampungnya.
Pak Mahbub tampak sedang asyik berbincang dengan seorang kakek
berbaju hitam. Azzam tidak ingin mengganggu keasyikan mereka.
Ia lalu melihat Kiai Lutfi berjalan dari rumah ke masjid. Kiai itu
berbincang dengan seorang santri. Lalu mengitarkan pandangannya
ke arah jamaah yang ada di dalam masjid. Azzam terus
memperhatikan gerak gerik Kiai itu. Dan saat kedua matanya dan
kedua mata Kiai Lutfi bertemu, ulama kharismatik itu tersenyum
padanya. Ia kaget ketika Kiai Lutfi berjalan ke arahnya.
"Kau memenuhi janjimu Zam?"
"Janji memang harus dipenuhi Pak Kiai."
"Kebetulan kau datang. Aku mau minta tolong, tapi maaf
mendadak."
"Apa itu Pak Kiai."
"Sepuluh menit yang lalu aku dapat kabar Kiai Rosyad Teras
Boyolali wafat. Dia kakak kelasku di Sarang. Aku harus ke sana.
Sebab mau dikubur bakda ashar ini juga. Lha ini kok kebetulan Si
Hamid yang biasa jadi badal sedang di Jogja. Kasihan kalau
pengajian diliburkan. Aku minta kamu yang menggantikan ya."
Edited by : Bo191 Bon-q97
Mendengar kalimat terakhir Kiai Lutfi Azzam bagai disambar petir.
Ia sama sekali tidak siap dan tidak menduga hal ini akan
menimpanya. Seketika keringat dingin keluar dari pori-porinya.
"Menggantikan Pak Kiai menjelaskan isi Al Hikam?"Tanya Azzam.
"Iya."
"Aduh Pak Kiai saya tidak bisa. Sungguh!"
"Kamu jangan terlalu merendah. Alumni Al Azhar pasti bisa."
"Tapi saya datang untuk belajar Pak Kiai."
"Ini juga belajar."
"Saya tidak bawa kitabnya Pak Kiai."
"Pakai kitabku."
"Sungguh Pak Kiai, jangan saya!"
"Tak ada yang lain. Kalau kamu tidak mau namanya
menyembunyikan ilmu."
"Jujur Pak Kiai, saya tidak siap."
"Sudah, kamu jangan mbulet-mbulet. Ayo ikut aku mengambil kitab.
Aku jelaskan sampai di mana. Ayo Nak!"
Dengan hati bergetar Azzam bangkit mengikuti Kiai Lutfi. Saat
berpapasan dengan beberapa santri, tampak para santri
memperhatikannya dengan penuh tanda tanya. Ia tidak memakai
sarung lazimnya para santri. Tapi ia pakai celana. Untungnya ia
Edited by : Bo192 Bon-q97
memakai baju panjang dan kopiah putih. Jadi masih tidak terlalu
menarik perhatian. Kiai Lutfi memintanya duduk di kursi yang ada di
beranda. Kiai Lutfi lalu masuk untuk mengambil kitabnya. Di ruang
tengah Kiai Lutfi bertemu Anna.
"Jadi ke Boyolali Bah?"
"Iya."
"Yang mengajar ngaji Al Hikam siapa?"
"Tadi rencananya Si Hamid seperti biasa. Tapi ia ternyata pergi ke
Jogja. Tapi alhamdulillah ada pengganti lain yang semoga lebih
baik."
"Siapa Bah?"
"Azzam."
"Azzam siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan temanmu itu. Yang ngantar kitab ke sini."
"Dia? Dia ada di sini?"
"Iya mau ikut pengajian. Untung Abah lihat, jadi kupaksa saja dia."
"Abah ini, itu namanya zalim Bah! Kasihan dia, kalau tidak siap
bagaimana?"
"Abah tidak zalim insya Allah. Ini akan jadi pelajaran penting bagi
dia insya Allah. Dia akan sadar kalau alumni Timur Tengah itu harus
siap mengabdi pada ummat kapan saja. Harus selalu siap."
Edited by : Bo193 Bon-q97
"Terserah Abah lah."
Kiai Lutfi mengambil kitab Al Hikamnya. Lalu memberi tahu Azzam
di halaman berapa Azzam harus membacakan. Kitab itu sudah ada di
tangan Azzam. Pemuda kurus itu menerima dengan dada panas
dingin. Ia tidak tahu apa nanti yang akan ia sampaikan pada sekitar
tujuh ratus orang yang sore itu telah datang untuk mengambil cahaya
dari Al Hikam.
"Tenang nanti begitu selesai shalat ashar aku akan memberi sedikit
pengantar memperkenalkan kamu pada jamaah. Kamu langsung naik
mimbar menguraikan Al Hikam." Kata Kiai Lutfi. Kaki Azzam
terasa begitu berat untuk melangkah. Baginya ini adalah ujian yang
lebih menegangkan dari ujian di Al Azhar.
Azan ashar dikumandangkan. Jantung Azzam berdegup kencang. Ia
menenangkan diri dengan mengambil air wudhu meskipun ia masih
punya wudhu. Azzam shalat sunnah qabliyah. Dalam sujud Azzam
memohon pertolongan kepada Allah. Selesai shalat sunnah Azzam
membaca bab yang harus ia jelaskan nanti.
Tak lama kemudian iqamat dikumandangkan. Kiai Lutfi maju ke
depan. Dengan sangat teliti ia menata barisan. Masjid itu penuh oleh
santri dan masyarakat umum. Takbiratul ihram menggema sampai ke
relung relung jiwa seluruh makmum. Azzam shalat dengan hati
bergetar.
Selesai shalat ashar setelah istighfar Kiai Lutfi langsung naik ke
mimbar, "Assalamu'alaikum wr. wb. Jamaah sekalian, bapak bapak
dan ibu-ibu yang mulia. Sore ini Kiai Rosyad, seorang ulama dari
Boyolali dipanggil Allah. Inna lillahi wa inna ilahi raaji'un. Mohon
maaf, saya harus takziyah ke sana. Pengajian Al Hikam insya Allah
akan digantikan oleh Ustadz Khairul Azzam. Ustadz muda yang baru
Edited by : Bo194 Bon-q97
pulang dari Mesir. Sebelum pengajian mari kita shalat ghaib dahulu
bersama. Menshalati jenazah Kiai Rosyad rahimahullah Ta'ala."
Kiai Lutfi kembali ke pengimaman untuk memimpin shalat ghaib.
Setelah shalat beliau langsung keluar masjid dan masuk ke mobilnya
meluncur ke Boyolali. Beberapa jamaah mengikuti Pak Kiai
takziyah. Namun 99 persen jamaah tetap khidmat di dalam masjid.
Di lantai atas, Anna dan Bu Nyai Nur juga duduk khidmat. Anna
sangat penasaran apa yang akan disampaikan oleh kakaknya Husna.
Hatinya khawatir Azzam akan mengecewakan jamaah. Bukan karena
tidak bisa menyampaikan, tapi karena tidak ada persiapan sama
sekali. Ia tahu ayahnya suka main todong saja. Kalau ia yang
ditodong seperti Azzam pasti akan ia tolak mentah mentah. Bahkan
pada orang yang menodong seenaknya seperti itu ia pasti akan
marah.
Azzam naik ke mimbar. Dari lantai dua Anna memperhatikan.
Azzam tidak tahu kalau putri Kiai Lutfi itu memperhatikannya.
Kalau tahu bisa kacau suasana hatinya. Azzam membuka dengan
salam, lalu mengajak para jamaah membuka pengajian dengan
bacaan Al Fatihah bersama. Hati Azzam bergetar ketika lantunan
fatihah menggema begitu dahsyat. Dilantunkan bersama oleh ratusan
orang di rumah Allah yang mulia.
Kemudian Azzam membaca hamdalah dan shalawat kepada
Rasulullah. Ia telah menguasai keadaan. Barulah Azzam berkata
dengan suara yang tenang dalam bahasa Jawa yang halus,
"Jamaah sekalian yang dirahmati Allah, jujur, saya ini sebenarnya
juga masih bodoh. Maka saya datang ke pesantren ini untuk mengaji.
Jujur, saya datang untuk mengaji, untuk menimba ilmu. Bukan untuk
mengajar. Bukan untuk membacakan kitab. Tapi Romo Kiai Haji
Lutfi Hakim memaksa saya untuk naik ke mimbar ini. Saya tidak
Edited by : Bo195 Bon-q97
bisa berkutik apa-apa kecuali menjalankan titah Pak Kiai. Sebab saya
ini santri.
"Jamaah yang mulia, anggap saja saya ini sedang latihan. Jadi kalau
nanti banyak khilaf mohon dimaafkan. Maklum masih bodoh dan
sedang latihan.
"Baiklah jamaah yang mulia. Kita akan lanjutkan apa yang
sebelumnya telah dibacakan oleh Romo Kiai Lutfi. Terakhir kita
sampai pada kalimat hikmah yang ditulis Ibnu Athaillah As
Sakandari: Man atsbata li nafsihi tawadhuan fahuwa al mutakabbiru
haqqanl Yaitu siapa yang yakin bahwa dirinya merasa tawadhu'
maka berarti dia benar benar telah takabbur. Tentu Romo Kiai telah
menjelaskan panjang lebar masalah itu."
Kalimat-kalimat yang disampaikan Azzam itu terasa ringan masuk
kalbu para jamaah. Anna yang ada di atas mulai yakin Azzam akan
menyelesaikan tugasnya dengan baik. Anna tidak ingin Azzam gagal
dalam menyampaikan isi hikmah Ibnu Athaillah As Sakandari pada
ratusan jamaah tetap pengajian Al Hikam.
Anna mendengar Azzam melanjutkan pengajiannya:
"Kali ini kita hayati bersama kalimat Ibnu Athaillah yang berbunyi:
'Laisa al Mutawadhi'u al-ladzi idza tawadha'a ra'a annahu fauqa
ma shana'...' Artinya, bukanlah orang yang tawadhu' atau
merendahkan diri, seorang yang jika merendahkan diri merasa
dirinya di atas yang dilakukannya. Misalnya, contoh sederhananya
ada orang merasa tawadhu' dengan duduk di belakang suatu majelis,
tapi pada saat yang sama ia merasa tempat yang pantas bagi dirinya
adalah di atas itu yaitu duduk di bagian depan majelis itu. Maka
orang seperti ini menurut Ibnu Athaillah As Sakandari bukanlah
orang yang tawadhu'. Bahkan sejatinya orang yang sombong.
Edited by : Bo196 Bon-q97
"Atau misalnya ada orang merasa tawadhu', merasa telah
merendahkan diri dengan datang ke suatu tempat menggunakan
sepeda ontel, tapi dia merasa dirinya sebenamya pantas di atas itu
yaitu menggunakan motor. Maka orang seperti ini bukan orang yang
merendahkan dirinya, tapi orang yang sombong.
"Lantas siapakah orang yang benar-benar tawadhu'? Orang yang
benar-benar merendahkan diri?
"Ibnu Athaillah mengatakan di baris selanjutnya:
'Wa lakin al mutawadhi' idza tawadha'a ra-a annahu duna ma
shana'a.' Artinya, tetapi orang yang benar-benar merendahkan diri
adalah orang yang jika merendahkan diri merasa bahwa dirinya
masih berada di bawah sesuatu yang dilakukannya. Misalnya, ada
orang yang dipaksa duduk di bagian agak depan suatu majelis, ia
akhimya duduk di bagian agak depan, tapi ia merasa sesungguhnya
dirinya lebih pantas duduk di belakang. Atau misalnya di masyarakat
ada orang yang dimuliakan dan dihormati banyak orang, ia selalu
merasa dirinya sejatinya belum pantas menerima penghormatan
seperti itu. Itulah orang yang tawadhu'."
Azzam berhenti sejenak memandang ke wajah beberapa hadirin. Di
lantai dua tanpa sepengetahuan Azzam, Anna menyimak semua
kalimat Azzam dengan seksama. Azzam merasa beruntung bahwa
bagian kitab Al Hikam yang ia jelaskan ini pernah ia dapatkan
penjelasannya dari Imam Muda bernama Adil Ramadhan. Dia adalah
imam di masjid tak jauh dari apartemennya di Cairo. Imam muda itu
sebenamya adalah kakak kelasnya di Fakultas Ushuluddin, dan
usianya sama dengannya. Adil Ramadhan lulus S.1. dengan predikat
terbaik di angkatannya, dan sekarang sudah diangkat sebagai asisten
dosen di Universitas Al Azhar. Azzam merasa beruntung bahwa ia
telah mengkhatamkan Al Hikam dibimbing oleh Imam Adil
Ramadhan.
Edited by : Bo197 Bon-q97
Azzam menambah penjelasannya, "Jamaah yang mulia, tawadhu'
adalah sifat orang-orang mulia. Tawadhu' adalah sifat para nabi dan
rasul. Kebalikan dari tawadhu' adalah takabbur, sombong. Ulama
sepakat bahwa takabbur itu diharamkan dalam Islam!
"Sombong adalah sifat milik Allah saja, yang berhak memiliki hanya
Allah. Tidak boleh ada satu makhluk pun yang menyaingi Allah
dalam hal ini. Siapa yang menyaingi Allah dan merasa berhak
memiliki sifat takabbur maka dia berarti merasa menjadi Tuhan
manusia. Orang yang seperti ini pasti mendapat murka dari Allah.
Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah ber firman, 'Sombong adalah
selendangKu, dan agung adalah pakaian-Ku. Siapa yang
menyaingiKu dalam salah satu dari keduanya maka akan Aku lempar
dia ke dalam neraka Jahannam.'17
"Karena rasa sayang dan cinta Allah memerintahkan Rasulullah Saw.
untuk tawadhu'. Lalu karena rasa sayang dan cinta juga Rasulullah
memerintahkan kepada kita untuk tawadhu'. Rasulullah bersabda,
'Sesungguhnya Allah Swt. memerintahkan aku agar tawadhu',
jangan sampai ada salah seorang yang menyombongkan diri pada
orang lain, jangan sampai ada yang congkak pada orang lain.'18
"Rasululah adalah teladan bagi orang berakhlak mulia. Beliau
makhluk Allah paling mulia namun juga orang paling tawadhu'
dalam sejarah ummat manusia. Sejak muda Rasululah selalu
merendahkan dirinya.
"Contoh yang menggetarkan jiwa kita, adalah beliau sama sekali
tidak risih menjadi penggembala kambing. Dengan menggembala
kambing beliau tidak hanya merendahkan diri pada manusia juga
pada binatang.
17 Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ahmad, dan Muslim
18 Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ibnu Majah dan Abu Daud
Edited by : Bo198 Bon-q97
mjbookmaker by http://jowo.jw.lt
Beliau tidak canggung hidup di tengah-tengah kambing yang bau dan
kotor. Beliau menjaga dan melayani kambing dengan penuh kasih
sayang. Jika ada kambing yang melahirkan beliau membantu
persalinannya. Tidak ada jarak antara beliau dengan kambing yang
digembalakannya. Rasulullah tawadhu' tidak hanya pada manusia
juga pada binatang ternak yang digembalakannya.
"Contoh sifat tawadhu' Rasulullah. yang lain adalah beliau masih
mau memakan makanan yang jatuh ke tanah. Dapat kita baca dalam
Sirah Nabawiyyah bahwa setiap ada makanan jatuh ke tanah,
Rasulullah Saw. tidak membiarkannya. Beliau pasti mengambilnya
dan membersihkannya. Beliau membuang kotoran seperti debu yang
menempel padanya lantas memakannya. Beliau selalu menjilati jarijarinya
setelah makan. Beliau tidak merasa risih akan hal itu sama
sekali.
"Anas bin Malik ra., pembantu Rasulullah Saw., menjelaskan jika
Rasul makan beliau menjilati jari-jarinya tiga kali. Anas
meriwayatkan: Rasulullah Saw. bersabda, 'Jika makanan kalian jatuh
maka buanglah kotorannya dan makanlah dan jangan
meninggalkannya untuk setan!'19
"Para sahabat nabi juga menghiasi dirinya dengan sifat merendahkan
diri. Suatu hari Ali bin Abi Thalib membeli kurma satu dirham dan
membawanya dalam selimutnya. Saat itu Ali bin Abi Thalib adalah
khalifah yang memimpin ummat Islam seluruh dunia. Ada seorang
lelaki melihatnya dan berkata padanya, 'Wahai Amirul Mu'minin,
tidakkah kami membawakannya untukmu?' Ali menjawab dengan
merendahkan diri, 'Kepala keluarga lebih berhak membawanya.'20
19 Diriwayatkan oleh Imam Muslim.
20 Al Bidayah wan Nihayah 8/5.
Edited by : Bo199 Bon-q97
"Jamaah yang mulia, sejarah membuktikan hancurnya seseorang juga
hancurnya suatu bangsa di antaranya adalah kesombongan dan
kecongkakan yang dilestarikan. Seorang ulama menjelaskan hakikat
sombong adalah jika seseorang merasa pantas dibesarkan padahal
sejatinya tidak pantas. Jika seseorang merasa pantas menempati
suatu derajat padahal ia belum pantas.
"Bangsa kita ini akan bisa binasa jika masih banyak orang-orang
yang sombong. Bahkan sombong yang telah membudaya. Misalnya,
ada seorang yang masuk Fakultas Kedokteran dengan membayar
uang yang berjuta-juta rupiah jumlahnya kepada pihak universitas. Ia
tetap memaksakan diri masuk Fakultas Kedokteran, ia merasa
pantas. Padahal sejatinya ia tidak pantas. Nilainya masih kurang.
Tapi ia merasa pantas karena memiliki uang. Kepantasan itu bahkan
ia beli dengan uang. Ia tidak hanya sombong. Lebih sombong lagi, ia
membiayai kesombongannya itu. Maka yang akan jadi korban selain
dirinya sendiri ya bangsa ini. Akan muncul di negeri ini nanti ribuan
dokter yang tidak tahu apa-apa. Sehingga malpraktek ada di manamana.
"Ada juga maskapai penerbangan yang sombong. Sebenarnya tidak
pantas dan tidak layak terbang. Tapi merasa layak terbang. Merasa
layak dibesarkan. Ia mempropagandakan perusahaannya sedemikian
menyilaukan. Padahal pesawatnya adalah barang rongsokan. Pilotnya
belum lulus jam terbang. Tapi ia sombong. Ia merasa layak terbang.
Akibatnya jika demikian kebinasaanlah yang datang berulang-ulang.
"Juga, banyak orang merasa layak jadi pemimpin. Merasa layak jadi
negarawan yang mengatur bangsa. Padahal mengatur diri sendiri saja
tidak bisa. Mengatur keluarganya saja tidak bisa. Tapi ia merasa
layak ditinggikan sebagai pengatur negara. Sesungguhnya yang
mendorong itu semua adalah kesombongannya. Maka, jika sudah
demikian hukuman dari Allah tinggal ditunggu kapan datangnya."
Edited by : Bo200 Bon-q97
Sore itu Azzam hanya membaca dua baris saja dari kitab Al Hikam.
Namun penjelasannya cukup panjang dan mendalam. Bu Nyai Nur
tersihir oleh uraian Azzam. Sementara Anna diam-diam semakin
kagum pada pemuda itu. Anna kembali ingat perkataan ayahnya. Dan
benarlah perkataan Abahnya malam itu:
"Jika Abah masih punya anak putri, pasti akan Abah pinta Azzam
jadi menantu. Abah tak akan menyia-nyiakan kesempatan."
Begitu turun dari mimbar ratusan jamaah menyalaminya. Para santri
berebutan ingin mencium tangannya. Setiap kali mau dicium dengan
cepat Azzam menarik tangannya. Ia merasa sangat tidak pantas
dicium tangannya. Dosanya masih menggunung dan aib dirinya tak
terhitung jumlahnya. Ia yakin jika yang ingin mencium tangannya
melihat dosa dan aibnya, pasti akan menjauh darinya, tak akan sudi
mencium tangannya.
Pak Mahbub ikut menyalaminya dan memeluknya erat-erat dengan
mata berkaca-kaca, "Semoga ilmumu barakah Zam. Aku bangga
padamu, Anakku. Aku jadi teringat ayahmu, teman seperjuangan
Bapak. Semoga manfaat ilmumu menjadikan ayahmu diangkat
derajatnya disisi Allah."
"Amin. Doanya Pak Mahbub. Dan mohon bimbingannya, saya masih
harus banyak belajar." Lirih Azzam.
Seorang bapak-bapak setengah baya dengan batik biru keemasan
datang menyalami Azzam dengan menyungging senyum, "Aku
bahagia ada anak muda sepertimu Nak. Pak Kiai Lutfi tidak salah
memilihmu. Kalau boleh tahu Nakmas sudah menikah?"
Bahasa lelaki itu halus dan santun.
"Belum Bapak."
Edited by : Bo201 Bon-q97
"Kebetulan kalau begitu. Siapa tahu jodoh. Saya punya anak
perempuan masih kuliah. Nama saya Ahmad Jazuli. Ini kartu nama
saya. Nakmas boleh dolan bila ada waktu luang."
Azzam menerima kartu nama yang diulurkan bapak itu dengan dada
bergetar.
Sepulang dari takziyah Kiai Lutfi langsung bertanya pada Bu Nyai,
"Bagaimana Mi tadi pengajiannya?"
Kiai Lutfi duduk meletakkan punggungnya di sofa. Di luar senja
mulai turun. Sinar matahari yang kekuning kuningan perlahan mulai
pudar. Para santri ada yang sibuk mandi, ada yang sudah rapi, ada
yang sibuk menata baju bajunya dan memasukkan ke dalam almari.
Mendengar pertanyaan itu spontan Bu Nyai Nur menjawab dengan
penuh semangat,
"Wah luar biasa Bah! Pemuda itu bahasa Jawanya enak.
"Penjelasannya runtut dan dalam. Cuma dua baris saja dari kitab Al
Hikam yang dia bacakan. Tapi penjelasannya masya Allah Bah.
Haditsnya ia sampaikan. Seolah-olah dia itu hafal ratusan hadits.
Terus contoh-contohnya mulai dari yang kecil-kecil, contoh
tawadhu'nya Rasulullah, ada juga contoh Sahabat. Terus itu Bah,
bagusnya penjelasannya itu lho, masuk juga untuk keadaan bangsa
saat ini. Jujur Bah ya, tapi Abah jangan marah lho!"
"Apa itu Mi?"
"Pertama, penjelasan Azzam dan cara menerangkannya aku lebih
suka daripada caranya Abah. Menurutku Abah terlalu membuat
tasawuf angker. Terus contoh contoh yang Abah sampaikan
seringnya cuma Mbah Kiai ini begini, Mbah Kiai itu begini, Syaikh
Edited by : Bo202 Bon-q97
ini begini, Syaikh itu begini. Langsung saja Bah kayak Azzam tadi,
langsung induk-induknya yang diambil. Langsung Rasulullah, baru
yang lain-lain sampai masuk keadaan sekarang ini."
Anna mendengar perbincangan kedua orang tuanya itu dari dapur. Ia
tersenyum Abahnya dikritik Umminya. Dalam hati Anna berkata,
"Bagus Mi, ayo terus kritik Abah. Biar semakin maju dan
tercerahkan." Ia ingin tahu apa jawaban Abahnya. Apakah akan
marah dan tinggi hati atau sebaliknya. Kalau marah maka ia akan
sarankan kepada Abahnya agar tidak usah membacakan kitab Al
Hikam saja. Kalau marah berarti Abahnya sombong. Dan sebaiknya
Abahnya belajar tidak sombong baru mengajarkan Al Hikam.
"Iya maklum Mi. Azzam itu kuliah sampai Mesir, lha Abah kan
cuma pesantren lokal. Kalau Azzam Ummi lihat lebih baik dari Abah
alhamdulillah, Abah bersyukur, akan terus ada penerus perjuangan
menegakkan kalimat Allah. Itu kan yang pertama Mi. Yang kedua
apa?"
Anna tersenyum mendengar jawaban Abahnya. Abahnya sungguh
lapang dada. Tapi Anna senyum Anna hilang begitu mendengar
perkataan Umminya,
"Maaf Bah, entah kenapa hati Ummi sebenarnya kok cenderung pada
pemuda itu setelah tadi mendengarkan uraiannya. Ummi merasa
pemuda itu cocok jadi anak Ummi."
"Maksudmu jadi menantumu."
"Iya Bah."
"Sudahlah Mi. Ummi ini panutan. Ummi harus bersyukur atas segala
pemberian Allah. Semua manusia ada kelemahan dan kelebihannya
masing-masing. Anna sudah memilih Furqan. Insya Allah itu pilihan
Edited by : Bo203 Bon-q97
terbaik. Abah yakin Furqan juga punya kelebihan yang tidak dimiliki
oleh pemuda itu. Jangan mengatakan hal ini sama Anna. Nanti dia
malah sedih. Kita harus dukung apa yang dipilih Anna, meskipun
kita sebenarnya punya pilihan dan kriteria yang berbeda." Jawab Kiai
Lutfi.
Di belakang tanpa mereka ketahui Anna mendengarkan itu semua.
Anna berusaha menahan tangisnya. Pelan-pelan ia naik ke lantai atas.
Dan masuk ke kamarnya. Di kamar ia kembali menangis. Ia tak
kuasa menahan sesak di dalam dada.
Edited by : Bo204 Bon-q97
12
PERNIKAHAN
Dini hari, kira-kira jam dua, tepat di hari Anna akan melangsungkan
akad nikah, Kiai Lutfi bermimpi. Sebuah mimpi yang menakjubkan.
Dalam mimpinya itu ia melihat gugusan bintang. Lalu ada bintang
paling terang turun dan bersinar di atas mimbar masjid pesantren.
Kiai Lutfi melihat beberapa tunas pohon kelapa yang menakjubkan
yang tumbuh tepat di halaman pesantren. Lebih menakjubkan lagi
dalam mimpinya itu ketika ia ke kamar putrinya ia melihat sorban
putih wangi ada di sana. Entah kenapa sepertinya ia yakin sorban
putih itu adalah milik Kiai Sulaiman Jaiz, yang tak lain sebenarnya
adalah pendiri pesantren Wangen.
Kiai Lutfi terbangun dengan rasa takjub masih menyelimutinya. Ia
bangunkan Bu Nyai Nur, isterinya. Ibunda Anna Althafunnisa itu
membalikkan badan dengan sedikit menggerutu, "Ada apa Bah.
Tidak tahu apa aku masih sangat ngantuk. Tadi aku tidur jam satu.
Abah mau besok aku pucat di hari yang paling bersejarah bagi
Anna!"
Edited by : Bo205 Bon-q97
"Ummi, tolong sebentar saja. Aku bermimpi sangat menakjubkan!
Mimpi baik yang luar biasa indahnya." Bisik Kiai Lutfi tepat di
depan telinga isterinya. Bu Nyai Nur langsung membuka matanya
dan bangkit perlahan. Ia dibangunkan oleh rasa penasaran.
"Mimpi apa Bah?"
"Ini mimpi yang paling indah yang pernah aku lihat Mi. Aku
bermimpi melihat gugusan bintang. Terus ada bintang yang sangat
terang cahaya. Paling terang di antara lainnya. Bintang itu turun dan
bersinar di atas mimbar masjid pesantren kita. Tidak hanya itu, aku
juga melihat beberapa tunas pohon kelapa yang menakjubkan yang
tumbuh tepat di halaman pesantren. Dan lagi aku menemukan sorban
Kiai Sulaiman Jaiz yang sangat wangi di kamar Anna. Apa ya Mi
takwilnya?"
"Pasti baik Bah." Jawab Bu Nyai Nur mantap. "Ya tapi kira-kira apa
ya?"
"Menurutku itu petunjuk baik Bah. Petunjuk penting di hari
pernikahan Anna. Bintang itu menurutku adalah Furqan. Karena ia
nanti yang akan menggantikan Abah. Dialah bintang di mimbar itu.
Lalu tunas-tunas pohon kelapa itu adalah anak-anak hasil pernikahan
mereka. Dan sorban itu, bisa jadi menunjukkan kepada kita Furqan
mungkin ada pertalian darah dengan Kiai Sulaiman Jaiz. Tapi ya
Allahu a'lam Bah. Namanya juga takwil. Yang penting kita
takwilkan yang baik-baik saja."
"Kurasa takwilmu sangat masuk akal Mi. Wah ini sangat
membahagiakan. Anna harus diberi tahu biar dia semakin bahagia."
"Kita bangunkan dia sekarang?"
"Tidak usah. Nanti selepas shalat subuh kita beri tahu dia."
Edited by : Bo206 Bon-q97
Dan benar, selesai shalat subuh Kiai Lutfi dan Bu Nyai Nur
memberitahukan mimpi itu kepada Anna. Bu Nyai Nur berkata,
"Aku yakin kau akan bahagia Nduk."
"Amin." Sahut Anna dengan hati berbunga-bunga. Ia semakin
mantap menghadapi detik-detik bersejarah yang tinggal beberapa jam
saja akan dilaluinya.
Hari itu Pesantren Daarul Quran Wangen lain dari biasanya. Gerbang
pesanten dihiasi janur melengkung. Di sepanjang jalan dari pertigaan
Polanharjo sampai pesantren dipasang umbul-umbul berwarnawarni.
Para santri libur, namun tetap berpakaian rapi. Sebagian besar dari
mereka membantu menyiapkan acara bersejarah bagi keluarga besar
pesantren itu. Yaitu hari akad nikah dan walimah Anna Althafunnisa.
Panggung pengantin disiapkan di halaman rumah menghadap masjid.
Panggung itu terasa mewah. Mahligainya bernuansa Islam
Andalusia. Sementara tempat untuk tamu undangan juga terasa
mewah. Halaman rumah Kiai yang sekaligus halaman masjid itu
bagai di sulap dijadikan tempat seperti dalam dongeng seribu satu
malam. Yang menggarap dekorasinya adalah para profesional yang
didatangkan dari Jakarta.
Sejak jam enam pagi Anna sudah bersiap-siap. Jam tepat pukul
setengah tujuh ia sudah siap dengan gaun pengantin yang dipesan
oleh Ibu Maylaf, ibunya Furqan pada desainer terkenal. Anna tampak
begitu segar dan bernas. Pesona jelitanya bagai putri dalam dongeng.
Tepat pukul tujuh Furqan dan rombongan datang. Mereka disambut
dengan lantunan Thala'al Badru dan irama rebana yang begitu padu.
Furqan tampak gagah lalu ia masuk masjid.
Edited by : Bo207 Bon-q97
Pagi itu ribuan orang akan menyaksikan akad nikah yang sudah lama
terdengar gaungnya. Para santri dan masyarakat sekitar memenuhi
masjid. Tetamu undangan yang berbondong-bondong datang pelanpelan
memenuhi kursi yang disediakan.
Di antara tamu yang hadir adalah Azzam sekeluarga. Ia menyewa
mobil yang ia kendarai sendiri untuk datang. Ibunya sangat takjub
dengan pesta yang sedemikian megahnya.
"Namanya juga yang punya gawe orang besar Bu. Ya wajar." Kata
Azzam pada ibunya. Ibunya hanya manggut manggut sambil terus
melihat ke panggung pengantin yang belum pernah ia lihat
sebelumnya. Sementara Husna meletakkan kado pada tempatnya.
Azzam dan keluarganya memilih tempat yang agak di belakang.
Seorang lelaki setengah baya memakai batik cokelat keemasan
dengan peci tinggi datang. Serta merta Pak Kiai Lutfi yang
melihatnya mempersilakan lelaki itu ke kursi paling depan.
"Itu yang datang adalah Bapak Bupati!" Bisik Husna pada kakaknya.
"Berarti banyak orang penting yang datang?" Gumam Azzam.
"Tentu Kak. Termasuk kakak kan orang penting. Kakak kan artis,
teman dekatnya Eliana."
"Sst! Jangan bahas Eliana lagi ya. Bosan aku mendengarnya."
"Iya ya Kak. Husna tak akan bahas lagi."
Tamu-tamu terus berdatangan. Azzam melihat arlojinya. Jam
delapan kurang lima menit. Ada seorang anak muda tinggi kurus,
kulitnya agak hitam, berkoko dan berkopiah putih datang dan
memilih duduk di samping Azzam.
Edited by : Bo208 Bon-q97
"Kosong?" Tanya pemuda itu.
"Iya. Silakan duduk!" Jawab Azzam.
"Dari mana Mas? Dari Jakarta?"
"Tidak. Dari dekat sini saja. Saya dari Sraten, Kartasura."
"Teman pengantin putra atau teman pengantin perempuan?"
"Teman keduanya. Kebetulan adik saya ini akrab dengan pengantin
perempuannya."
"Memang adik Mas kuliah di Mesir juga?"
"Tidak. Di UNS. Katanya kenal saat bedah buku di sini. Dia jadi
pembicaranya dan Anna jadi pembandingnya."
"Sebentar, apa berarti adik Mas ini Ayatul Husna yang cerpenis itu?"
"Iya. Benar."
Husna yang di sampingnya diam mendengarkan. Manusia memang
bermacam-macam, pikirnya. Ada juga yang seperti pemuda ini. Baru
duduk langsung memberondong dengan banyak pertanyaan.
"Di samping Mas ini ya orangnya?"
"Benar."
"Sampaikan padanya saya selalu membaca cerpen cerpennya."
"Sampaikan sendiri saja langsung. Mumpung orangnya ada di sini."
Edited by : Bo209 Bon-q97
"Saya malu Mas."
"O ya gantian, kalau Masnya dari mana?" Azzam gantian bertanya.
"Saya juga dari Klaten, tepatnya daerah Pedan."
"Kerja di mana Mas?"
"Kerja tetap belum punya. Ini kan saya liburan. Ikut bantu mengajar
di pesantren Pak Kiai Lutfi ini. Saya masih kuliah Mas."
"Kuliah di mana kalau boleh tahu? S1 apa S2?"
"Saya sedang mengambil master di Aligarh India. Dulu S1 di
Madinah."
"Masya Allah. Oh ya kok belum tahu nama Mas."
"Nama saya Muhammad Ilyas."
"Saya Khairul Azzam. Oh lagi, kalau boleh tahu, di India ada nggak
ya kuliah S2 yang langsung menulis tesis begitu?"
"Saya persisnya kurang tahu. Setahu saya ya pasti ada kelasnya. Tapi
kalau S2 langsung by research, artinya langsung nulis tesis, di
Malaysia ada."
"Malaysia?"
"Iya. Mas S1 di mana?"
"Di Al Azhar."
" Wah, orang Mesir rupanya. Minat S2?"
Edited by : Bo210 Bon-q97
"Kalau S2 langsung nulis tesis, saya ada minat. Tapi kalau S2 masih
harus masuk kelas seperti biasa, mending saya bisnis saja. Saya
sudah malas ujian." Kata Azzam dengan intonasi sedikit dikuatkan.
Husna tersenyum mendengar perkataan kakaknya itu. Ia tahu jiwa
kakaknya. Kakaknya masih ingin melanjutkan kuliah lagi. Itu pasti.
"Ya di Malaysia. Kalau mau saya ada teman yang sekarang kuliah di
sana." "Boleh."
"Ini kalau mau dicatat nomor hp saya. Nomor hp Mas?"
"Oya, ini nomor hp saya, via adik saya Husna."
"Wah nomor cantik ya."
"Alhamdulillah."
Para tamu terus berdatangan. Dari pengeras suara diumumkan bahwa
acara akad nikah sebentar lagi akan dilangsungkan. Tepat jam
delapan akad nikah dilangsungkan. Furqan menjawab qabiltu21
dengan lancar tanpa keraguan. Anna yang menyaksikan dan
mendengar dari lantai dua masjid meneteskan air mata. Statusnya
kini telah berubah. Ia telah resmi menjadi isteri Furqan Andi Hasan,
MA. Ia berikrar dalam hati akan mencintai suaminya sedalamdalamnya.
Dan akan membaktikan hidupnya untuk suaminya
seikhlas-ikhlasnya.
Furqan juga menangis. Ia menangis bahagia sekaligus menangis
sedih. Bahagia karena ia telah resmi menjadi suami Anna
Althafunnisa. Bahagia karena ia telah menyunting gadis yang
diidam-idamkannya.
21 Qabiltu: Aku terima.
Edited by : Bo211 Bon-q97
Dan bahagia karena ia telah membahagiakan ayah dan ibunya.
Namun di saat yang sama ia juga sangat sedih. Sedih karena ia
merasa telah membohongi semua. Ia merasa telah mengkhianati
dirinya sendiri. Dan ia telah mengkhianati Anna dan keluarganya.
Tidak hanya mereka saja. Namun juga seluruh keluarga besar
pesantren Wangen semuanya.
Tak jauh dari situ. Meskipun Azzam tersenyum, ada rasa kecewa
yang halus menyusup dalam hatinya. Yang berhasil menikahi gadis
shalehah itu bukan dirinya, tapi temannya. Akad nikah yang baru
dilangsungkan benar benar menjadi benteng yang menghalanginya
untuk memiliki gadis itu selamanya. Anna bukan rezekinya. Ia harus
mencari yang lain. Meskipun dulu ia pernah menasihati Fadhil
ternyata untuk sama sekali tidak kecewa luar biasa susahnya. Tapi
Azzam berusaha untuk menepis kekecawaan itu.
Azzam menghibur dirinya, dalam hati ia merasa pernikahan Anna
dengan Furqan kini membuat dirinya benar-benar merdeka. Dirinya
merdeka dari harapan menyunting Anna, meskipun harapan itu tipis.
Harapan yang selama ini masih sesekali datang begitu saja ke dalam
hatinya tanpa ia pinta. Sekarang harapan itu telah sirna. Dan ia bisa
lebih berkonsentrasi untuk meraih cita-citanya yang pernah ia
sampaikan sambil bercanda pada Eliana, yaitu: jadi orang paling
kaya se-pulau Jawa. Azzam tersenyum.
Ada yang lebih dalam rasa kecewanya melebihi Azzam, yaitu
Muhammad Ilyas. Yang duduk tepat di samping Azzam. Ilyas yang
lamarannya ditolak oleh Anna. Namun hari itu juga, meskipun
kecewa, Ilyas merasa sudah merasa menemukan pengganti Anna.
Pengganti Anna yang ia yakin secara kualitas tak akan kalah jauh
dari Anna. Dalam hati ia sangat bersyukur hadir di acara pernikahan
itu, sebab ia telah berkenalan dengan kakaknya Ayatul Husna.
Sebenarnya sebelum nekat melamar Anna ia sudah terpesona dengan
cerpen-cerpen yang ditulis Ayatul Husna. Dan dalam hati ia juga
Edited by : Bo212 Bon-q97
tertarik dengan penulisnya. Ia berharap bahwa gadis itu belum ada
yang melamarnya.
Selesai akad nikah, pesta walimah langsung digelar. Acara digelar
mengikut adat Surakarta. Ada upacara kecil serah terima pengantin.
Yang lazimnya adalah pengantin putri diserahkan kepada keluarga
pengantin putra. Tapi dalam upacara kali ini dibalik. Yaitu keluarga
pengantin putra menyerahkan sang pengantin putra kepada pengantin
putri. Lalu dari pengantin putri menerima pengantin putra.
Untuk berbicara mewakili keluarga pengantin putra, keluarga Pak
Andi Hasan menunjuk KH. Abdul Hadi seorang ulama besar dari
Sukoharjo untuk mewakili. Dan dari pihak keluarga KH. Lutfi
meminta KH. Salman Al Farisi dari Batur Klaten untuk mewakili.
Upacara berlangsung begitu khidmat. Ratusan ulama dan tokoh
penting sekabupaten Klaten dan sekitarnya datang memenuhi
undangan. Bahkan ada tiga wartawan yang datang.
Setelah acara serah terima pengantin. Pengantin putra dan pengantin
putri disandingkan. Sebenarnya Anna tidak mau disandingkan seperti
itu. Ia tidak mau jadi tontonan. Furqan juga berpendapat yang sama.
Tapi Bu Maylaf dan Bu Nyai Nur bersikukuh harus ada panggung
untuk pengantin, harus ada pelaminan dan harus dirias dan
disandingkan. Anna dan Furqan tidak bisa berkutik.
Hal lagi yang Anna tidak sepakat, dalam pesta walimah itu tempat
duduk tamu undangan antara pria dan wanita tidak semuanya
dipisahkan. Hanya kursi-kursi bagian depan saja yang tampak jelas
lelaki dan perempuan terpisah. Sementara yang agak belakang sudah
campur tidak karuan.
Selama duduk di pelaminan Anna terus menunduk ke bawah. Ia
berbuat demikian karena rasa malunya pada banyak orang.
Edited by : Bo213 Bon-q97
Di tengah-tengah acara ada taushiyah yang disampaikan oleh KH. A.
Mujiburrahim Noor dari Semarang. Kiai muda yang sangat
digandrungi kawula muda di Jawa Tengah ini menyampaikan
taushiyahnya dengan penuh humor-humor segar. Di tengah-tengah
tausiyahnya itu Kiai muda itu mengatakan, "Kalau boleh saya ingin
menyampaikan satu hikmah yang disampaikan oleh Agatha Christie,
seorang penulis novel terkenal, pernah mengatakan, 'Suami paling
baik bagi seorang perempuan adalah seorang arkeolog. Makin tua
sang perempuan itu, makin cinta dan tergila-gila suaminya itu
padanya.' Saya sarankan kepada Mas Furqan untuk berjiwa seorang
arkeolog pada Mbak Anna. Jadi semakin lama umur perkawinan
akan semakin bahagia. Kenapa? Karena Mas Furqan memandang
isterinya semakin bernilai, semakin mahal. Kan menurut arkeolog
semakin berumur dan semakin tua barang itu akan semakin antik dan
mahal. Demikian juga Mbak Anna saya sarankan untuk berjiwa
arkeolog wanita, jadi semakin tua sang suami akan semakin tergilagila
dan semakin mencintainya!"
Para hadirin yang hadir bertepuk tangan dan tersenyum bahagia
mendengarnya. Nasihat itu sejatinya oleh Kiai Mujib tidak hanya
disampaikan kepada pengantin berdua. Tapi juga disampaikan untuk
seluruh hadirin, agar semakin mencintai pasangan hidupnya.
Acara ditutup dengan doa. Yang dipimpin langsung oleh ayah Anna
Althafunnisa, yaitu KH. Lutfi Hakim. Saat doa dibacakan jiwa Anna
bergetar. Furqan menangis kepada Allah agar dibukakan jalan
bahagianya. Tak jauh dari situ Azzam berdoa semoga Allah
menemukan pasangan hidup yang terbaik untuknya.
Setelah doa ditutup, hidangan penutup dikeluarkan. Barulah setelah
itu para hadirin mohon diri pulang. Azzam sekeluarga menemui Kiai
Lutfi dan Bu Nyai. Kiai Lutfi berkata kepada Azzam, "Aku doakan
kau mendapatkan pasangan yang terbaik menurut Allah Nak."
Azzam mengamini pelan. Setelah itu Azzam menemui Furqan.
Edited by : Bo214 Bon-q97
Kedua sahabat lama itu berangkulan erat, Azzam mengucapkan,
"Baarakallahu laka wa baaraka 'alaika wajama'a bainakuma fi
khair." Furqan mengamini. Lalu Azzam menelungkupkan kedua
tangannya di depan dada di hadapan Anna. Spontan Anna melakukan
hal yang sama.
"Terima kasih sudah datang. Juga terima kasih dulu pernah
menolong." Lirih Anna.
"Tak perlu berterima kasih untuk sebuah kewajiban." Jawab Azzam
sambil tersenyum.
Ketika Azzam turun dari panggung, Anna sempat mengikutinya
dengan ekor matanya sesaat. Ia teringat kata kata Abahnya saat
Azzam mengantarkan buku,
"Jika Abah masih punya anak putri, pasti akan Abah pinta Azzam
jadi menantu. Abah tak akan menyia-nyiakan kesempatan."
Dalam hati Anna mengatakan, "Kaulah sejatinya dambaan Abahku
dan juga dambaan diriku." Anna langsung beristighfar. Ia merasa
melakukan kesalahan besar. Sambil menyalami tetamu putri yang
minta diri ia terus beristighfar. Ia mencoba menghapus bayangan
Azzam dengan mimpi Abahnya semalam. Juga takwil mimpi
Umminya. Bahwa bintang itu menurut Umminya adalah Furqan.
Karena ia nanti yang akan menggantikan Abah. Dialah bintang di
mimbar itu. Dan tunas-tunas pohon kelapa dalam mimpinya
Abahnya itu adalah anak anak hasil pernikahannya dengan Furqan.
Hari akad nikah itu hari Jumat. Karena waktunya akan diputus shalat
Jumat, maka acaranya benar-benar diringkas dan dipercepat.
Pulang dari acara pernikahan Anna, Azzam mengajak Husna, Lia dan
ibunya keliling kota Solo. Azzam menyewa mobilnya satu hari
penuh. Ia merasa harus menggunakannya dengan sebaik-baiknya.
Edited by : Bo215 Bon-q97
Selain untuk jalan jalan ia bertujuan untuk semakin memperbanyak
jam terbang mengemudi, meskipun dengan mobil sewaan.
Sejak kepulangan Azzam, Bu Nafis tampak lebih segar dan
kesehatannya semakin membaik. Batuknya jauh berkurang. Melihat
anaknya bisa mengemudikan mobil Bu Nafis merasa bahagia sekali.
Bu Nafis berkata, "Aku doakan kamu bisa beli mobil Nak. Terus
nanti kalau punya isteri bisa kau ajak ke mana-mana dengan
mobilmu." Azzam, Husna dan Lia langsung menyahut, "Amin."
"Ngomong-ngomong kakak sudah punya calon belum?" Tanya
Husna.
"Katanya calonnya Eliana." Sahut Lia.
"Kalau Eliana jangan dibahas, dia itu cuma main-main. Kalau
ngikutin dia bisa sakit jantung kita!" Tukas Husna.
"Iya Nak, kau sudah ada pandangan?" Tanya Bu Nafis.
"Belum, Bu. Jujur saja ya. Selama ini perempuan yang aku kenal
cuma tiga. Bue, Husna dan Lia. Belakangan kenal Eliana dan Anna.
Itu saja." Jawab Azzam.
"Kalau Sarah adik kita?" Sahut Lia.
"Ya kenal. Tapi kakak belum pernah ketemu dia kan. Waktu kakak
berangkat dulu kan Sarah masih di kandungan."
"Kakak sudah ingin nikah?" Ujar Husna
"Lha tentu lah Na. Kakak ini sudah tua. Itu tetangga kita Si Pendi
sudah punya anak tiga. Si Pendi itu kan teman SD kakak dulu."
"Husna punya teman Kak, mau coba Husna temukan dia?"
Edited by : Bo216 Bon-q97
"Boleh saja."
"Kak Azzam sebenarnya sudah ketemu sama dia."
"Siapa?"
"Itu Si Rina Jakarta."
"Itu yang ikut jemput di bandara?"
"Ya. Dia itu baik akhlaknya. Husna jaminannya."
"Boleh."
"Wah kalau dia akan sangat cepat prosesnya Kak. Besok pagi
menikah juga bisa. Sebab dia sudah bilang ke saya suka sama kakak.
Dan kedua orang tuanya juga mengharapkan menantu lulusan Cairo.
Kalau begitu besok saya hubungi Rina." Husna bersemangat.
Tapi Bu Nafis tiba-tiba menyela,
"Bue tidak setuju!"
Husna menoleh ibunya dengan pandangan heran.
"Kenapa Bu? Rina itu berjilbab dan baik. Dia teman baik Husna."
Pelan Husna.
"Ibu tidak setuju punya menantu Rina!" Tegas Bu Nafis.
"Iya tapi kenapa?"
"Entah ibu tidak tahu. Yang jelas ibu tidak cocok! Rina sudah pernah
ke rumah kan? Ibu tidak cocok!" Kata Bu Nafis sengit.
Edited by : Bo217 Bon-q97
"Tenang Bu. Kita nanti akan cari yang ibu cocok." Kata Azzam
meredakan. Azzam tahu persis watak ibunya sekali bilang tidak
cocok maka akan sangat sulit dilunakkan hatinya. Bagi Azzam,
ibunya tidak cocok dengan Rina ia tak kehilangan apa-apa. Nanti
Rina pasti akan ketemu jodohnya. Hanya saja saat ibunya tidak
cocok dengan Rina berarti ia harus ikhtiar untuk mencari jodoh yang
benar benar cocok baginya dan bagi ibunya. Sebab ia ingin menikahi
perempuan yang benar-benar diridhai ibunya.
Azzam membawa mobilnya ke Masjid Agung. Ia sudah rindu dengan
masjid legendaris di Kota Solo itu. Masjid yang banyak memberikan
kenangan indah padanya. Di antaranya dulu waktu masih SD ia
pernah menjuarai Lomba Tartil Al Quran tingkat anak-anak
seKaresidenan Surakarta yang diadakan oleh MUI Surakarta. Di
Masjid Agung itulah ia lomba dan di masjid itulah ia menerima
pialanya. Dan itu adalah piala pertama yang ia terima dalam
hidupnya.
Dengan susah payah akhirnya Azzam bisa memarkir mobilnya di
halaman masjid. Karena jam terbangnya belum banyak, ia sampai
keringatan saat memarkir mobilnya. Baginya yang belum mahir
benar, memarkir mobil adalah kesulitan terbesarnya. Apalagi
tempatnya begitu padat. Ia harus ekstra hati-hati.
Azan pertama dikumandangkan. Ia memandang masjid kenangan.
Masih sama dengan sembilan tahun silam. Sementara ia ke masjid
untuk shalat Jumat, Ibu dan dua adiknya melangkah ke Pasar Klewer.
Ia sempat berpesan pada Husna, "Lihat-lihat saja dulu, jangan
mengadakan transaksi jual beli dulu ya. Nanti kita belanja setelah
kakak selesai shalat Jumat. Okay Dik?"
Husna mengangguk paham.
Edited by : Bo218 Bon-q97
13
PERTEMUAN DI KLEWER
Ada yang mengatakan, bahwa Pasar Klewer adalah pasar tekstil
terbesar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Sebagian orang-orang
Solo meyakini hal itu. Meskipun orang-orang Jakarta selalu bilang
pasar tekstil terbesar adalah Tanah Abang Jakarta.
Yang jelas Pasar Klewer sebagai pasar batik dan lurik terbesar di
Indonesia hampir tidak ada yang membantahnya. Dan pasar Klewer
dikenal sebagai pasar aneka sandang terlengkap di Jawa Tengah juga
diakui siapa saja.
Pasar Klewer adalah urat nadi perekonomian masyarakat Solo.
Terletak tepat di sebelah barat Keraton dan tepat di selatan Masjid
Agung. Tiga tempat itu seolah satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Karena letaknya yang sangat strategis Pasar ini tak
pernah sepi dari hiruk pikuk pembeli dan pedagang. Bahkan
pelancong.
Edited by : Bo219 Bon-q97
"Semakin padat saja ya Na Klewer sekarang?" Kata Azzam pada
Husna. Ia sudah berada di sebuah lorong Pasar Klewer. Depan
belakang dan kiri kanannya adalah kios pedagang sandangan. Mulai
dari pakaian bayi, anak anak, sampai kakek-kakek dan nenek-nenek
dijual di situ. Mulai yang murah sampai yang mahal. Mulai batik
sampai jeans. Mulai baju pesta sampai baju takwa. Semua ada.
"Sangat padat Kak. Menurut data yang saya ketahui jumlah pedagang
resminya saja tak kurang dari 1467 pedagang. Dari pedagang
sebanyak itu transaksi yang berjalan tak kurang dari lima sampai
enam milyar setiap harinya." Husna menjelaskan.
"Kau mau beli apa Na?"
"Beli jaket dan jilbab buat Si Sarah Kak. Oh ya kapan ya kita ke
Kudus Kak? Dia belum kita beri tahu kalau Kakak sudah pulang."
"Bagaimana kalau Ahad depan. Kakak akan sewa mobil lagi satu
hari."
"Boleh."
"Ibu dan Lia mana?"
"Di atas Kak. Ibu lagi milih mukena dan Lia lagi mencari seprai
untuk kado pernikahan temannya."
"Wah kok menikah terus ya di mana-mana."
"Memang lagi musimnya Kak. Mumpung tidak musim hujan."
"Ayo kita temui mereka."
"Ayo."
Edited by : Bo220 Bon-q97
"O ya kalian sudah shalat zuhur?"
"Sudah. Tadi kita mampir ke kios temannya Lia. Dan kita shalat di
sana."
Azzam dan Husna bergegas menemui ibunya. Di sepanjang lorong
Azzam banyak menjumpai pedagang kaki lima yang dagangannya
memenuhi lorong, sehingga cukup mengganggu para pengunjung,
termasuk dirinya. Di lantai dua, di Kios Sumber Rejeki, Azzam
menemui ibunya yang sedang memilih-milih kemeja.
"Zam Bue pilihkan kemeja buat kamu."
"Wah yang mana Bu?"
"Ini. Bue suka warnanya."
"Kalau Bue suka Azzam juga suka."
"Coba kau lihat ukurannya."
Azzam mengambil kemeja dari tangan ibunya. Ia melihat ukurannya
dan mengukur ke badannya.
"Kurang besar sedikit Bu." Ujar Azzam pada ibunya.
"Ukuran di atasnya Mbak!" Pinta Bu Nafis pada penjaga kios
Sumber Rejeki. Penjaga itu perempuan yang masih sangat muda
mungkin masih gadis. Penjaga itu berjilbab sangat rapi dan modis.
"Iya Bu, ini." Penjaga itu mengulurkan kemeja yang berwarna sama.
"Coba ini Zam."
Azzam melihat dan mengukurkan ke badannya.
Edited by : Bo221 Bon-q97
"Lha kalau ini pas."
"Ada lagi yang kau inginkan Nak?"
"Sudah Bu."
"Kalau begitu Bue mau total semua. Berapa semuanya Mbak?"
"Seratus enam puluh lima Bu."
"Dipaskan saja Mbak?"
"Aduh ibu, tadi kan masing-masing sudah dikorting. Sudah dipaskan.
Jujur saya cuma mengambil untung sedikit kok Bu. Kalau dikorting
lagi saya dapat apa?"
"Dipaskan seratus lima puluh saja ya Mbak semuanya."
Aduh nyuwun sewu sanget22 Bu, tidak bisa." Azzam menengahi,
"Sudahlah Bu, dibayar saja. Rasulullah itu suka pada penjual yang
mempermudah dan juga suka pada pembeli yang mempermudah.
Sudah dibayar saja semoga barakah."
Perkataan Azzam didengar sang penjaga. Spontan ia berkata, "Baik
untuk ibu saya diskon lagi lima ribu. Jadi seratus enam puluh Bu."
"Baik. Terima kasih ya Mbak." "Sama-sama Bu."
Sebelum meninggalkan kios itu ketika Husna, Azzam dan Bu Nafis
sudah berjalan, Lia iseng bertanya pada penjaga kios itu,
"Eh maaf Mbak, Mbak sudah menikah belum?"
22 Mohon maaf sekali
Edited by : Bo222 Bon-q97
"Kenapa memangnya?" Jawab Mbak itu.
"Cuma mau nanya aja. Penampilan Mbak menarik sih."
"Kebetulan saya belum menikah. Kalau Mbak?"
"Sama. Saya juga belum." Jawab Lia.
"Eh, itu kakakmu ya?"
"Iya Mbak. Mbak tertarik?"
"Boleh juga. Kerja di mana?"
"Masih menganggur Mbak."
"Suruh kerja di sini saja sama aku."
"Ih, Mbak ini ada-ada saja. Kalau bukan mahram kan tidak boleh
berduaan di kios sempit seperti ini."
"Ya dihalalkan dulu biar tidak dosa." Ucap gadis penjaga kios itu
santai.
"Mbak bisa saja. Eh kalau boleh tahu siapa nama Mbak."
"Kartika Sari. Panggil saja Tika. Kalau Mbak?" "Lia."
* * *
"Mau makan di mana kita Bu?" Tanya Azzam. "Bue kangen sama
nasi Timlo Mbok Yem yang ada di dekat Sriwedari itu. Banyak
kenangan dengan ayahmu disana.
"Kalau begitu kita ke sana."
Edited by : Bo223 Bon-q97
Azzam membawa mobilnya ke barat ke arah Coyudan. Azzam
berkeringat, kelihaiannya mengemudi benar-benar diuji. Jalan dari
Klewer ke Coyudan begitu padat dan semrawut. Tukang becak
memarkir becaknya sembarangan. Angkutan umum ngetem
seenaknya memotong jalan. Mobil box bongkar pasang muatan.
Kendaraan bermotor yang jalan pelan namun tiba-tiba berzigzag
dengan cepat tanpa perhitungan. Hampir saja Azzam menabrak
becak yang tadinya parkir, tiba-tiba nylonong masuk jalan.
"Hati-hati Kak."
"Itu tukang becak nyawanya rangkap kali. Nylonong sembarangan.
Dasar!" Umpat Azzam spontan.
"Nak, kalau ngomong jangan kasar begitulah. Tidak enak didengar."
Tegur Bu Nafis.
"Astaghfirullah. Iya Bu. Kadang setan memang ada di mulut juga."
Azzam melewati kawasan Singosaren. Dan terus ke barat, hingga
akhirnya sampai Pasar Kembang. Husna memandang para pedagang
yang duduk menunggu pembeli datang. Ada seorang ibu tua yang
duduk termangu, pandangan matanya kosong. Husna merasa iba.
Entah apa yang sedang dilamunkan ibu tua itu. Tiba-tiba kedua mata
Husna menangkap sosok yang ia kenal.
"Kak pelan Kak!"
"Ada apa?"
"Itu seperti Zumrah. Dik Lia coba lihat itu Zumrah kan?"
Lia memandang ke arah yang ditunjuk Husna.
Edited by : Bo224 Bon-q97
"Iya benar Mbak."
"Kak Azzam berhenti sebentar!"
Husna sendirian. Ia berjalan cepat menuju sebuah kios penjual
kembang. Zumrah tampak duduk di sana melamun. Di sampingnya
seorang ibu setengah baya yang gemuk badannya sedang makan
jagung godog dengan lahapnya.
"Hei Zum!" Sapa Husna. Zumrah ternganga. Kaget. "Husna! Lia!"
"Hei, assalamu'alaikum." "Wa 'alaikumussalam."
"Sedang apa kau di sini? Kamu aku cari-cari ke mana mana!"
"Aku tak tahu harus bagaimana. Aku..."
"Sudah ayo ikut kami makan siang. Kau sudah makan?"
"Belum."
"Ayo. Sekalian ketemu kakakku. Dia sudah pulang. Dulu waktu
kecilkan kau selalu bilang mau jadi manten sama kakakku."
"Ah, kamu Na. Semua kenangan masa kecil kau ingat semua. Jadi
Mas Azzam sudah pulang?" "Iya. Itu di mobil." "Wah keren sudah
punya mobil." "Itu mobil orang. Ayo!" Husna setengah memaksa.
"Yuk."
Zumrah dan Husna menyapa ibu gemuk itu lalu bergegas ke mobil.
"Assalamu'alaikum Bu Nafis, Lia dan Mas Azzam." Sapa Zumrah
pelan.
Edited by : Bo225 Bon-q97
"Wa 'alaikumussalam." Jawab Bu Nafis, Lia dan Azzam hampir
bersamaan.
Mobil kembali berjalan. Dari kaca spion di dalam mobil sekilas
Azzam melihat wajah Zumrah. Wajah yang murung dan
mengguratkan kesedihan. Azzam membawa mobilnya terus ke barat
sampai di perempatan Baron. Lalu belok kanan. Sampailah di
kawasan Sriwedari. Azzam lalu membawa mobilnya ke arah jejeran
toko-toko buku loakan. Di sela-sela toko buku loakan ada sebuah
warung makan kecil. Warung itu milik ibu tua namanya Mbok Yem.
Tepat di depan warung itu mobil Azzam berhenti dan semua
penumpangnya turun. Azzam mengamati took toko loakan dengan
hati bahagia luar biasa. Rasa bahagia yang tidak bisa dilukiskan
dengan kata-kata. Ia juga punya kenangan indah di sebuah toko buku
itu. Dulu waktu masih SD ia memang sering diajak ayahnya ke toko
loakan itu untuk mencari buku-buku pelajaran bekas yang masih bisa
dipakai. Ia sangat bersemangat memilih buku-buku pelajaran bekas.
Dengan buku-buku bekas itulah ia bisa meraih prestasi yang baik.
Tak hanya itu, ia juga sering minta pada ayahnya untuk membeli
majalah Bobo. Untuk buku dan masalah baca membaca ayahnya
memang tidak pernah berpikir panjang mengeluarkan uang. Sejak
SD ia sudah keranjingan membaca. Lain dengan Husna, waktu SD
sampai SMP ia lebih suka main dan dolan dengan teman-temannya.
Itu dulu, sekarang Husna sudah 180 derajat berubah. Sekarang Husna
adalah predator buku, pelahap buku yang dahsyat. Hampir buku apa
saja yang diberikan kepada Husna pasti habis dibacanya. Kecuali
buku berbahasa Arab yang Husna tidak tahu artinya.
"Warung ini tempat aku dan ayahmu dulu sering makan bersama
ketika ayahmu beli buku-buku loakan untuk dibaca-baca. Sering kali
dulu juga mengajak anak anak." Kata Bu Nafis mengenang masa
lalunya.
Edited by : Bo226 Bon-q97
"Iya Bu saya masih ingat." Sahut Azzam.
"Semoga tempat penuh kenangan ini tidak hilang."
"Ya nggak lah Bu. Masak hilang."
"Bisa saja Zam, kalau dibuang sama pemerintah kan bisa hilang."
"Iya bener juga."
"Kau mau pesan apa Zam?"
"Aku ikut ibu saja."
"Semua ikut ibu?"
Husna, Lia dan Zumrah menganggukkan kepala.
"Timlo lima Mbok. Es Tehnya juga lima." Kata Bu Nafis pada Mbok
Yem yang duduk seperti menunggu aba aba. Mbok Yem langsung
bangkit dari duduknya dan meracik pesanan pembelinya.
"Mungkin aku bunuh diri saja!" Kata Zumrah serak. Semua yang
mendengar kaget dibuatnya.
"Aduh Nduk, jangan! Itu dosa besar! Bisa masuk neraka selamanya
kamu nanti!" Ucap Bu Nafis seketika.
"Apa yang bisa kami bantu untuk menghilangkan keputusasaanmu
Zum?" Lirih Husna.
"Aku tak tahu. Aku seperti tidak punya siapa-siapa Na. Aku merasa
seluruh keluargaku membenciku, menginginkan kematianku! Hiks...
hiks..." Serak Zumrah tersedu.
Edited by : Bo227 Bon-q97
"Kau punya kami Zum. Aku kan sudah bilang sama kamu agar jika
ada apa-apa temuilah aku di radio. Kau malah menghilang entah ke
mana. Zum, aku sudah cerita ke ibumu. Ibumu sudah memaafkanmu
dan juga adik adikmu. Mereka menginginkan kamu kembali Zum.
Hanya pamanmu saja yang masih marah. Itu kalau kau mohon maaf
dan menangis di kakinya juga pasti akan luluh." Dengan penuh cinta
Husna menenangkan dan membesarkan hati Zumrah.
"Benarkah ibu sudah memaafkanku?"
"Demi Allah Zum. Iya."
"Tapi aku tak pantas dimaafkan Na. Aku khilaf lagi. Aku sepertinya
sangat susah keluar dari lumpur setan ini. Setelah ketemu denganmu
di pesantren aku ke Jogja. Dan di sana, maaf, aku kepergok germoku
lagi. Aku tak berkutik. Aku dipaksanya melakukan maksiat lagi.
Meskipun aku sedang hamil Na. Sudah kujelaskan dia tidak ambil
peduli. Aku diancam akan dibunuhnya jika tidak mau Na! Aku harus
bagaimana?"
"Kalau kau ingin bersih, kau harus tidak lagi dekat-dekat dengan
dunia itu Zum! Kenapa pula kau ke Jogja? Pasti kan juga ke daerah
yang dikenal mereka dan kau kenal tho?"
"Iya Na. Aku memang bingung saat itu. Aku akhirnya ke kos-kosan
temanku. Kok pas germo itu ada di sana!"
"Begini saja Zum. Aku sarankan kau pulang saja ke Sraten. Hidup
sama keluargamu itu lebih aman."
"Aku malu Na."
Edited by : Bo228 Bon-q97
"Terserah kamu Zum kalau begitu! Mau bunuh diri ya bunuh diri
sana! Dulu kamu melakukan maksiat itu tak pernah malu! Ini untuk
kebaikanmu, yang ini tidak maksiat malah malu!" Husna jengkel.
Zumrah diam. Ia tahu Husna marah.
"Zum anakku, kalau kamu mau, ibu akan menemanimu menemui
ibumu. Dia pasti senang menerima kedatanganmu. Orang-orang
Sraten masih banyak yang sayang padamu kok Nduk."
Zumrah menghela nafasnya. Ia memandang Bu Nafis yang
mengelus-elus kepalanya. "Aku khawatir jika kedatanganku
menerbitkan kembali amarah ibuku. Aku tahu dosaku terlalu besar."
Menu yang dipesan sudah siap. Mbok Yem mengeluarkan nasi Timlo
lima pasang. Nasi putih dan sayur Timlonya yang mantap rasanya. Di
Solo, selain nasi Timlo, makanan khas yang juga sangat dikenal di
antaranya adalah nasi liwet, thengkleng, soto lembu, sate buntel,
bakso Solo, garang asem, cabuk rambak, pecel ndeso, gado-gado,
tahu kupat, nasi gudangan dan nasi sambal tumpang. Itu semua
adalah jenis makanan yang sangat dirindukan oleh Azzam. Karena
yang seperti itu di Cairo tidak ada. Kalau pun ada yang mencoba
membuatnya rasanya pasti beda. Sebab bumbunya tidak sama.
Sesaat masalah Zumrah tidak dibicarakan. Semua diam menikmati
hidangan masing-masing. Azzam masih bingung dengan apa yang
baru saja didengarnya. Ia sama sekali tidak tahu apa masalah yang
mendera Zumrah sebenarnya. Husna tidak cerita banyak padanya.
Dan ketika ia sholat di masjid atau ronda orang-orang juga tidak
banyak membicarakannya. Yang ia tahu Kang Paimo pernah cerita
Pak Masykur ayah Zumrah meninggal karena serangan jantung
akibat bertengkar dengan Zumrah. Dan Zumrah diusir dari rumah.
Setelah itu tidak pernah kembali. Bahkan di hari pemakaman
ayahnya juga tidak kembali.
Edited by : Bo229 Bon-q97
"Bagaimana Zum?" Tanya Husna selesai makan.
Zumrah diam. Ia gamang mau mengambil jalan yang mana. Jalan
pulang atau jalan pengembaraan panjang yang gelap dan tidak tahu
mana ujungnya. Jalan pulang adalah jalan yang ia inginkan, tapi
entah kenapa jalan yang gelap itu seperti telah begitu akrab
dengannya. Jalan yang selama ini ia lalui dengan darah dan air
matanya.
"Mbak Zum, sebagaimana orang untuk jahat dan berbuat dosa perlu
keberanian, perlu nyali, maka orang untuk baik dan berbuat benar
juga perlu keberanian, perlu nyali yang kuat!" Lia menguatkan.
Azzam yang mendengar kata-kata adiknya itu jadi kagum. Ia heran
dari mana adiknya itu mendapat ilham untuk mengatakan kalimat
yang dalam maknanya itu.
"Baiklah akan aku coba untuk pulang. Aku ikut kalian!" Ucap
Zumrah serak. Husna langsung maju memeluk sahabatnya itu.
"Bantu aku untuk kuat ya Na. Aku masih sangat rapuh Na." Pinta
Zumrah.
"Tenanglah Zum, jika kau merasa tidak punya siapa siapa, maka kau
masih punya Allah."
Mereka lalu naik mobil dan bergerak ke dukuh Sraten, Kartasura.
Azzam bertemu kembali dengan Zumrah. Teman Husna waktu masih
kecil. Zumrah yang dulu bersama Husna sering main ke rumah dan
sering main petak umpet dengannya. Zumrah yang dulu oleh anak
anak yang ngaji di masjid sering dijodohkan dengannya. Zumrah
yang pernah bilang ke ibu-ibu di Warung Bu War bahwa ia mau jadi
manten dengan kak Azzam saja. Ah masa kecil yang indah itu telah
berlalu!
Edited by : Bo230 Bon-q97
Ia kini bertemu Zumrah dalam keadaan yang jauh dari bayangannya.
Dari pembicaraan di warung Mbok Yem tadi sedikit banyak ia bisa
meraba apa yang dilakukan dan dialami Zumrah selama ini. Namun
ia tidak mau berprasangka yang tidak-tidak. Sampai di rumah ia
yakin Husna akan menjelaskan semuanya.
Edited by : Bo231 Bon-q97
14
MALAM PERTAMA
Meskipun malam itu bulan tertutup awan, namun keindahannya bagi
Furqan sulit dilukiskan. Setelah satu hari penuh menerima tamu yang
datang pergi bergantian, akhirnya ia dan Anna bisa masuk kamar
pengantin yang telah disiapkan tepat jam sembilan.
Ia melepas peci dan jas putihnya yang ia pakai sejak jam tiga. Anna
melepas gaun pengantin putihnya perlahan. Ia memperhatikan
isterinya melepas gaun pengantinnya itu dengan jantung berdegup
kencang. Setelah jilbab dilepas tampaklah Anna dengan rambut
hitamnya yang tergerai berkilauan. Di balik gaun pengantin Anna
temyata masih memakai rangkapan kaos putih ketat dan bawahan
putih tipis. Anna tersenyum tipis pada Furqan.
Kedua kaki Furqan bagai terpaku di tempatnya. Seluruh syarafnya
bergetar. Hatinya dingin. Ada gelombang kebahagiaan luar biasa
yang bagai memusat di ubun ubun kepalanya.
Edited by : Bo232 Bon-q97
Anna meraih parfum, bau wangi yasmin nan suci merasuk ke hidung
Furqan. Merasuk ke seluruh aliran darah Furqan. Anna menyibakkan
rambutnya dan mengulurkan kedua tangannya sambil duduk di tepi
ranjang yang bertabur bunga kebahagiaan.
"Ayolah sayang, peganglah ubun-ubun kepalaku. Dan bacalah doa
barakah sebagaimana para shalihin melakukan hal itu pada isteri
mereka di malam pertama mereka yang bahagia." Kata-kata Anna
bening dan bersih.
Furqan tergagap, ia kikuk, ia lupa pada dunia. Ia lupa pada perasaan
sedihnya yang selama ini menderanya. Ia melangkah, ia ingat sunnah
itu. Sunnah memegang ubun ubun kepala isteri di malam pertama
ketika pertama kali bertemu. Tapi ia lupa doanya. Ia lupa apa doanya.
Ia mengingat-ingat tapi tidak juga ingat. Yang penting ia maju dan
mencium kening isterinya.
Furqan duduk di samping Anna. Bau wangi yasmin dan bau tubuh
Anna begitu kuat ia rasa. Anna memejamkan mata. Furqan
memegang ubun-ubun isterinya dengan dada bergetar. Ia tidak bisa
berdoa apa-apa. Ia hanya mengatakan, "Bismillahi, Allahumma."
Seterusnya tidak jelas. Anna larut dalam perasaan bahagianya. Ia
sudah menyerahkan jiwa dan raganya seutuhnya pada suaminya.
Anna membaca 'amin' dengan mata berkaca-kaca. Lalu dari pojok
kedua matanya, aliran hangat meleleh ke pipi.
Furqan mengusap air mata yang mengalir di pipi isterinya. Ia lalu
mengusap rambutnya isterinya yang halus. Lalu perlahan Furqan
mencium pipi isterinya. Ciuman yang membuatnya bagai melayang
karena bahagia.
Anna membuka matanya. Furqan memandangi wajah isterinya
dengan penuh kasih sayang dan cinta. Kedua mata suami isteri itu
Edited by : Bo233 Bon-q97
bertemu. Hati Furqan berdesir saat melihat bibir Anna yang ranum.
Saat ia hendak menciumnya, Anna berkata,
"Mari kita shalat dulu dua rakaat Mas. Kita bersihkan jiwa dan raga
kita dari segala kotoran. Agar apa yang kita lakukan mulai saat ini
sebagai suami isteri bersih, ikhlas semata-mata karena Allah. Bukan
karena syahwat atau pun birahi. Bukankah itu yang dilakukan para
shalihin sejak awal mereka berumah tangga?"
Furqan menarik dirinya. Ia jadi malu pada Anna. Kenapa ia begitu
tergesa-gesa. Kenapa ia hanya memperturutkan nafsunya. Furqan
beranjak ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Kamar itu
memang dilengkapi dengan kamar mandi di dalam kamar. Setelah
Furqan wudhu gantian Anna yang wudhu. Furqan kembali memakai
jas dan pecinya. Sedangkan Anna langsung memakai mukena yang
telah dipersiapkannya.
Furqan menjadi imam. Ia membaca surat Al Insyirah dan An Nasr.
Anna makmum di belakangnya dengan khusyu'. Dalam sujudnya
Anna memohon agar ia diberi barakah dan kebaikan di dunia dan di
akhirat. Agar rumah tangganya sakinah, mawaddah dan rahmah.
Usai shalat Furqan berdoa secara umum untuk kebaikan dunia dan
akhirat. Anna mencium tangan suaminya dengan penuh cinta. Furqan
memandangi isterinya yang bercahaya dibalut mukena putihnya.
"Kenapa Mas Furqan membaca doa umum, bukan doa khusus untuk
kita sebagai pasangan yang baru menikah?" Pelan Husna sambil
tersenyum pada Furqan.
"Mas gugup Dik. Jadi lupa. Nanti kita bisa berdoa lagi kan?" Jawab
Furqan diplomatis.
"Nggak apa-apa? Mas mau melakukan itu sekarang?"
Edited by : Bo234 Bon-q97
"Iya."
"Apa Mas tidak letih?"
"Tidak."
"Baiklah. Tapi Anna ambil air minum ke bawah dulu ya Mas?
Sebentar saja. Anna haus."
"Mas tunggu."
Anna melangkah keluar kamar tetap dengan memakai mukenanya.
Furqan melepas kembali jas dan pecinya. Ia juga melepas kemejanya.
Ia bersiap untuk melalui detik detik paling membahagiakan dan
paling bersejarah dalam hidupnya. Ia mendengar handphonenya
berdering. Ada sms masuk. Ia ambil han phonenya yang ada dalam
saku jasnya. Ia buka. Ada tiga sms dari Ustadz Mujab, Cairo. Ia
tersenyum. Ia baca.
"Akhi, selamat ya. Barakallahu laka wa baaraka 'alaika wa jama'a
bainakuma fi khair. Semoga rumah tangga kalian sakinah,
mawaddah wa rahmah. Sakinah maknanya pasangan suami isteri itu
menjadi tempat yang nyaman untuk berbagi perasaan, berbagi suka
dan duka. Mawaddah artinya benar-benar saling mencintai. Dan
rahmah artinya saling mengasihi, saling merahmati, saling
menyayangi. Rahmah di sini menurut ulama berarti pasangan suami
isteri tidak ada tindakan saling menyakiti sedikitpun. Suami tidak
menyakiti isteri. Baik ragawi maupun rohani. Dan sebaliknya.
Jagalah isterimu. Perlakukan dengan sebaik-baiknya. Jangan kau
sakiti sedikitpun. Bertakwalah kepada Allah. Selamat menempuh
hidup baru. Mujab."
Ia bahagia membaca sms itu. Namun juga tersentak bagai tersengat
aliran listrik. Ia sangat mencintai Anna. Namun ia tidak boleh
Edited by : Bo235 Bon-q97
menyakitinya. Sedikitpun. Tanpa ia minta ia kembali teringat virus
yang ia rasa bercokol dalam dirinya. Virus HIV. Jika ia melakukan
itu sekarang, apakah ia tidak menyakiti Anna. Bagaimana kalau
Anna tertular HIV?
Kesedihan dan nestapa tiba-tiba mendera dirinya. Ia tidak mau
mengkhianati dirinya sendiri. Ia sangat mencintai Anna, ia tidak mau
menyakitinya. Keinginannya untuk melakukan ibadah biologis
perlahan-lahan surut.
"Assalamu'alaikum." Sapa Anna pelan membuka pintu. Senyum
putri Kiai Lutfi itu mengembang. Anna datang membawa gelas berisi
air agak kuning kecoklatan.
"Mas minumlah ini dulu. Ini madu. Biar lebih fres dan bugar."
Kata Anna sambil mengulurkan gelas yang ia bawa pada Furqan
yang duduk di tepi ranjang. Furqan menerimanya dengan tangan
bergetar. Ia paksakan untuk tersenyum pada isterinya. Anna balas
tersenyum. Furqan meminum air madu itu teguk demi teguk sampai
habis. Lalu meletakkan di meja rias dekat ranjang. Anna melepas
mukenanya, lalu duduk di samping Furqan.
"Aku siap beribadah Mas. Aku sudah siap untuk menyerahkan jiwa
dan raga. Aku siap untuk menjadi lempung di tangan seorang
pematung. Dan Mas Furqanlah sang pematung itu." Kata Anna
sambil perlahan hendak melepas kaos putih ketat yang menempel
tubuhnya. Dada Furqan berdesir kencang. Ia ingin memeluk tubuh
isterinya itu dengan penuh cinta. Namun ia teringat virus HIV yang
bercokol dalam tubuhnya. Dengan mata berkaca kaca ia memegang
tangan isterinya.
"Dik, jangan sekarang ya? Letih. Besok saja." Lirihnya pada Anna.
Edited by : Bo236 Bon-q97
"Benar besok? Tidak sekarang?" Tanya Anna.
"Iya besok saja. Kita istirahat saja dulu. Tak usah tergesa-gesa ya."
"Anna ikut Mas saja. Tapi kenapa Mas menangis?" "Mas sangat
terharu akan ketulusanmu. Mas juga menangis karena sangat
bahagianya. Mas seperti mimpi bisa memiliki isteri sepertimu."
"Anna juga sangat bahagia Mas. Mas adalah imam Anna, pelindung
Anna, Murabbi Anna, juga insya Allah ayah dari anak-anak Anna
kelak. Tahu tidak Mas. Kemarin malam Abah bermimpi yang
menurut Ummi adalah mimpi tentang Mas. Mimpi yang sangat
menakjubkan."
"Mimpi apa itu Dik?"
"Abah bermimpi melihat gugusan bintang. Terus ada bintang yang
sangat terang cahaya. Paling terang di antara lainnya. Bintang itu
turun dan bersinar di atas mimbar masjid pesantren. Terus Abah juga
melihat beberapa tunas pohon kelapa yang menakjubkan yang
tumbuh tepat di halaman pesantren. Dan Abah menemukan sorban
Kiai Sulaiman Jaiz yang sangat wangi di kamar Anna ini.
"Menurut Ummi mimpi itu adalah sebuah petunjuk penting
menjelang pernikahan ini. Bintang itu menurut Ummi adalah Mas.
Karena Mas-lah nanti yang insya Allah akan menggantikan Abah.
Mas-lah bintang di mimbar pesantren itu. Lalu tunas-tunas pohon
kelapa itu adalah anak-anak hasil pernikahan kita. Dan sorban itu
menurut Ummi bisa jadi menunjukkan kepada kita Mas bertalian
darah dengan Kiai Sulaiman Jaiz."
"Siapa itu Kiai Sulaiman Jaiz Dik?"
Edited by : Bo237 Bon-q97
"Pendiri pesantren ini, yang sampai sekarang tidak diketahui
rimbanya."
"Apa Kiai Sulaiman pernah ke Betawi."
"Allahu a'lam."
"Semoga takwil ibumu itu benar."
"Semoga. Amin."
Malam itu Furqan tidak tidur sepicing pun. Meskipun matanya
memejam tapi pikiran dan hatinya terus terjaga. Sesekali ia membuka
matanya lalu memandangi isterinya yang tidur di sampingnya. Wajah
isterinya begitu bersih jelita. Ia ingin menciumnya tapi ia urungkan
karena khawatir membangunkannya.
Di dalam dadanya seperti ada bara yang membara. Bara cinta, juga
bara nafsu pada isterinya. Pada saat yang sama juga ada bara
kemarahan yang ia tidak tahu dari mana datangnya. Ia marah pada
dirinya sendiri. Marah pada virus HIV yang ia rasa bercokol dalam
seluruh sel dan aliran darahnya. Malam ini ia berkukuh untuk tidak
menyakiti isterinya. Tapi ia bertanya sendiri pada dirinya, kalau
setiap hari bertemu dan tidur satu ranjang dengan isterinya yang
begitu jelita apakah ia akan selalu mampu menahan diri.
Terus harus bagaimana?
Anna telah sah jadi isterinya. Sah untuk ia apa-apakan. Bahkan Anna
sudah menyerahkan seluruh jiwa raganya padanya. Dengan tulus
Anna tadi berkata padanya, "Aku siap beribadah Mas. Aku sudah
siap untuk menyerahkan jiwa dan raga. Aku siap untuk menjadi
lempung di tangan seorang pematung. Maslah sang pematung itu."
Maka alangkah ruginya jika ia tidak menikmati kebahagiaan ini
Edited by : Bo238 Bon-q97
setuntas tuntasnya. Kenapa memperdulikan virus HIV? Sudah
menjadi risiko Anna karena menikah dengannya terkena virus HIV.
Semua orang toh punya risiko terkena penyakit. Tak terkecuali Anna.
Begitulah suara rasionya bergemuruh menghasutnya.
Namun dengan sangat halus dan lembut nuraninya mengingatkan
bahwa alangkah zalimnya ia jika menyakiti Anna. Apa dosa Anna,
sampai tega harus hidup sengsara terkena virus HIV? Mana itu
takwa? Mana iman? Mana rasa percaya kepada Tuhan? Mana
keimanan kepada hari kemudian? Dan apa dosa Kiai Lutfi sampai
putri dan keluarganya dihancurkan? Apa dosa pesantren Wangen
sampai dikotori dengan kelaliman? Apa nanti pandangan para santri
dan masyarakat jika putri Kiai dan menantu Kiai terkena HIV?
Apakah demi syahwat dan nafsu semua dijadikan korban? Alangkah
bahagianya iblis dan setan?
Sampai tengah malam batinnya terus berperang. Malam itu ia merasa
sebagai manusia paling berbahagia di dunia, namun juga merasa
sebagai manusia paling nelangsa di dunia. Ia tidak tahu harus
bagaimana lagi menata hidupnya? Ia seperti berada di tengah-tengah
padang pasir yang gersang, yang sangat sepi, tak ada jejak apa pun di
sana. Dan ia tidak tahu harus berbuat apa dan harus kemana?
Jam setengah tiga ia mendengar Anna mendesah lalu memanggil
namanya. Ia memejamkan mata pura-pura tidur. Ia merasakan Anna
bangkit. Turun dari ranjang. Lalu ia merasakan kedua tangan Anna
memegang kepalanya dan isterinya itu mengecup keningnya.
Dadanya berdebar debar. Ia merasakan kesejukan luar biasa. Ia
merasa benar benar dicintai isterinya sepenuh jiwa.
Sejurus kemudian ia mendengar gemericik air dari kamar mandi. Ia
membuka kedua matanya. Saat Anna ia dengar mematikan kran dan
keluar dari kamar mandi ia pura-pura tidur kembali. Anna
mengambil sesuatu. Ia sedikit membuka matanya. Remang-remang ia
Edited by : Bo239 Bon-q97
melihat isterinya itu memakai mukenanya. Lalu mengambil sajadah
dan shalat.
Ia tetap rebah di tempatnya. Ia bingung sendiri harus berbuat apa? Ia
malu pada Anna. Ia malu pada kebersihan gadis itu. Apakah tega ia
menyakitinya? Apakah tega ia merusaknya dengan virus HIV hanya
karena ambisi nafsunya. Ia malu. Apakah ia sudah benar-benar tidak
punya nurani dan jiwa? Nuraninya menghujatnya. Matanya berkacakaca.
Ia mendengar isterinya terisak-isak berdoa. Doa yang sangat panjang.
Ia sangat faham isterinya. Di antara orang yang didoakan isterinya
adalah dirinya. Isterinya meminta kepada Allah, agar dirinya
dijadikan sebagai suami yang shalih yang selalu menjadi penolong
meraih kebaikan di dunia dan di akhirat, bukan sebaliknya. Dia
mendoakan agar dirinya diberi hidayah selalu, dan dikaruniai rasa
takwa selalu di mana pun dia berada.
Isterinya mendoakan dirinya dalam shalat malamnya. Isterinya begitu
mencintainya dengan sepenuh jiwa dan raga.
Apakah ia akan tega merusaknya?
Nuraninya bertanya. Dan ia hanya bisa merasakan pilu dan nestapa
yang luar biasa. Ia memejamkan matanya kuat kuat. Air matanya
meleleh.
"Mas, tahajjud!" Isterinya membangunkannya pelan.
Ia membuka matanya dan bangkit. Isterinya menatapnya lekat-lekat.
"Mas menangis lagi? Kenapa?"
Edited by : Bo240 Bon-q97
"Aku mendengar doamu Dik. Terima kasih ya. Semoga Allah
meridhaimu."
"Amin. Mas, shalat tahajjud dulu. Nanti keburu subuh."
"Baik Dik."
Edited by : Bo241 Bon-q97
15
PAGI YANG MENEGANGKAN
Zumrah belum menemui ibunya. Ia tidur di rumah Husna. Ia
bersikukuh tidak bertemu ibunya. Berulang-ulang Bu Nafis, Husna
dan Lia membujuknya. Tetap saja ia kukuh dengan sikapnya. Selepas
shalat subuh Zumrah bersiap untuk pergi. Ia merasa harus pergi
sebelum hari terang.
"Terus kau mau kemana Zum? Tanya Husna
"Aku tak tahu Na." Jawab Zumrah
"Apa kau tak kasihan sama janinmu. Perutmu sudah besar. Dia butuh
ketentraman. Dia butuh rasa aman. Dia butuh kesehatannya terjamin
sementara kau terus menggelandang begitu, terus juga masih
menemui germomu itu alangkah malangnya janin dalam
kandunganmu."
"Aku juga berpikir begitu Na. Tapi apa boleh buat."
Edited by : Bo242 Bon-q97
"Terserah kau Zum. Aku ingin membantu tapi kau sendiri yang tidak
mau."
"Terima kasih atas segalanya Na. Semoga aku tidak lagi
menyusahkanmu."
Mereka berdua berbincang di ruang tamu. Azzam masih di masjid.
Bu Nafis keluar membawa minuman dan mendoan goreng.
"Aduh, kok repot-repot Bu. Saya sudah mau pergi." Kata Zumrah.
"Minum teh hangat dulu dan cicipi dulu mendoannya baru kau boleh
pergi." Sahut Bu Nafis.
"Na, apa tidak ada kos-kosan yang murah. Yang kira kira aman
untuk Zumrah, sehingga ia bisa tenang sampai melahirkan?" Tanya
Bu Nafis pada Husna.
"Oh ya benar. Kau mau kalau kos di Nilasari. Aku ada teman di sana.
Satu bulan lalu bilang cari teman. Kamar dia besar. Harga kamar itu
sebulannya seratus tujuh puluh. Kalau mau kau cuma bayar tujuh
puluh ribu saja." Terang Husna.
"Mau. Tapi aku dapat uang dari mana ya?" Lirih Zumrah merana.
"Kalau kau mau, tiga bulan pertama biar aku yang bayar. Setelah itu
kau bayar sendiri, bagaimana?"
"Terima kasih Na. Kau baik sekali.""Masih mau pergi
sekarang?""Iya tetap pergi sekarang. Nanti siang aku ke radiomu
saja,"
"Terserah kau."
Edited by : Bo243 Bon-q97
Zumrah mengambil gelas yang ada di hadapannya dan menyeruput
isinya. Setelah itu ia bangkit dan minta diri.
Zumrah mencium tangan Bu Nafisah, bersalaman dengan Lia dan
memeluk Husna. Zumrah membuka pintu, tiba tiba...
"Mau ke mana lagi, Lonte!"
Seorang berjaket hitam membentak keras sambil menodongkan
pistolnya tepat di jidat Zumrah. Bu Nafis gemetar ketakutan. Husna
dan Lia merinding. Sementara Zumrah saking takutnya tanpa ia
sadari mengeluarkan air kencing. Pria berjaket hitam itu baginya
bagaikan malaikat pencabut nyawa yang siap mencabut nyawanya.
Gigi pria itu bergemeretak menahan amarah. Matanya merah marah.
"Am... ampun paman! Ampuni Zum, pa... paman!" Zum terbata-bata
serak.
"Tak ada ampun untuk lonte murtad yang membunuh ayahnya
sendiri! Pagi ini tamat riwayatmu!"
"Mahrus, dia tidak murtad. Dia masih Islam. Tadi subuh dia shalat di
rumah ini!" Husna yang dulu pernah nakal terbit kembali
keberaniannya.
"Diam kau Husna! Jangan ikut campur kau! Ini urusanku dengan
lonte tengik ini!"
"Tidak ikut campur bagaimana? Dia tamuku! Dan kau seperti
perampok yang masuk rumah tanpa kulon nuwun23 dulu!"
23 Minta ijin.
Edited by : Bo244 Bon-q97
"Baik, maafkan kelancanganku. Biar aku tembak lonte ini di jalan
saja. Biar dia tidak jadi hantu di rumah ini. Biar dia jadi hantu yang
mengelayap ke mana-mana! Ayo jalan!" Mahrus menggertak
Zumrah.
"Tidak, jangan!" Zumrah berontak.
Buk!
"Ah!"
Mahrus memukul pelipis Zumrah dengan gagang pistol. Zumrah
mengaduh. Pelipis Zumrah berdarah. Husna mau bergerak menolong
Zumrah tapi dicegah Bu Nafis. Bu Nafis tahu kenekatan Mahrus
sejak kecil. Ia tidak ingin Husna celaka dengan konyol.
"Mahrus anakku!" Ucap Bu Nafis dengan lembut.
"Iya Bu Nafis." Jawab Mahrus sambil menengok ke wajah Bu Nafis.
"Apa tidak bisa dirembug dengan baik-baik tho. Dia itu
keponakanmu sendiri. Seharusnya kau sayang padanya."
"Apa ibu kira aku tak sayang padanya. Sejak kecil aku sayang
padanya Bu. Dulu waktu SD kalau dia diganggu orang akulah orang
pertama yang membelanya. Tapi dia tidak tahu diri. Semua orang di
keluarga menyayanginya. Tapi dia membalas kasih sayang itu dengan
kebencian. Ayah dan ibunya sendiri mau dia buat mati berdiri!
Ayahnya sudah mati dibunuhnya! Dan dia akan membunuh ibunya!
Sebelum itu terjadi dia harus dihentikan! Dia ini penjahat yang harus
dihentikan, penyakit yang harus dienyahkan! Ibu diam saja ya, ibu
tak tahu apa-apa!" Jawab Mahrus dengan marah. Anggota serse itu
kalau marah hilang sopan santunnya, tak pandang dengan siapa ia
bicara.
Edited by : Bo245 Bon-q97
Dada Husna panas mendengar Mahrus berbicara dengan suara keras
dan membentak-bentak ibunya.
"Hai Bung, bisa nggak sopan sedikit sama orang tua!" Lia
mendahului Husna membentak Mahrus. Husna heran sendiri,
adiknya yang biasanya halus ternyata bisa garang juga.
"Kau juga diam anak kemarin sore! Aku dor mulutmu nanti!" Sengit
Mahrus sambil memandang ke arah Lia. Melihat mata yang merah
dan wajah yang sangar itu Lia jadi mengkeret.
"Ayo keluar!" Bentak Mahrus sambil menyeret Zumrah.
"Ampun paman!"
"Tak ada ampun untukmu!"
"Beri Zumrah kesempatan untuk berbuat baik paman."
"Kesempatan itu sudah kau sia-siakan!" "Beri kesempatan sekali saja
Paman!" "Bangsat sepertimu sudah saatnya dienyahkan!" "Auh!
Sakit paman!" "Diam!"
Dengan segenap kekuatan Mahrus menyeret Zumrah ke halaman.
Mahrus terus menyeret sampai akhirnya ke jalan. Sampai di jalan
Zumrah berontak dengan sengit. Sekali lagi Mahrus memukulkan
gagang pistolnya ke kepala Zumrah. Zumrah langsung terjengkang
kesakitan. Mahrus sudah bersiap menembak kepala Zumrah. Niatnya
sudah bulat bahwa keponakannya harus dihabisi. Ia tinggal
merekayasa laporan kejahatannya saja. Sebuah kejahatan yang layak
untuk dienyahkan dari muka bumi.
Husna, Lia dan Bu Nafis gemetar di beranda rumah. Beberapa orang
berdatangan mendengar ada keributan. Tapi Mahrus langsung
mengultimatum agar semuanya diam di tempat masing-masing.
Edited by : Bo246 Bon-q97
Sebelum pistol itu memuntahkan peluru sekonyong-konyong Azzam
datang. Azzam sudah tahu duduk persoalannya dari cerita Husna. Ia
juga tahu seperti apa bencinya sama Zumrah. Dengan suara tenang
Azzam menyapa,
"Hai sobat lama apa kabar?"
Mahrus mengendurkan tangannya dan menurunkan pistolnya yang
siap dia letuskan. Ia memandang ke asal suara. Ia lihat yang datang
adalah Azzam.
"Hei kau Zam, sudah pulang rupanya."
"Iya. Kau ngapain bawa pistol segala, Rus? Nakut nakutin anak kecil
saja!"
"Ini Zam aku mau mengenyahkan si Lonte Murtad ini. Aku sudah
bersumpah di hadapan mayat Kang Masykur, ayah Lonte ini, aku
akan memburu Lonte durhaka ini dan menghabisinya."
"Iya tapi apa kamu tidak malu menumpahkan darah di hadapan
sahabat lamamu. Kau masih punya hutang yang belum kau lunasi
padaku lho."
"Apa itu Zam, kok aku lupa?"
"Ingat waktu kelas 6 SD dulu, uang SPP-mu kau gunakan untuk
mentraktir Si Murni yang sekarang jadi isterimu. Dan untuk
menutupi SPP-mu kau pinjam tabunganku. Kalau tidak aku pinjami
kamu mungkin tidak akan lulus SD, karena kau bisa dikeluarkan.
Kau nunggak saat itu tiga bulan. Kalau kau tidak lulus SD mana
mungkin kau bisa jadi polisi yang gagah bawa pistol seperti
sekarang. Kau hutang padaku Rus!"
Edited by : Bo247 Bon-q97
"Kenapa kau ungkit-ungkit masa laluku Zam, aku jadi malu didengar
orang-orang!"
"Hei, apa aku bohong sobat?"
"Tidak. Tapi tak usah lah kau bawa-bawa masa lalu."
"Kau sendiri kenapa kau bawa-bawa masa lalu orang lain?"
"Siapa?"
"Itu keponakanmu sendiri."
"Zumrah maksudmu?"
"Iya."
"Dia pezina dan murtad Zam."
"Dia tidak murtad Rus. Tidak. Dia masih shalat. Sedangkan
kekhilafannya itu masa lalunya. Dia sedang mencari jalan kembali
yang benar kenapa kau halang halangi?"
"Aku telah bersumpah di depan jenazah almarhum Kang Masykur
Zam?"
"Sumpah yang salah itu tak boleh dilaksanakan!" "Terus aku harus
bagaimana Zam?"
"Kau berhutang padaku. Kalau tidak aku hutangi kau mungkin tak
akan lulus SD. Mungkin kau tidak akan jadi polisi. Turunkan
pistolmu. Ayo masuklah ke rumahku. Jadilah tamuku. Kita cari jalan
terbaik untuk semuanya. Dan akan aku anggap lunas hutangmu.
Edited by : Bo248 Bon-q97
Kalau tidak maka hutangmu padaku, tak akan aku anggap lunas
kecuali setelah kau tinggalkan jabatan kepolisianmu!"
Azzam tahu watak Mahrus. Pria itu hanya bisa dijinakkan dengan
kalimat yang menundukkan keangkuhannya. Dan ia tahu pria itu tak
akan sudi terus berhutang pada orang lain. Termasuk pada dirinya.
"Baiklah! Aku akan masuk bertamu ke rumahmu, dan kita bicara di
sana!"
Azzam langsung minta Husna untuk membawa Zumrah yang
berdarah. Azzam juga minta kepada Lia untuk membuat minuman.
Orang-orang bernafas lega. Pagi itu benar-benar pagi yang
menegangkan. Pak Mahbub dan Pak RT tergopoh-gopoh terlambat
datang.
"Untung ada Azzam Pak RT, kalau tidak, otak Zumrah mungkin
sudah keluar dari tengkorak kepalanya dan berhamburan." Kata
Kang Paimo dengan menggigilkan badan.
"Mana Mahrus?" Tanya Pak RT.
"Sedang bicara sama Azzam. Sebaiknya tidak usah diganggu Pak
RT. Biar Azzam saja yang rembugan dengan serse edan itu." Sahut
Pak Jalil yang memang kurang suka dengan Mahrus yang
menurutnya terlalu sombong karena tak mau mendengarkan
omongan orang.
"Kau sudah mendengar cerita tentang Zumrah dari Husna kan?"
Tanya Azzam pada Mahrus.
"Iya tapi aku tidak percaya." Jawab Mahrus. "Kalau aku yang bilang,
apa kamu percaya?" "Sejak dulu kau tidak bohong padaku." "Berarti
kau percaya?" "Ya."
Edited by : Bo249 Bon-q97
"Baiklah aku akan cerita padamu tentang keponakanmu. Dan aku
sangat yakin cerita ini adalah benar dan tidak bohong. Jadi kau harus
percaya."
"Baik akan aku dengarkan."
Azzam lalu menceritakan kepada Mahrus apa yang sebenarnya
terjadi pada Zumrah. Cerita yang sama dengan yang disampaikan
Zumrah kepada Husna di Pesantren Wangen. Mahrus mendengarkan
dengan seksama.
"Jadi begitu ceritanya. Dia tidak murtad?"
"Benar."
"Awalnya dia diperkosa?"
"Benar. Sebagai paman seharusnya kamu melindungi dia. Sekarang
dia ingin kembali ke jalan yang benar. Ingin benar-benar taubat. Tapi
ia terus diuber-uber sama germonya. Kau harus bantu dia. Kau harus
cari itu para hidung belang yang menistakan dia. Yang harus kamu
dor itu ya hidung belang-hidung belang itu Rus. Bukan dia!"
"Kau benar Zam. Kalau kamu tidak datang mungkin peluruku ini
salah memecahkan kepala orang."
"Ada beberapa hal yang harus kau perbaiki pada sikapmu Rus. Jika
kau perbaiki maka kau akan menjadi pria jantan sejati dan kau akan
dicintai banyak orang."
"Apa itu Zam?"
"Pertama, cobalah kau latihan senyum. Kau ini susah sekali senyum.
Ketemu teman lama saja tidak senyum."
Edited by : Bo250 Bon-q97
"Ah kau ini ada-ada saja Zam. Hah... hah... hah... ha...!" Mahrus
malah terbahak-bahak tidak hanya senyum.
"Lha begitu Rus. Biar dunia ini cerah. Banyak senyum itu bikin awet
muda katanya."
"Masak tho Zam?"
"Iya."
"Terus apa lagi Zam?"
"Kau harus memperhalus kata-katamu. Kau sering berkata kotor.
Hilangkanlah kebiasaan burukmu itu. Masak ponakanmu sendiri kau
kata-katai seperti itu!"
"Nanti aku minta maaf sama dia. Masih ada lagi Zam?"
"Masih. Kau lebih sopanlah sama orang lain. Dengarkanlah orang
lain. Aku sering dapat cerita saat ronda kau ini paling susah
mendengarkan orang. Ingat Rus, Tuhan menciptakan telinga dua
sementara mulut cuma satu. Artinya kita diminta untuk lebih banyak
mendengar daripada bicara apalagi membentak-bentak orang!"
"Akan aku usahakan Zam. Mana tadi Si Zumrah Zam?"
"Mau kau apakan lagi?"
"Aku mau minta maaf padanya. Juga sekalian aku mau minta data
para hidung belang itu. Aku ingin menggulungnya secepatnya."
Azzam lalu memanggil adiknya,
"Husna, bawa Zumrah kemari!"
Edited by : Bo251 Bon-q97
Zumrah datang dengan kening dan pelipis diperban putih.
"Kemarilah Nduk!" Kata Mahrus, kali ini dengan mata berlinang air
mata. Zumrah melihat perubahan wajah Mahrus. Wajah yang sudah
bersahabat. Wajah yang berkaca-kaca.
Zumrah maju mencium tangan pamannya. "Maafkan Paman ya
Nduk?"
"Iya paman. Juga maafkan kesalahan Zumrah. Sampaikan pada ibu
Zumrah belum bisa pulang. Nanti kalau Zumrah sudah lebih baik
insya Allah Zumrah pulang."
"Seperti itukah perjalanan nasibmu Nduk? Terperangkap dalam jerat
lumpur hitam?"
"Iya Paman. Tolong bantu Zumrah paman."
"Tolong berikan semua data para penjahat yang telah menistakanmu
itu!"
"Baik paman."
Zumrah lalu menyebut nama-nama orang yang sering memaksanya
juga menyebut nama-nama germo di Jogja dan Solo. Ia juga
menyebut nama-nama lelaki hidung belang yang sering memangsa
gadis-gadis muda tidak hanya dirinya. Zumrah menjelaskan dengan
detil alamat rumahnya dan tempat yang biasa digunakan mangkal
mereka.
"Kau mau tinggal di mana Nduk kalau tidak pulang?"
"Aku mau indekos di Nilasari Paman. Husna akan membantuku."
Edited by : Bo252 Bon-q97
"Jika perlu bantuan paman jangan sungkan hubungi paman di kantor
paman."
"Iya paman."
"Hati-hati ya Zum. Paman pergi dulu."
Mahrus lalu minta diri pada Azzam dan keluarganya. Pada Bu Nafis,
Husna dan Lia lelaki tinggi besar dan kekar itu mohon maaf atas
segala khilafnya. Bu Nafis, Husna dan Lia bersyukur kepada Allah
dan memaafkan dengan lapang dada. Zumrah menatap pamannya
yang melangkah keluar rumah dengan mata berkaca-kaca.
Meskipun pamannya itu nyaris membunuhnya, tapi ia merasakan
betapa besar sesungguhnya rasa sayang adik bungsu ayahnya itu
padanya. Benar, waktu kecil dulu pamannya itulah yang selalu
menjadi pelindungnya. Jika ada anak yang nakal jahil padanya,
pamannyalah yang akan menindaknya. Pamannya bahkan rela
berkelahi mati matian demi menjaga agar kulitnya tidak disentuh
oleh anak-anak yang jahil. Pamannya itu seumur dengan Azzam,
kakak Husna. Dan ia sendiri seumuran Husna. Jadi pamannya itu
kira-kira lebih tua tiga atau empat tahun di atasnya.
Zumrah sedikit merasa lega, masalahnya dengan pamannya telah
selesai. Ia merasa mulai ada setitik cahaya. Ia mulai merasa kembali
mendapatkan secuil kasih sayang. Ia berharap pamannya bisa
menindak nama-nama orang jahat yang menistakannya. Harapannya
ia bisa hidup dengan tenang. Kembali ke jalan yang lurus.
Membesarkan anaknya. Dan jika sudah rasa ia layak menemui
ibunya ia akan menemui ibu yang selama ini disakitinya.
Edited by : Bo253 Bon-q97
16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar