Rabu, 08 Juli 2009

Ketika Cinta Bertasbih II (bab 16 - 22)

BAKSO CINTA
Sudah dua bulan Azzam di rumah. Azzam sudah benar-benar
menyatu dengan masyarakat. Ia sudah aktif di masjid. Sejak ia
diminta menjadi badal Pak Kiai Lutfi mengisi pengajian Al Hikam,
Pak Mahbub dan warga masyarakat dukuh Sraten sangat percaya
padanya. Ia diminta untuk mengisi jadwal khutbah Pak Masykur
yang belum ada gantinya.
Hanya saja, di mata warga masyarakat Azzam dianggap masih
menganggur. Ia sebenarnya sudah mulai usaha membuka warung
bakso di samping kampus UMS dekat Fakultas Farmasi. Tapi itu
oleh masyarakat dianggap sebagai pekerjaan yang tidak bergengsi.
Ibu-ibu jika berkumpul di warung Bu War tanpa sadar sering
membicarakan Azzam.
"Sayang ya sembilan tahun di Mesir masih menganggur. Aku kira
begitu pulang dari luar negeri langsung ditarik jadi dosen di IAIN
atau STAIN. E... malah jualan bakso. Kalau hanya jualan bakso
Edited by : Bo254 Bon-q97
ngapain jauh-jauh kuliah ke Mesir. Itu Si Tuminah tidak lulus SD
juga jualan bakso!" Kata Bu Sarjo yang terkenal suka menilai orang.
"Iya kasihan Azzam ya. Aku malah mengira dia pulang dari Cairo
langsung diambil menantu Pak Kiai. E... sampai sekarang juga belum
laku. Aku kira langsung memimpin pesantren." Sahut Bu Agus.
"Itu kemarin aku sangat kaget, ketika diberitakan pacaran sama
Eliana. Kukira dia sudah jadi konglomerat di Mesir. Ternyata beli
motor saja tidak bisa. Mana mungkin bintang film seperti Eliana
mau." Kata Bu Marto
"Ya masih untung masih bisa mengajar majelis taklim di masjid,
hitung-hitung buat kegiatan dia." Sahut Bu Hariman
Angin itu ternyata bisa menyampaikan perkatan perkataan kaum ibu
itu ke telinga Bu Nafis sekeluarga. Bu Nafis paling sedih dan resah.
Husna juga, ia tidak rela kakaknya yang menjadi pahlawannya
dijadikan gunjingan. Pengangguran memang sangat tidak nyaman.
Akhirnya Bu Nafis tidak bisa menahan keresahannya. Suatu pagi ia
berkata pada Azzam,
"Nak, terserah bagaimana caranya agar kamu tidak tampak
menganggur. Kalau pagi pergilah, berangkatlah kerja bersama orangorang
yang berangkat kerja. Dan kalau sore atau malam pulanglah ke
rumah. Supaya kau tidak jadi bahan ocehan. Ibu juga malu kau
lulusan luar negeri cuma jualan bakso!"
Bu Nafis menyampaikan hal itu dengan mata berkaca kaca. Husna
yang mendengarnya juga trenyuh hatinya.
"Bue, perkataan orang lain jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati.
Yang penting ibu percayalah pada Azzam. Azzam bisa mandiri.
Edited by : Bo255 Bon-q97
Azzam bisa makan dengan kedua tangan dan kaki Azzam sendiri.
Ibu kan juga tahu di Cairo dulu Azzam juga jualan bakso."
"Terserah kamu Nak. Tapi pikirkanlah bagaimana caranya supaya
kamu aman dari gunjingan masyarakat."
"Masyarakat kita memang paling hobi menggunjing kok Bu. Tapi
baiklah Azzam akan ikuti permintaan ibu. Pagi berangkat kerja, sore
pulang kerja."
* * *
Azzam terus memutar otaknya. Ia harus segera menemukan cara
untuk mendapatkan cashflow dengan cepat. Ia melihat usaha warung
baksonya biasa-biasa saja. Malah bisa dibilang ia rugi sebab
keuntungannya perhari hanya sepuluh ribu rupiah. Ini tidak
sebanding dengan kerja kerasnya.
Ia memang masih sendiri belum dibantu siapa-siapa. Demi
memenuhi harapan ibunya ia menyewa satu kamar kos di dekat pasar
Kleco. Jam delapan pagi ia sudah sampai di kamar kosnya. Ia lalu
belanja. Setelah itu meracik bahan bahan baksonya. Jam dua
semuanya sudah siap. Tepat jam setengah tiga ia buka warung. Ia
buka sampai jam sembilan malam.
Demikian rutinitasnya setiap hari. Kepada para tetangga ibunya
bilang Azzam sudah punya kantor di Solo. Pagi kerja di kantornya
dan sorenya ia jualan bakso. Ya jika kantor maknanya adalah tempat
kerja maka kamar kos yang ia gunakan untuk membuat pentol bakso
adalah kantor. Kantor hanyalah istilah mentereng untuk menyebut
tempat kerja. Di mana di tempat itu ada arsip dan berkas. Di kos
Azzam juga ada arsip dan berkas. Yaitu catatan dan bon belanjanya.
Edited by : Bo256 Bon-q97
Azzam terus memutar otaknya bagaimana caranya usahanya sukses.
Jika ia tetap menjual produk yang sama dengan yang lain, maka di
pasar ia telah kalah. Ia harus punya produk yang inovatif, yang
berbeda dengan yang lain. Sama-sama baksonya tapi harus ada sisi
unik yang membedakan baksonya dengan bakso yang lain.
Ia ingin agar pembeli baksonya mendapat sesuatu selain rasa nikmat
di lidah, kenyang dan gizi. Ia terus berpikir. Sampai akhirnya ia
menangkap sebuah ide yang menurutnya brilian. Ia akan membuat
bakso cinta.
Ya, ia akan membuat bakso cinta.
Dalam benaknya ia akan membuat cetakan khusus untuk baksonya.
Bentuk baksonya tidak bulat tapi berbentuk cinta, love atau hati.
Terus ia akan mengubah suasana warungnya. Meskipun warung
tenda, suasananya harus ceria dan romantis. Lalu ia akan menyiapkan
instrumen musik khusus yang mengiringi pelanggannya makan.
"Yup! Ini baru ide!" Teriaknya dalam hati.
Azzam lagi bekerja keras mencari cetakan dari besi berbentuk hati. Ia
tidak menemukan di toko-toko penjual barang pecah belah. Ia
akhirnya pesan cetakan yang ia inginkan ke Batur, Klaten yang
dikenal sebagai pusat besi, baja dan alumunium. Cetakan itu
akhirnya jadi juga.
Azzam mencoba membuat bakso cinta dengan cetakannya. Pertama
kurang menarik. Lalu ia buat lagi dan hasilnya sangat mempesona.
Ia lalu menyiapkan suasana warungnya. Gerobak baksonya ia cat
pink semuanya. Tendanya juga ia cat pink. Meja dan kursinya juga
pink. Ia cari mangkok khusus berwarna merah hati jadi pas dengan
meja pink.
Edited by : Bo257 Bon-q97
Ia juga mengubah jam buka warungnya. Sebelumnya dari jam
setengah tiga sore sampai jam sembilan kini dari jam sepuluh pagi
sampai jam enam sore. Sebelum membuka warung baksonya, ia
promosi dengan membuat brosur dan menyebarkannya di hampir
seluruh Solo. Di hari pembukaan perdana ia minta adiknya Lia dan
Husna ikut membantu. Sekali itu saja.
Sambutan dari pelanggan luar biasa. Di hari pembukaan, hanya
dalam waktu empat jam baksonya telah habis. Husna dan Lia sangat
bahagia dibuatnya. Azzam sangat yakin baksonya akan laris.
Akhirnya Azzam memutuskan untuk cari seorang karyawan yang
akan membantunya menyuguhkan bakso dan minuman ke langganan.
Adapun yang meracik bakso tetap ia sendiri. Azzam mengajak Si
Kasmun yang hanya lulus SMA dan sekarang jadi pengangguran.
Pagi hari sebelum Azzam berangkat ke Kleco, Husna berkata pada
Azzam,
"Kak sebaiknya bakso cinta kakak dipatenkan. Agar nanti tidak ada
yang meniru. Jika ada yang meniru tanpa ijin kakak punya kekuatan
hukum yang kuat untuk menuntutnya. Husna yakin bakso kakak
nanti akan mendapatkan hati pengunjungnya." "Cara mematenkan
bagaimana?" "Kita datang ke kantor yang mengurusi hak paten.
Nanti mereka yang akan mengurusi hak paten kita sampai ke menteri
kehakiman." Jelas Husna. "Baik kita patenkan secepatnya." Hari
berikutnya warung bakso cintanya terus penuh pengunjung. Jam tiga
sore sudah kehabisan. Bakso dengan bentuk hati memang belum ada
di Surakarta. Dan yang datang kebanyakan anak-anak muda. Mereka
memang mencari sesuatu yang beda.
Belum genap satu bulan ia sudah merasa bahwa tenda warung bakso
cinta harus ditambah besarnya. Ia menyewa tanah di samping bakso
cintanya, agar tendanya bisa dilebarkan. Pengunjungnya agar tidak
kecewa karena tidak dapat tempat duduk. Setelah sukses di kampus
Edited by : Bo258 Bon-q97
UMS, maka Azzam melebarkan sayap membuka cabang pertama di
dekat UNS. Ia melihat Si Kasmun bisa dipercaya untuk memegang
yang di UMS, maka ia sendiri yang memegang cabang UNS. Ia
mengangkat dua karyawan baru. Satu untuk menemaninya dan yang
satu untuk menemani Si Kasmun.
Cabang baru di UNS mendapat sambutan hangat dari kalangan
mahasiswa. Seorang mahasiswa usul pada Azzam agar warung bakso
cinta menjadi semacam warung apresiasi seperti warung apresiasi di
Jakarta. Di situ dibuatkan satu tempat bagi mahasiswa atau seniman
atau siapa saja yang akan menampilkan karya seninya. Usul itu
direspon baik oleh Azzam. Azzam lalu meminta mahasiswa itu
untuk merancang tempat yang digunakan untuk apresiasi seni yang
diusulkannya. Setelah Azzam melihat dengan dibangunnya tempat
itu akan semakin memperkokoh ikon bakso cintanya, maka tempat
apresiasi segera diadakan.
Dan hasilnya sangat di luar dugaan. Warung bakso cinta jadi tempat
mangkal para mahasiswa, seniman dan masyarakat luas. Untuk
menjaga citra warung baksonya, ia meminta naskah atau teks yang
akan ditampilkan. Jika misalkan ada musisi yang menampilkan jenis
musik yang isinya bertentangan dengan moral dan dakwah tidak
segan segan ia untuk melarangnya. Atau memberikan alternatif lagu
lain yang isinya baik.
* * *
Tak terasa sudah tiga bulan Azzam membuka warung bakso
cintanya. Omsetnya perbulan bisa mencapai dua puluh juta. Kini ia
bisa membeli mobil sederhana tapi layak pakai. Ke mana-mana ia
memakai mobil itu. Untuk bakso ia bertahan untuk dua warung dulu.
Otaknya terus berputar, ia mencari peluang bisnis yang lain.
Edited by : Bo259 Bon-q97
Ia membaca nasihat seorang pengusaha sukses di sebuah buku
panduan bisnis agar tidak meletakkan semua telur dalam satu
keranjang. Sebab jika suatu ketika keranjang itu jatuh maka telur
akan pecah semua. Dan akibatnya akan sangat fatal. Maka yang baik
dalam bisnis adalah meletakkan banyak telur di keranjang yang
berbeda. Agar jika ada satu keranjang yang jatuh masih ada telur lain
yang selamat. Dan telur yang selamat itu masih akan bisa menetas
menjadi ayam dan bisa mendatangkan telur baru. Azzam melirik
bisnis foto kopi. Ia tahu memang banyak pesaing. Tapi bisnis foto
kopi di pinggir kampus hampir bisa dikatakan tak bisa mati. Caranya
sederhana saja, ia melihat warung baksonya di UMS dan UNS selalu
penuh pengunjung. Ia menyewa tempat tak jauh dari warung bakso
cinta yang ia gunakan mendirikan pusat foto copy. Ia membeli dua
mesin foto copi bekas. Pusat foto copynya ia namakan "Foto Copy
Cinta". Brosur dan promosi ia gencarkan lewat warung bakso.
Hasilnya tidak terlalu mengecewakan. Bisnis foto copynya berjalan
bagus. Meskipun tidak secepat Bakso Cinta.
* * *
Suatu malam, sepulang dari warung bakso, Lia berkata, "Kak ada
tamu." Saat itu ia sudah rebah di kamarnya karena letih. Ia bangkit
menuju ruang tamu. Ternyata Furqan. Ia bahagia sekali teman
lamanya datang. Sudah lama memang ia tidak ke pesantren Wangen.
Terakhir ke pesantren itu ya tepat saat acara pernikahan Anna dengan
Furqan dilangsungkan. Ia fokus dengan bisnisnya. Untuk pengabdian
ke masyarakat sementara ia mencukupkan diri dengan mengisi
pengajian di masjid kampung sendiri.
"Ada tamu istimewa rupanya. Pak Kiai Furqan. Sendirian?"
"Iya sendirian. Jangan memanggil Pak Kiai tho Zam. Aku malu."
"Lha kamu kan sudah jadi Kiai sekarang. Kan pengasuh pesantren."
Edited by : Bo260 Bon-q97
"Jika aku Kiai, maka sesungguhnya kau kan Kiaiku. Dulu awal-awal
di Mesir kau yang sering aku jadikan tempat bertanya. Kau yang
sering menjelaskan isi diktat kuliah tho sehingga aku lulus."
"Sudah. Ini ada apa tho kok tiba-tiba datang membuat kaget saya."
"Saya datang atas nama pesantren Zam. Ini Pak Kiai Lutfi, mertuaku,
sering sakit akhir-akhir ini. Beliau memang agaknya harus banyak
istirahat. Lha untuk pengajian Al Hikam, banyak masyarakat yang
meminta engkau yang mengisi. Terus terang sekarang Pak Kiai Lutfi
hanya mengajar Subulus Salam saja. Lha aku sendiri diminta
mengganti Tafsir Jalalain. Untuk Al Hikam, minta engkau. Terus
terang ibu mertuaku juga cocok yang mengisi engkau. Sebab Al
Hikam kan untuk masyarakat umum. Kau lebih bisa berbahasa Jawa
yang baik daripada aku."
"Aduh gimana ya? Terus terang aku sibuk Fur. Sungguh. Gimana ya,
waktuku sudah penuh Fur." Jawab Azzam. Tiba-tiba ada suara yang
menyahut dari arah dalam.
"Tidak! Kau harus menyeimbangkan duniamu dengan akhiratmu
Zam! Kau harus punya waktu untuk mengamalkan ilmumu dan
menegakkan ajaran agamamu. Ya bisnis, ya juga mengajarkan ilmu!
Kalau kau hanya memusatkan perhatianmu pada bisnismu, Bue tidak
ridha!"
Azzam kaget mendengar kalimat dari ibunya. Ia tahu apa yang
dikehendaki ibunya. Sebelum Azzam berkata, Furqan duluan angkat
suara,
"Iya apa yang dikatakan ibu benar Zam. Toh itu cuma satu pekan
satu kali saja."
"Baiklah kalau begitu. Salamku buat Pak Kiai Lutfi dan Bu Nyai."
Edited by : Bo261 Bon-q97
"Terima kasih Zam. Pekan depan langsung mulai ya Zam."
"Insya Allah. Oh ya ngomong-ngomong sudah ada tanda-tanda mau
dapat momongan belum?" Tanya Azzam sambil tersenyum. Furqan
tergagap mendengar pertanyaan itu. Entah sudah berapa kali ia
mendengar pertanyaan itu dan banyak orang. Keluarga besar Anna
setiap kali bertemu dengannya juga menyinggung hal itu. Ibunya
sendiri dari Jakarta sering menelpon dan menanyakan hal itu. Dan ia
harus menjawab dengan hati getir, "Belum."
Edited by : Bo262 Bon-q97
17
IKHTIAR MENCARI CINTA
"Bue sudah ingin menimang cucu Zam. Bisnis kamu sudah berjalan
baik. Kapan kamu menikah?" Kata Bu Nafis suatu malam.
Perempuan itu membuka gorden jendela ruang tamu. Matanya
memandang rembulan yang mengintip di balik pepohonan. Angin
malam menyisir rambutnya yang memutih dibakar usia. Ia
membelakangi putranya yang sedang mengkalkulasi modal
bisnisnya.
"Segeralah menikah Nak! Syukurilah nikmat Allah yang diberikan
kepadamu!" Lanjut Bu Nafis dengan kedua mata tetap menikmati
rembulan yang bersinar terang. Di balik pepohonan rembulan itu
bagai cahaya bidadari yang mengintip malu-malu. Sinar rembulan
menerpa wajah perempuan setengah baya itu.
"Azzam juga ingin segera menikah Bu. Tapi sudah dua kali ada gadis
diajukan ke Azzam dan Azzam cocok tapi ibu yang tidak berkenan.
Azzam harus bagaimana?"
Edited by : Bo263 Bon-q97
Bu Nafis menarik nafas lalu menutup gorden jendela. Ia lalu duduk
di hadapan putranya. Kedua matanya yang teduh memandangi wajah
putranya yang bergurat kelelahan dengan penuh kasih sayang.
"Maafkan ibu Nak. Ibu ingin yang terbaik untukmu. Tidak asal
perempuan."
"Apakah Rina dan Tika itu tidak baik Bu." "Ibu tidak bilang Rina
dan Tika tidak baik. Mereka baik. Tapi ibu ingin yang lebih baik
lagi. Ibu sedikit punya ilmu titen24. Menurut yang ibu amati kok
kedua gadis itu kurang cocok untukmu. Mungkin lebih cocok untuk
yang lain."
"Ibu ini pakai ilmu titen segala. Apa itu ilmu titen, itu bid'ah Bu, itu
khurafat!" Sengit Azzam.
"Kak jangan berkata yang sengit begitu dong sama Bue." Husna
muncul dari kamarnya, "Menurutku ilmu titen sebenarnya ilmiah.
Tidak bid'ah. Semua kok terus dibid'ahkan. Alangkah kerdilnya kita
menghayati ajaran Allah yang mulia ini kalau suatu ilmu yang ilmiah
terus dibid'ahkan." Lanjut Husna.
"Terus penjelasannya bagaimana ilmu titen itu ilmiah Na. Kalau
benar-benar ilmiah maka aku akan mencabut perkataanku." Kata
Azzam kepada adiknya.
"Ilmu titen itu berangkat dari kejelian orang-orang dahulu meniteni,
yaitu mengamati kejadian – kejadian dalam kehidupan,
peristiwa- di alam. Dari pengamatan yang berulang-ulang itu
akhirnya bisa disimpulkan sebuah struktur kejadian. Dari struktur
itulah lahir ilmu titen.
24 Ilmu meniteni, atau ilmu mengamati sesuatu dari gejala yang diberikan oleh
alam biasanya berdasarkan pengalaman yang berulang-ulang.
Edited by : Bo264 Bon-q97
Ilmu titen ini sebenarnya sudah masuk dalam seluruh aspek
kehidupan ummat manusia. Mulai dari manusia paling primitif
sampai manusia paling modern.
"Contoh ilmu titen begini Kak. Sederhananya orang dulu, zaman
dulu sekali tidak tahu ilmu pengetahuan alam. Mereka tidak sekolah
seperti kita. Kalau kita kan sekarang langsung tahu kalau ada
mendung kemungkinan besar akan hujan. Kita tahu karena dapat dari
pelajaran IPA di sekolah. Mendung pada hakeketnya adalah uap air
yang menggumpal. Jika ditiup angin jadilah hujan. Orang dulu tidak
belajar IPA. Mereka itu mengerti kalau ada mendung pasti akan
hujan itu dari pengamatan yang berulang-ulang. Kok setiap melihat
langit hitam lalu ada petir terus turun air dari langit. Demikian terus
berulang. Akhirnya pengalaman itu menjadi struktur suatu ilmu bagi
mereka yaitu kalau ada mendung maka ada hujan. Itulah ilmu titen.
"Contoh lain, orang dulu untuk mengetahui gunung mau meletus
tidak dengan alat yang canggih yang bisa mendeteksi berapa kali ada
gempa tektonik dari dalam kepundan gunung itu. Tidak Kak. Mereka
tidak punya alat itu. Tapi mereka mengetahui akan ada gempa
dengan melihat gejala alam yang berulang-ulang. Dengan niteni
gejala alam yang berulang-ulang. Misalnya kalau banyak binatang
turun dari gunung, kalau banyak binatang yang biasanya tidak turun
kok turun, kalau itu terjadi kok terus tak lama gunung meletus. Maka
itu mereka titeni, mereka perhatikan dengan seksama. Lalu mereka
jadikan alamat. Mereka jadikan tanda, bahwa kalau banyak binatang
turun dari gunung maka gunung akan meletus. Itu ilmu titen
namanya Kang.
"Atau contoh seperti ini, polisi di dunia modern ini sekalipun juga
rnenggunakan ilmu titen. Misalnya untuk mengetahui tersangka
berkata jujur atau bohong ya dengan ilrnu titen. Kalau mimiknya
begini maka jujur. Kalau gagap dan kelihatan berbelit-belit maka
Edited by : Bo265 Bon-q97
biasanya tidak jujur. Kalau tampak polos terus apa adanya ditanya
berulang-ulang jawabannya sama maka biasanya jujur. Ya itu kan
polisi berangkat dari ilmu titen.
"Juga seorang psikolog banyak menggunakan ilmu titen. Dengan
melihat getar tangan seorang remaja, gaya bicara psikolog yang
canggih bisa mengetahui remaja itu pecandu narkoba atau tidak.
"Terus lagi contoh ilmiah ilmu titen begini. Jika Kak Azzam
mengatakan kepada saya 1, 3, 5, 7, 9 maka saya akan langsung bisa
melanjutkan pasti berikutnya 11, 13,15,17. Ini bukan berarti saya
seorang wali yang serba tahu, yang tahu sebelum sesuatu itu terjadi
kemudian. Bukan! Karena saya sudah mengamati angka-angka
sebelumnya dan tahu struktur sebelumnya.
"Jika orang dulu ada yang bisa memperkirakan selembar daun
nangka di depan rumah kapan jatuhnya. Dan perkiraannya itu tepat,
maka itu tidak terus langsung bid'ah kak. Tidak terus langsung
dikatakan dia dibisiki oleh jin. Tidak! Itu ada ilmunya ya ilmu titen
itu. Ilmu mengamati fenomena alam yang dalam. Seseorang bisa
memperkirakan kapan daun nangka itu jatuh dan tepatnya hari apa
adalah setelah orang itu biasa mengamati daun nangka sebelumnya.
Dia menghitung sejak daun itu tumbuh lalu jatuh maka perlu rentang
waktu sekian masa. Kalau daun itu baru berwarna begini, misalnya
hijaunya agak muda belum hijau tua biasanya baru berumur sekian
hari. Dia tahu karena memperhatikan. Karena niteni.
"Pepatah Arab yang terkenal itu man jadda wajada, siapa yang giat
pasti akan mendapatkan, kan juga berangkat dari ilmu titen. Setelah
sejarah membuktikan bahwa orang orang yang berhasil di dunia ini
sebagian besar adalah orang-orang yang giat, orang-orang yang
bersungguh sungguh, maka kemudian orang Arab kuno
menyimpulkan man jadda wa jada.
Edited by : Bo266 Bon-q97
"Perkembangan ilmu titen yang canggih yang kemudian melibatkan
ilmu eksakta adalah ilmu falak, ilmu astronomi. Kok manusia bisa
tahu akan terjadi gerhana jnatahari? Kok manusia tahu akan terjadi
gerhana bulan? fKalau orang kuno dulu, ketika ilmu pengetahuan
belum benar-benar maju untuk mengetahui itu ya mungkin rnurni
dengan menggunakan kejelian pengamatan pada alam. Pada bintangbintang.
Sekarang ilmu itu sudah berkembang. Gerhana matahari
bisa diprediksikan dengan hitungan ilmu falak. Dasar hitungan itu
pada awalnya kan ilmu titen dulu Kak.
"Baik terakhir Kak, Rasulullah pernah menggunakan ilmu titen. Kak
Azzam tahu kapan? Yaitu ketika Rasulullah perang badar. Untuk
mengetahui jumlah pasukan kafir Quraisy Rasulullah menggunakan
ilmu titen. Yaitu dengan mengetahui dulu jumlah onta yang
disembelih setiap harinya. Ketika ada yang memberi tahu beliau
bahwa jumlah onta yang disembelih setiap harinya adalah sepuluh
maka beliau menyimpulkan jumlah pasukan kafir Quraisy kurang
lebih seribu orang. Karena satu onta biasanya bisa untuk dimakan
seratus orang. Maka tinggal ngalikan saja. Sepuluh kali seratus ya
berarti seribu. Begitu Kak. Jadi ilmu titen yang disampaikan Bue
tidak terus bid'ah. Tapi rnemang..."
Belum selesai Husna menjelaskan Bu Nafis,
"Maksud Bue itu dengan ilmu titen itu ya kira-kira Seperti yang
diterangkan Husna itu lho Zam. Tapi ibu kan cuma tamat SR saja.
Jadi Bue tidak bisa menjelaskan yang panjang rinci seperti Husna
yang sarjana.
"Begini lho Zam, alasan Bue berdasarkan ilmu titen kenapa ibu tidak
setuju dengan dua gadis itu begini.
Pertama Rina, gadis temannya adikmu itu memang baik.Bue akui itu.
Sopan santunnya baik. Cuma ada satu hal yang ibu amati, dan bue
Edited by : Bo267 Bon-q97
tidak cocok adalah ketika dia dulu menginap di sini, bisa-bisanya
habis shalat subuh tidur lagi. Padahal kita bertiga tidak tidur. Dia lalu
bangun jam tujuh pagi. Ini yang membuat ibu tidak cocok.
Bagaimana
kalau dia nanti jadi ibu bakda subuh tidur. Di rumah orang saja nekat
begitu apalagi nanti di rumah sendiri."
'Tapi Bu, Rina pada waktu itu memang terlalu letih. Sehari
sebelumnya dia ada acara full di kampus." Husna berusaha membela
Rina, meskipun ia juga tahu kebiasaan tidur setelah shalat subuh itu
masih dilanggengkan temannya itu sampai saat itu.
"Ah apapun alasannya. Ibu tak peduli. Kata ayahmu dulu kalau orang
tidur habis subuh rezekinya dipatuk sama ayam, jadi hilang! Terus
itu Si Tika atau Kartika Sari yang jadi penjaga kios Sumber Rejeki di
pasar Klewer. Memang dia cantik dan anggun. Saat kita dolan ke
rumahnya juga baik tutur bahasanya. Tapi Bue tidak suka caranya dia
tertawa. Tertawanya ngakak-ngakak seperti itu. Dia itu seorang gadis
masak tertawanya ngakak begitu. Kalau laki-laki masih agak
mending, mungkin masih agak bisa dimaklumi. Ini gadis. Rasulullah
saja kalau tertawa tidak ngakak-ngakak begitu. Setelah mendengar
dia tertawa seperti itu Bue langsung kehilangan selera. Maaf, yang
biasa tertawa begitu itu biasanya perempuan murahan, pelacur.
Bukan Bue menganggap dia perempuan murahan bukan. Ibu hanya
menjelaskan kenapa bue tidak suka. Daripada Bue punya menantu
kalau setiap tertawa bue tidak suka dan setiap dia tertawa bue
langsung teringat perempuan murahan kan lebih baik tidak bue
iyakan." Bu Nafis menjelaskan alasan-alasannya. Tiba-tiba Lia
keluar dari kamarnya. "Kayaknya ramai nih diskusinya. Lia dengar
dari kamar tadi Mbak Husna bicara tentang ilmu titen dengan segala
penjelasannya. Tapi Lia lihat ya kak banyak di Jawa ini ilmu titen
yang memang masuk khurafat kak. Jadi bid'ah. Mungkin ini yang
dimaksud kak Azzam. Kalau yang kakak sampaikan tadi memang
ilmiah." Kata Lia. "Yang seperti apa itu Dik?" Tanya Husna.
Edited by : Bo268 Bon-q97
"Ini misalnya ya dengan alasan ilmu titen juga. Di daerah Solo dan
sekitarnya ini kan ada pantangan anak pertama menikah dengan anak
ketiga. Di daerah Semarang sana ada pantangan anak pertama
menikah dengan anak pertama. Kata orang-orang tua juga dasarnya
ilmu titen itu.
"Pantangan anak pertama menikah dengan anak ketiga di Solo
disebut lusan. Nomer telu artinya tiga menikah dengan nomor pisan,
artinya satu. Katanya kalau nekat menikah nanti salah satu dari orang
tua pengantin putra atau pengantin putri akan mati.
"Kalau di Semarang anak pertama tidak boleh menikah dengan anak
pertama karena nanti kehidupan rumah tangganya tidak bahagia." Lia
menjelaskan.
"Sebenarnya itu juga yang mau Mbak Husna jelaskan tadi Dik. Tapi
keburu dipotong sama Bue. Begini memang ada yang dianggap ilmu
titen, tapi sebenarnya ilmu pengawuran. Ilmu gatuk-gatuk, cuma
mencocok cocokkan peristiwa yang mentah sepintas saja terus
diambil kesimpulan. Terus dinamakan ilmu titen. Yang seperti ini
tidak ada landasan ilmiahnya. Kalau ilmu titen yang sebenarnya itu
bisa diuji keilmiahannya. Fakta dan datanya bisa dijelaskan. Teorinya
bisa didefinisikan. Lha yang cuma menggatuk-gatukkan tanpa
penelitian mendalam ini yang repot. Apalagi kalau sudah dimitoskan.
Jadilah khurafat.
"Contohnya ya pantangan anak ketiga menikah dengan anak pertama
itu. Itu mitos yang tidak ada dasarnya. Itu khurafat yang menyesatkan
memang Mbak juga sepakat. Bisa jadi dulu ada orang yang sangat
ditokohkan di masyarakat punya anak pertama dinikahkan dengan
anak orang lain nomor tiga. Setelah akad nikah salah satu dari orang
tua pengantin itu meninggal dunia. Yang memang telah tiba ajalnya.
Terus orang mengatakan itu karena sebab pernikahan itu pernikahan
anak pertama dengan anak ketiga. Karena itu menimpa seorang
Edited by : Bo269 Bon-q97
tokoh zaman itu jadi terkenal. Terus dipercaya, dijadikan pantangan.
Terus jadi mitos sampai sekarang.
"Yang juga perlu kita harus perhatikan juga. Ada ilmu titen yang
dulu pas untuk zamannya, pas untuk masanya. Namun dengan
perkembangan zaman ilmu titen itu sudah tidak pas lagi. Maka
manusia harus berpikir lagi, berijtihad lagi. Jangan tetap nekat
menggunakan ilmu titen yang tidak pas itu?"
Azzam yang sejak tadi diam saja. Kali ini angkat suara,
"Contohnya apa itu Dik? Kelihatannya yang ini menarik."
"Contohnya ini Kak, dulu ketika ekosistem alam masih seimbang.
Gas kaca di angkasa sana tidak merajalela seperti sekarang. Ozon
belum bolong. Ada ilmu titen yang oleh orang Jawa disebut pranata
mongso. Pembagian masa dalam satu tahun untuk bertani. Ada masa
untuk mencangkul membalik tanah, ada masa untuk menanam, ada
masa untuk menyiangi, dan ada masa untuk panen. Hitungannya
selalu tepat. Kenapa? Karena ekosistem alam pada masa itu masih
seimbang. Sehingga musim hujan bisa diprediksi kapan datang.
Musim panas juga bisa diprediksi berapa panjang. Dulu ada
ungkapan desember itu maknanya deres-derese sumber, atau besarbesarnya
sumber. Karena air ada di mana-mana. Terus Januari adalah
hujan sehari-hari. Karena memang hampir tiap hari hujan. Itu semua
memakai ilmu titen. Dan itu terukur. Benar.
"Tapi zaman telah berubah. Sekarang hutan sudah gundul. Gas kaca
hampir menyelimuti seluruh angkasa. Ozon bolong-bolong. Dan
terjadilah pemanasan global. Akhirnya siklus perubahan musim di
dunia ini jadi tidak jelas. Kita tidak bisa lagi mengatakan Januari
hujan sehari hari. Sebab tahun lalu saja ketika masuk bulan Januari
daerah Blora malah masih kemarau panjang. Belum hujan. Sampai
diciptakan hujan buatan. Terus kadang-kadang bulan Juli tiba-tiba
Edited by : Bo270 Bon-q97
hujan di beberapa kota. Para petani sudah kehilangan patokan.
Mereka bingung. Kapan harus mencangkul kapan harus menanam,
dan kapan harus panen, mereka tidak tahu. Maka di sini kesimpulan
ilmu titen terdahulu harus diubah. Manusia harus mengamati lebih
dalam lagi gejala-gejala alam supaya hidup dengan seiahtera. Di sini
manusia harus ikhtiar dan bekerja keras. Kalau tetap mendasarkan
pada kesimpulan orang dulu ya semua kacau. Karena zamannya telah
berubah. Dulu waktu kita kecil Kartasura kan masih cukup sejuk
sekarang sudah panas luar biasa menyengat. Salatiga dulu kita
kedinginan kalau rekreasi ke sana. Sekarang sudah mulai panas."
"Terima kasih Dik. Penjelasanmu membuka satu wawasan baru bagi
Kakak. Kakak jadi banyak belajar dari diskusi kita malam ini. Kita
tidak boleh tergesa-gesa menghukumi sesuatu. Segalanya harus
dilihat dengan seksama dan detil. Semua ada ilmunya. Terus apa
yang harus kakak lakukan berkaitan dengan permintaan Bue untuk
segera menikah?"
Lia menjawab, "Ya terus berikhtiar Kak. Sampai menemukan yang
terbaik buat kakak dan bue cocok."
"Ini Husna ada masukan lagi. Husna punya teman kerja di radio.
Sudah menikah. Lha suaminya itu punya adik perempuan lulusan
Fakultas Ekonomi Univesitas Indonesia. Namanya Milatul Ulya.
Biasa dipanggil Mila. Dia sekarang bekerja di sebuah bank syariah di
Surabaya. Kalau kakak mau, saya bisa minta datanya lebih detil
sekaligus fotonya." Husna memberi harapan pada kakaknya.
"Boleh. Bagaimana Bue?" Ucap Azzam.
"Iya boleh saja." Ucap Bu Nafis
"Eh cantik tidak Kak Husna?" Tanya Lia.
"Yang ditanya kok mesti cantiknya." Tukas Husna.
Edited by : Bo271 Bon-q97
Setidaknya Kak Azzam harus dapat isteri yang cantik. Harus gak
boleh kalah dengan Eliana. Lha wong sudah diisukan dekat dengan
Eliana kok terus dapatnya terlalu jauh cantiknya kan jadi jegleg.
Turunnya terlalu jauh. Sebagai adik Lia juga ingin punya kakak ipar
cantik. Tapi tetap yang shalihah. Betul begitu Kak Azzam?" Ujar Lia
'Tidak. Tidak harus cantik. Dan tidak harus secantik Eliana. Yang
penting ketika kakak memandangnya suka itu saja. Cantik bukan
yang Kakak cari. Yang kakak cari adalah orang yang bisa menjadi
penolong kakak untuk beribadah yang sebaik-baiknya kepada Allah
di dunia ini. Orang yang juga bisa membantu kakak meraih derajat
yang tinggi di akhirat nanti." Sahut Azzam menerangkan kriteria
calon isterinya.
"Itu baru jawaban lulusan Al Azhar! Baik Kak, besok Husna akan
minta datanya Si Mila itu syukur ada fotonya sekalian."
Edited by : Bo272 Bon-q97
18
DARI MILA HINGGA SEILA
"Membaca data dan melihat fotonya sih ibu cocok." Kata Bu Nafis
setelah membaca data dan foto diri gadis muda nan manis bernama
Milatul Ulya, S.E. dari Surabaya
"Wah ini lumayan cantik Kak Azzam, meskipun ya belum sekelas
Eliana. Tapi boleh kok." Komentar Lia.
Azzam tersenyum mendengarnya.
Sekarang pendapat Kak Azzam sendiri bagaimana?" Tanya Husna.
Kalau dia mau jadi isteri kakak, kapan pun dia mau menikah boleh.
Bahkan sekarang dia mau mengajak akad nikah pasti akan kakak
langsungkan!"
"Wah! Mantap sekali Kak Azzam ini. Baru kali ini aku dengar
jawaban seorang lelaki semantap ini. Kalau Si Mila ini dengar, pasti
hatinya akar bergetar hebat berhari-hari." Sahut Lia.
Edited by : Bo273 Bon-q97
"Kalau begitu cepatlah diatur bagaimana kakak kalian itu bisa
bertemu Mila." Pinta Bu Nafis pada Husna dan Lia.
"Tenang Bu, sudah Husna atur sama kakaknya Mila. Ahad depan
Mila akan dolan ke rumah kakaknya di Perumahan Gentan. Kira-kira
pukul sembilan pagi saya dan Kak Azzam akan dolan ke sana.
Kakaknya akan minta Si Mila yang membuat minuman dan
mengeluarkannya. Kakaknya juga akan pura-pura keluar sebentar
membeli sesuatu dan Mila akan diminta menemui kami sebentar.
Setelah pertemuan itu barulah nanti kakaknya kan tanya Si Mila mau
tidak sama Kak Azzam. Begitu."
"Bagus sekali skenarionya Mbak. Mbok saya sama Bue ikut." Pinta
Lia.
"Jangan dulu nanti malah jadi berantakan rencananya. Kalau sudah
matang saja. Saat lamaran baru kita semua ke Surabaya." Cegah
Husna.
"Bue sepakat. Semoga yang ini benar-benar jodoh." Lirih Bu Nafis
penuh harap
"Amin." Doa Azzam dalam hati.
* * *
Pagi itu langit tertutup awan. Angin bertiup kencang. Sesekali kilat
menyambar. Guntur menggelegar. Azzam melihat arlojinya, jam
delapan. Husna mengambil jemuran yang masih basah di halaman.
Gerimis mulai turun perlahan.
"Jadi berangkat Zam?" Tanya Bu Nafis.
"Ya harus tetap berangkat Bu. Kalau tidak kapan ketemu jodohnya."
Jawab Azzam mantap. Wajah Bu Nafis cerah seketika
mendengarnya. Husna meletakkan pakaian yang masih basah di
Edited by : Bo274 Bon-q97
ember besar hitam. Gadis yang sudah berpakaian rapi itu lalu ke
kamarnya mengambil tas cokelat tuanya. Lalu keluar dengan senyum
mengembang.
"Siap?" Kata Husna pada kakaknya.
"Siap! Janaka dari Kartasura siap melihat Dewi Dersanala dari
Surabaya." Canda Azzam seraya melangkah mencium tangan ibunya
minta restu.
"Nanti kalau pulang, dan hujan belum juga reda. Coba tengok Lia di
sekolahnya ya. Biar dia ikut kalian saja." Pesan Bu Nafis pada
Azzam dan Husna. Dua orang kakak beradik itu mengangguk lalu
bergegas masuk mobil Carry Hijau tahun 1995.
Mobil itu bergerak pelan meninggalkan halaman, menelusuri jalan
dan meninggalkan dukuh Sraten. Mobil bergerak ke Perumahan
Gentan. Hujan turun sangat deras. Jalan-jalan penuh air bagaikan
anak sungai dadakan. Hujan masih lebat ketika mobil itu sampai di
sebuah rumah mungil bergaya minimalis. Azzam memarkir mobil di
tepi jalan tepat di depan rumah itu. Hujan masih mengguyur deras.
Azzam membunyikan klakson beberapa kali. Husna menurunkan
kaca jendela mobil. Yang punya rumah melongok keluar. Seorang
perempuan muda berjilbab hijau tua. Umurnya kira-kira tiga puluhan
tahun. Perempuan itu cepat-cepat menyongsong dengan membawa
dua payung. Satu ia pegang dan satunya ia serahkan Husna. Husna
turun dari mobil disambut perempuan itu yang begitu hati-hati
melindungi Husna dengan payung yang mengembang di tangannya.
Mereka berdua berjalan dalam satu payung. Azzam turun dan
langsung melindungi dirinya dengan payung. Guntur menggelegar.
Azzam merasa kerdil di tengah keagungan Tuhan.
Edited by : Bo275 Bon-q97
Azzam meletakkan payungnya di teras. Lalu menata Kemejanya dan
masuk.
"Assalamu'alaikum." Sapa Azzam
"Wa'alaikumussalam. Silakan duduk Mas." Jawab perempuan muda
yang sudah duduk berhadapan dengan Husna. Azzam mengambil
tempat di sisi Husna.
"Mbak Yuni, ini kakakku namanya Azzam." Husna
memperkenalkan.
"O yang kuliah di Mesir itu?" Tanya perempuan muda. "Iya."
"Kenalkan Mas, saya Yuni teman kerja Husna di radio JPMI Solo."
"Iya Mbak. Suaminya mana Mbak?"
"Itu di belakang sedang membetulkan genteng yang melorot."
"Iya deras sekali hujannya ya Mbak. Anginnya juga besar." Kata
Husna
"Benar. Malah ada pohon di jalan dekat perumahan sebelah
tumbang." Kata perempuan bernama Yuni itu. "Sebentar ya."
Lanjutnya lalu masuk ke dalam.
Ketika tuan rumah masuk, Husna berbisik pada Azzam, "Yang akan
ditemukan dengan kakak adalah adik suaminya Mbak Yuni ini.
Kakak santai saja. Biasa saja."
Tak lama kemudian seorang gadis berjilbab putih keluar dengan
membawa nampan berisi teh hangat. Azzam memandang wajah
gadis itu, biasa saja nuansa hatinya, tidak ada desir aneh seperti
ketika ia melihat Anna atau Eliana dulu. Gadis itu berwajah oval.
Edited by : Bo276 Bon-q97
Alisnya tipis. Ada tahi lalat di pelipis kanannya. Tangannya lentik
meletakkan gelas dari nampan ke meja.
"Silakan Mbak, Mas diminum." Kata gadis itu dengan suara serakserak
basah. Mirip suara Zumrah.
"Terima kasih, Mbak ya. Eh Mbak siapa kalau boleh tahu namanya?"
Husna bertanya pada gadis itu.
"Mila. Lengkapnya Milatul Ulya." Jawab gadis itu, "Maaf saya ke
belakang ya." Sambungnya lalu bergegas ke belakang.
"Bagaimana Kak. Setelah melihat sekilas." Bisik Husna pada Azzam
setelah gadis itu hilang di balik tembok.
"Biasa saja. Tapi sudah masuk standar. Jilbabnya rapat dan panjang.
Kakak suka itu." Jawab Azzam.
Tak lama kemudian muncul seorang pria muda berkaos panjang biru
tua dan memakai celana jeans biru muda. Kepala pria itu agak botak.
Rambutnya tipis. Wajahnya segar dan ramah.
"Assalamu'alaikum, kenalkan saya Edy. Suami Yuni." Kata pria itu
sambil menjabat tangan Azzam lalu duduk.
"Nama saya Azzam Mas. Lengkapnya Khairul Azzam. Kakak
kandung Husna ini?"
"O ini tho kakaknya Husna. Bisa nulis juga seperti adiknya?"
"Bisa, tapi nulis surat he... he... he..." Jawab Azzam.
Edy juga tertawa. Husna tersenyum saja. Ruangan itu jadi cair dan
hangat.
Edited by : Bo277 Bon-q97
"Berapa lama di Mesir?"
"Aduh jadi malu kalau ditanya itu. Saya sembilan tahun di Mesir.
Tapi masih bodoh tidak bisa apa-apa."
"Ah jangan merendah begitu."
"Sungguh. Bisanya malah bikin bakso. Sekarang saya usaha bakso di
UMS. Bakso cinta."
'O bakso cinta itu ya. Yang bentuknya tidak bulat tapi berbentuk
lambang cinta?"
"Iya."
"Itu milik Anda?"
"Benar."
Katanya mantap. Itu teman-teman saya di kantor yang cerita kalau
mantap. Nanti kapan-kapan saya coba."
"Datang saja Mas. Kalau ingin bertemu saya ya yang di samping
UNS."
"Ya baik."
Kemudian Yuni dan Mila keluar. Yuni membawa sepiring pisang
goreng dan Mila membawa dua toples berisi kacang kulit dan
rempeyek. Piring dan toples itu diletakkan di meja.
"Wah ini kayak lebaran saja Mbak Yun." Ujar Husna. "Biar. Adanya
cuma itu. Tidak ada apa-apa." Sahut Yuni.
Edited by : Bo278 Bon-q97
Saat Mila mau masuk lagi ke dalam Yuni memegang tanggannya
seraya berkata,
"Jangan masuk. Ini temani kakakmu. Aku mau ke tempat Bu RT
kemarin lupa iuran seragam PKK. Mumpung aku ingat. Nanti kalau
lupa lagi tidak enak sama Bu RT."
Mila jadi kikuk. Ia lalu duduk di kursi yang ada di samping
kakaknya. Yuni melangkah keluar mengambil payung dan
menerobos hujan. Hujan masih turun dengan lebatnya. Gelegar guruh
dan guntur berkali-kali terdengar.
"Oh ya Mas Azzam, Mas dulu di Mesir ambil jurusan apa?"
"Saya kuliah di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir. Kalau Mas Edy
dulu kuliah di mana?"
"Saya dulu di ITS. Terus kerja di Telkom, saya ditempatkan mulanya
di Salatiga terus dipindah di Solo. Saat di Solo itulah saya ketemu
Yuni. Kok tertarik. Langsung saya temui orang tuanya. Dia mau.
Orang tuanya boleh. Lalu kami nikah." Cerita Edy ke mana-mana
menjawab pertanyaan Azzam.
"Mas Azzam sudah menikah?"
"Belum."
"Kenapa?"
"Belum ketemu jodoh."
"Wah apa mungkin ini kebetulan. Adik saya Mila ini iuga belum
menikah lho."
Edited by : Bo279 Bon-q97
Milatul Ulya salah tingkah mendengar perkataan kakaknya Mukanya
memerah. Saat memerah itulah pesonanya bisa menyihir siapa saja.
Azzam melihat perubahan muka itu dan melihat pesonanya. Azzam
merasakan sihirnya. Barulah hatinya berdebar dan berdesir.
"Bagaimana Mas, apa sama adik saya saja, malah tidak usah pusingpusing
cari jodoh?"
Azzam menjawab dengan tenang. Ia harus menguasai keadaan,
"Kalau saya sih mudah saja Mas. Siapa sih yang tidak mau sama
gadis cantik berjilbab seperti Mila. Persoalannya adalah Mila mau
tidak sama saya. Saya yang degil, dan hanya seorang penjual bakso."
Mendengar kalimat itu Mila semakin menunduk. Kedua pipinya
memerah. Jari-jarinya memilin-milin jilbab besarnya. Ia diam seribu
bahasa.
"Eh Mbak Mila masih kuliah?" Tanya Husna pada Mila.
Perlahan Mila mengangkat muka memandang wajah Husna.
"Saya sudah selesai kuliah Mbak."
"Di mana kuliahnya?"
"Di FE UI Depok."
"Sekarang aktivitasnya apa?" '
"Kerja sama aktif di dakwah."
"Kerja di mana?"
Edited by : Bo280 Bon-q97
"Di sebuah bank syariah di Surabaya."
'Ke Solo dalam rangka apa?" "Ya main ke rumah kakak saja."
Berapa bersaudara sih Mbak?"
"Empat bersaudara. Kakak ini yang nomor dua. Nomor satu di
Malang. Saya nomor tiga dan nomor empat masih kuliah di UNEJ.
Oh ya tadi Masnya bilang kuliah di Mesir ya?" Mila berani bertanya
pada Azzam meskipun dengan wajah tetap menunduk memandang
meja.
"Iya." Jawab Azzam.
"Saya dulu di SMP punya teman, namanya Nanang. Dia setahu saya
kuliah di Mesir. Apa Mas kenal?"
"Sebentar, apa namanya Nanang Sukamtono?" "Iya."
"Yang alisnya tebal. Terus ada kayak tompel di anak telinga
kanannya."
"Iya benar. Ia sama teman-teman dulu malah kadang dipanggil
Nanang Tompel."
"Kebetulan saya kenal baik. Nanang itu adik kelas saya. Dia satu
rumah dengan saya."
Spontan pria bernama Edy berkata, "Masya Allah, dunia ternyata
sempit sekali. Wah lha kok kebetulan. Apa ini tanda-tanda berjodoh
ya?"
Kembali wajah Mila memerah. Gadis itu diam tidak menanggapi
kalimat kakaknya dengan kata-kata tapi dengan diamnya dan
Edited by : Bo281 Bon-q97
perubahan wajahnya. Satu jam lamanya Azzam dan Husna
berbincang-bincang dengan Mila dan kakaknya. Ketika Yuni
kembali hujan mulai reda. Azzam dan Husna lalu pamit minta diri.
"Wah gadis itu masih sangat alami Kak. Meskipun dia kuliah di UI
tapi jiwa dan hatinya sama sekali masih benar benar alami. Kak
Azzam lihat tidak tadi perubahan mukanya. Diamnya. Salah
tingkahnya. Kalau sudah terkena budaya kota dan budaya metropolis
itu tak akan terjadi." Husna menjelaskan penilaiannya dalam
perjalanan pulang ke Wangen.
"Begini saja Na. Terserah kau mengaturnya bagaimana. Kau
sampaikan saja lamaranku pada kakaknya atau langsung pada Si
Mila. Kalau kira-kira okay, kita berangkat ke Surabaya."
"Baik Kak."
"Semoga dia memang jodohku." Ucap Azzam penuh harap.
"Semoga kak. Amin. Kalau dari salah tingkahnya aku yakin dia
menerima Kak. Sembilan puluh lima persen sudah okay, tinggal yang
lima persen kakak harus banyak doa." Kata Husna.
Suatu siang Azzam dan Husna bertemu dengan Yuni di sebuah
rumah makan di dekat pasar Kleco. Yuni datang sendirian dengan
bersepeda motor. Perempuan muda itu hendak menjelaskan hasil
lamaran Azzam.
"Alhamdulillah, untuk Mila tidak ada masalah." Kata Yuni.
"Artinya dia menerima?"
"Iya. Bahkan begitu kalian pulang dari rumahku itu, Mila bertanya
minta pada kakaknya agar serius mengejar Azzam. Tidak hanya
Edited by : Bo282 Bon-q97
guyonan." Kata Yuni yang membuat hati Azzam bagai ditetesi
embun dingin.
"Tapi masalahnya justru ada pada ibu mertuaku, yaitu ibunya Mila."
Lanjut Yuni.
"Apa masalahnya?"
"Masalah yang saya sama Edy sampai judeg dan bingung harus
bagaimana menghendaki perempuan tua kolot. Masalah yang sangat
mengherankan masih saja ada di zaman modern. Masalahnya adalah
Azzam anak pertama dan Mila anak ketiga. Ibu mertua itu sangat
percaya itu namanya lusan. Tidak boleh anak ketiga menikah dengan
anak pertama. Terus katanya kalau me..."
"Ya kalau menikah maka salah satu dari orang tua pengantin, baik itu
pengantin lelaki atau pengantin perempuan akan ada yang binasa.
Akan ada yang meninggal dunia. Begitu kan?"
"Iya. Edy sama saya sampai berdebat keras sama ibu mertua. Edy
malah sampai marah. Tapi ibunya tetap bersikukuh. Dan dia bilang,
'Kalau sampai Mila jadi menikah dengan lelaki itu maka aku tidak
rela dunia akhirat. Dan Edy yang membawa lelaki itu dan
keluarganya juga tidak aku ridhai!' Begitulah kami tidak bisa
berkutik apa-apa. Edy tidak berani ikut karena malu sama Azzam.
Kalau kalian ada saran silakan. Terus terang kami telah kehabisan
cara berhadapan dengan ibu mertua yang sangat kolot dan masih kuat
memegang kejawen."
"Ibu mertuamu di Surabaya masak masih begitu. Surabaya kan kota
santri?"
"Ibu mertua memang di Surabaya, tapi aslinya kan Karanganyar."
Edited by : Bo283 Bon-q97
"Lha bapak mertuamu bagaimana?"
"Dia selalu ikut apa kata ibu mertua. Ah yang kasihan Mila."
"Kenapa dengan Mila?" Tanya Husna penasaran.
"Mila tidak bisa menerima kenyataan ini. Dia sangat sedih. Ia bilang
ke saya, 'Kalau Mas Azzam mau mengajak dia kawin lari pun dia
siap. Nanti biar Mas Edy yang jadi walinya.' Tapi suamiku itu tidak
berani. Ia takut membuat ibunya benar-benar murka dan
menyumpahinya tujuh keturunan."
"Terus apa yang seharusnya kami lakukan?"
"Aku juga tidak tahu. Tapi kalau Azzam mau mencoba menghadapi
ibu mertuaku langsung juga tidak apa. Siapa tahu di tangan Mas
Azzam ibu mertuaku takluk."
Mendengar penjelasan Yuni itu Azzam hanya bisa geram. Kenapa
mitos-mitos yang penuh kebohongan itu tetap saja jadi keyakinan.
Berapa banyak korban yang sengsara karena mitos seperti itu. Dulu
di dukuh Sraten, Sriani anak perempuan Bu War gagal kawin dengan
anak pedagang sapi dari Karanggede Boyolali gara-gara masalah
hitungan hari kelahiran. Menurut orang-orang Karang gede hitungan
keduanya yang tidak cocok. Kalau tetap dikawinkan akan selalu
mendatangkan huru hara rumah tangga. Perkawinan dibatalkan. Dan
anak Bu War jadi linglung sampai sekarang.
Sampai di rumah semua keterangan Yani dimusyawarahkam dengan
Bu Nafis dan Lia.
"Kak Azzam, nekat saja ke Surabaya. Labrak saja ibunya Mila yang
kolot itu. Kalau tetap bersikukuh bawa saja si Mila kawin di sini.
Kalau Edy kakaknya tidak mau jadi wali bisa pakai wali hakim.
Edited by : Bo284 Bon-q97
Kalau seperti ini diterus teruskan yang kasihan kan kaum perempuan.
Selalu jadi korban, kayak Si Mila itu. Apa salah Si Mila coba!?"
Sengit Lia dengan mata menyala-nyala.
"Jangan! Kalau Azzam tetap nekat terus ibunya Mila tetap
bersikukuh dan Azzam tetap membawa Mila nikah, ibu kok yakin
ibunya Mila itu akan meninggal dunia!" Kata Bu Nafis.
"Benarkah Bu?" Heran Lia. Azzam dan Husna juga heran. "Benar.
Ibu agak yakin."
Berarti ibu juga berpendapat sama dengan ibunya Mila bahwa anak
ketiga tidak boleh menikah dengan anak yang nomor pertama?" Kata
Lia dengan nada agak sinis. "Tidak begitu." Terus kenapa ibu
begitu?"
Kalau Azzam tetap menikahi Mila. Ibu itu akan mati karena marah!
Mati karena serangan jantung dan sakit hati yang luar biasa yang
dihembuskan oleh setan yang menjaga mitos menyesatkan itu!"
"O begitu." Lia lega. Menurut Bue Kak Azzam harus bagaimana?"
"Cari yang lain saja! Kayak tidak ada gadis lain saja di muka bumi
ini. Masih ada yang lebih baik dari Mila. Soal Mila itu urusan
keluarga mereka!" Tegas Bu Nafis.
Sebenarnya Azzam sangat berat menerima kenyataan ini. Inilah kali
keempat ia berniat menikahi seorang gadis tapi tidak berjodoh. Yang
pertama ia melamar Anna lewat Ustadz Mujab ternyata sudah
didahului Furqan. Kedua, ia cocok dengan Rina, ibunya tidak cocok.
Ketiga, ia juga cocok dengan Tika, ibunya yang tidak cocok.
Keempat dengan Mila. Ia dan Mila sama-sama cocok, tapi ibu Mila
yang ternyata jadi penghalang. Sudah empat kali!
Edited by : Bo285 Bon-q97
"Jangan sedih Kak. Ayo Kak cari yang lain! Lia dan Mbak Husna
juga akan bantu!" Lia berusaha menghibur kakaknya.
"Kak Azzam sendiri apa tidak punya kenalan gitu? Kan kakak juga
mengajar ngaji di pesantren siapa tahu ada di antara jamaah yang
punya anak putri yang cocok buat Kakak." Ujar Husna. Kata-kata
Husna itu mengingatkannya pada seorang bapak setengah baya yang
pernah memberikan kartu nama kepadanya. Bahkan bapak itu
menawarkan putrinya. Ia merasa untuk mendapatkan jodoh segala
jalan yang halal dan terhormat harus ditempuh.
"Ya kakak ada kenalan, kakak ingat! Beliau pernah memberi kartu
nama!" Seru Azzam.
"Iya Kak, coba saja! Siapa tahu memang jodohnya.' Lia
menyemangati.
Azzam langsung beranjak ke kamarnya mencari kartu nama yang ia
yakin ia letakkan di dalam almari di kamarnya. Sejurus kemudian
Azzam berteriak, "Ya ada". Lalu keluar.
"Namanya Pak Ahmad Jazuli. Alamatnya di Batur, Ceper, Klaten.
Pemilik perusahaan cor besi dan baja Jayakusuma Logam." Kata
Azzam.
"Ketemu sama Bapak itu di mana Zam?" Tanya Bu Nafis.
"Di pesantren Wangen Bu. Saat Azzam mengisi pengajian Al Hikam
yang pertama dulu."
"O begitu."
Edited by : Bo286 Bon-q97
mjbookmaker by http://jowo.jw.lt
"Wah kalau ini jodoh, bisa jadi lebih baik dari Mila dong Kak. Kan
orang Batur itu banyak yang kaya karena punya pabrik logam."
Celetuk Lia.
"Bukan kekayaan yang kakak cari kok Lia. Tapi isteri yang
shalehah."
"Iya Lia tahu."
* * *
Hari berikutnya Azzam langsung meluncur ke Batur, Ceper, Klaten.
Jam sepuluh pagi Azzam sampai di alamat yang ada dalam kartu
nama itu. Ia sampai di sebuah rumah yang besar. Dengan pagar bumi
tinggi. Halamannya luas, dan rumahnya menjorok ke dalam. Dua
orang satpam menjaga pintu gerbang. Ia memperkenalkan diri dan
menjelaskan keperluannya. Pintu gerbang dari besi dibuka. Azzam
membawa mobilnya masuk. Ia melihat rumah yang mewah.
Garasinya terbuka. Ada tiga mobil terparkir di sana. Kijang kapsul,
BMW hitam. dan Nissan X-Trail.
Begitu Azzam keluar dari pintu mobilnya. Seorang lelaki berusia
kira-kira lima puluh tahun keluar dari pintu rumah dan
menyambutnya. Lelaki itu memakai sarung dan koko putih. Tanpa
peci. Rambutnya sebagian mulai memutih.
"Masya Allah, ada tamu agung tho. Nakmas Azzam. Mari-mari
silakan masuk Nak." Lelaki itu menyambutnya dengan sangat
hangat. Azzam masuk, lantai rumah itu sepenuhnya adalah yang
tebalnya kira-kira dua senti. Ada satu dinding yang sepenuhnya
adalah aquarium. Ikan-ikan emas itu seperti naik turun berlari dan
bergerak di dinding. Dinding itu seperti dasar laut.
Edited by : Bo287 Bon-q97
"Apa kabarnya Nak?"
"Alhamdulillah baik Pak."
"Apa kegiatan Nakmas sekarang?"
"Anu Pak, latihan bisnis kecil-kecilan."
"Apa itu?"
"Jual bakso."
"Bagus itu. Bapak dulu waktu masih muda pernah jualan garam
pakai sepeda. Ternyata itu bisa jadi latihan untuk menggembleng
mental bisnis. Teruskan bisnismu Nakmas, Bapak doakan semoga
barakah."
"Amin."
"Ngomong-ngomong, ada keperluan apa ini Nakmas kok tiba-tiba
tidak ada angin, tidak ada guntur sampai di sini?"
"Ya sowan saya ke sini pertama untuk niatan menyambung tali
silaturrahmi. Kedua ya untuk bertemu bapak, mengetahui kesehatan
bapak. Kan Bapak pernah memberi kartu nama kepada saya agar
saya datang kemari. Ketiga, terus terang untuk menjawab tawaran
bapak waktu itu. Bapak bilang punya anak putri siapa tahu
berjodoh." Jawab Azzam dengan tenang dan lancar.
Bapak pemilik rumah mewah itu menunduk, lalu menghembuskan
nafasnya. Matanya berkaca-kaca. Raut mukanya berubah sedih.
"Maafkan saya kalau saya lancang Pak." Lirih Azzam.
Edited by : Bo288 Bon-q97
"Tidak Nak. Kau tidak lancang. Bapak sangat berterima kasih kau
berkenan datang. Sungguh bapak sangat bangga denganmu. Dan
bapak sangat berharap saat itu begitu kau membaca kartu nama
bapak langsung datang kemari. Itu foto anak Bapak. Namanya
Afifatul Qana'ah." Lelaki itu menunjuk ke sebuah foto wisuda di
dinding. Azzam melihat. Dan hati Azzam berdesir.
"Itu waktu dia wisuda di ITB. Setelah itu dia S2 Matematika di
Belanda. Saat aku bertemu denganmu dia baru pulang dua minggu
dan minta dicarikan jodoh yang bisa membimbingnya baca Al Quran
dan bisa mengimaminya shalat. Bapak anggap ketika bertemu
denganmu engkaulah orangnya. Cocok. Sama-sama lulusan luar
negeri. Bapak tunggu dari hari ke hari dan minggu ke minggu, kau
tidak datang. Bapak punya pikiran kau mungkin sudah ada calon.
Bapak merasa salah terlalu berharap pada orang yang bertemu
sepintas lalu.
"Sementara Afifa terus mendesak bapak. Umurnya sudah dua puluh
enam. Akhirnya bapak menyerahkan jodohnya padanya, asal baik
dan shaleh kalau dia punya calon bapak merestui. Dia bilang dulu
punya teman di ITB, orang asli Cirebon. Dia cari informasi ternyata
temannya itu masih lajang. Punya usaha toko komputer di Bandung.
Satu bulan yang lalu dia menikah Nakmas. Sekarang diboyong
suaminya ke Bandung. Kedatanganmu membuat Bapak sedih. Sedih
kenapa Bapak tidak sabar menunggumu datang."
Azzam meneteskan air mata. Ia tidak berlama-lama. Ia pulang
dengan rasa haru membuncah di dada. Kenapa ia meremehkan
silaturrahmi? Ia memaki dirinya sendiri. Kenapa ketika diberi kartu
nama dan diminta silaturrahmi dia tidak datang. Coba kalau datang.
Anak Pak Jazuli itu tidak kalah jelita dibanding Eliana dan Anna. Ia
lulusan Matematika S2 Belanda. Sebelumnya di ITB. Dari keluarga
santri. Ia memukul kepalanya sendiri. Penyesalan selalu datang
Edited by : Bo289 Bon-q97
belakangan. Meremehkan hal-hal kecil bisa rnembuat seseorang akan
menyesal berkepanjangan.
* * *
Gagal mendapatkan putri Pak Jazuli tidak membuat Azzam putus asa
dalam berikhtiar mencari jodohnya.
Setiap ada informasi yang ia rasa menarik dikejarnya.Saat ronda
malam Kang Paimo cerita bahwa di Singopuran ada jurangan beras
yang kaya, namanya Pak H Darmanto. Biasa di panggil Haji Dar.
Kang Paimo menceritakan bahwa Haji Dar memiliki putri yang
cantik. Ia pernah bilang padanya bahwa siapa yang mau menikahi
anaknya secepatnya akan dinaikkan haji seluruh keluarganya.
Azzam tertarik. Suatu sore, saat langit terang benderang, matahari
masih bersinar cerah, Azzam mencari rumah Haji Dar. Dan ketemu.
Rumah itu dekat dengan pabrik tembakau. Haji Dar melihat Azzam
datang. Tanpa basa-basi Azzam mengutarakan niatnya menyunting
putri Haji Dar itu. Haji Dar luar biasa senangnya. Seketika Haji Dar
kebelakang mencari isterinya. Saat Haji Dar kebelakang ia melihat
ada anak gadis berkulit putih muncul dari samping rumah. Ia
perkirakan gadis itu mahasiswi semester tiga atau empat. Ia kaget,
tiba tiba gadis itu duduk begitu saja di halaman seperti anak kecil.
Lalu ia main karet yang ia bawa dengan plastik hitamnya. Belum
hilang kagetnya isteri Haji Dar muncul.
"Ini Bu namanya Nak Azzam. Dia yang melamar mau menikahi
Eva." Terang Pak Dar pada istrinya.
"Kau sudah mantap Nak?" "Insya Allah Bu."
Tiba-tiba ia dikagetkan oleh gadis itu yang menangis meraung-raung
di halaman sendirian. Gadis itu jalan dan masuk rumah. Lalu
Edited by : Bo290 Bon-q97
menangis di pangkuan ibunya. "Ibu Eva mau mimik susu!" Kata
gadis itu. Seketika seluruh badannya gemetar. Gad is itu memang
cantik tapi ternyata gadis itu punya kelainan yaitu keterlambatan
perkembangan pikirannya. Ia mau pingsan rasanya saat itu. Ia
langsung buru-buru minta diri dan minta maaf pada Pak Haji Dar. Ia
bilang bahwa dirinya salah alamat. Ingin rasanya ia menjitak Kang
Paimo.
Azzam belum juga menyerah.
Adiknya Lia mencoba mengenalkannya dengan anak Pak Badri.
Menurut Lia, Pak Badri ini adalah wali murid seorang anak didiknya.
Pak Badri pernah bercerita bahwa dia memiliki anak perempuan
yang sedang menghafalkan Al Quran di Wonosobo.
"Kata Pak Badri namanya Seila Oktaviana. Dulu sekolah di MAN I
Surakarta. Begitu lulus MAN, Seila langsung nyantri di Wonosobo.
Tahun ini katanya khatam hafal 30 juz. Mungkin yang santriwati
hafal Al Quran seperti ini yang jadi jodoh Kakak."
"Rumah Pak Badri di mana?" Tanya Azzam penasaran.
"Dekat Kak. Di daerah Banyudono situ."
Tak harus menunggu lama, hari berikutnya ia ke Banyudono. Pak
Badri ternyata juga ikut pengajian Al Hikam yang diasuhnya. Pak
Badri sangat senang mendengar pengakuan Azzam yang ingin
menyunting putrinya. Azzam langsung diajaknya ke Wonosobo.
"Kita langsung saja ke sana. Langsung ketemu Seila. Biar semuanya
jadi enak dan terbuka." Kata Pak Badri.
Azzam ditemukan dengan Seila yang terus menundukkan kepala.
Pak Badri juga menjelaskan kepada Seila maksud kedatangannya
membawa Azzam. Seila melihat Azzam sesaat. Seila tidak langsung
Edited by : Bo291 Bon-q97
memberi jawaban. Seminggu setelah itu surat Seila dari Wonosobo
datang ke Banyudono. Surat itu singkat sekali. Surat itu oleh Pak
Badri diberikan kepada Azzam untuk dibaca,
Ayahanda tercinta di Banyudono
Assalamu 'alaikum Wr Wb
Ananda dengan surat ini mohon tambahan doa restunya. Pun
Ananda berdoa semoga Ayahanda dan Ibunda, juga adik-adik
semuanya selalu dikasihi dan dicintai oleh Allah. Amin.
Ayahanda berkenaan dengan maksud ayah menjodohkan ananda
dengan pemuda yang bernama Azzam, itu adalah hal yang
sepatutnya ananda syukuri. Memang kewajiban seorang ayah
mencarikan jodoh untuk putrinya.
Namun ayah, menurut ananda rumah tangga yang tidak didasari
cinta akan hampa tiada bermakna. Jujur, saat bertemu Azzam itu
hati ananda tidak menerbitkan sedikit pun cahaya cinta. Ananda
mohon maaf. Ananda tidak bisa menerimanya. Lagi pula ananda
masih akan cukup lama di pesantren. Ananda belum tuntas betul
menghafalkan 30 juz. Ananda tidak mau gara-gara memikirkan
nikah terus konsentrasi Ananda berantakan.
Setelah hafal pun ananda juga masih ingin di pesantren satu tahun
untuk mematangkan hafalan dengan cara mengabdi pada pesantren.
Sama sekali ananda tidak bermaksud mengecewakan ayahanda atau
siapa saja. Ananda hanya menyampaikan terutama yang menjadi
pendapat ananda, dan yang menurut ananda terbaik untuk ananda.
Demikian mohon maaf jika ada khilaf.
Wassalamu 'alalkum
Ta'zhim ananda, Seila Oktaviana
Edited by : Bo292 Bon-q97
Membaca surat itu Azzam malah terharu. Seila benar. Seila harus
memilih suami yang dicintainya. Dan Seila harus menyelesaikan
hafalan Qurannya. Ia sama sekali tidak mau menjadi penghalang bagi
keberhasilan seseorang menghafalkan Al Quran.
Suatu malam ketika semua orang sedang tidur nyenyak, Azzam
menangis dalam sujud shalat tahajjudnya. Ia adukan semua keluh
kesah dan lelahnya kepada Allah,
"Ya Allah, Engkau Dzat Yang Maha Melihat dan Mendengar.
Engkau melihat segala ikhtiar hamba untuk bertemu dengan makhluk
yang Engkau jodohkan untuk menjadi pendamping hidupku. Sudah
berhari-hari hamba berikhtiar mengetuk setiap pintu rumah yang
hamba yakin ada jodoh hamba. Mulai dari Anna, Rina, Tika, Mila,
Afifa, Eva, dan Seila sudah hamba datangi. Engkau Mahatahu
kenapa hamba mendatangi mereka ya Allah.
"Ya Allah hamba memohon temukanlah hamba dengan pendamping
hidup yang terbaik untuk hamba menurut-Mu ya Allah. Yang terbaik
untuk dunia dan akhirat hamba ya Allah. Hamba lelah ya Allah,
namun lautan rahmat dan cintaMu membuat hamba selalu merasa
segar dan tegar. Jangan tinggalkan hamba dalam kesia-siaan ya
Allah. Jadikanlah semua langkah hamba senantiasa mendatangkan
ridha dan rahmatMu. Amin."
Edited by : Bo293 Bon-q97
19
PERTEMUAN DI KOTA SANTRI
Jam enam pagi, Azzam mau ke Pasar Kartasura untuk membeli
beberapa bahan penting untuk adonan baksonya. Sekarang bakso
cintanya diproduksi di rumah. Ia mempekerjakan dua karyawan. Jadi
tidak lagi di buat di kamar kos yang ada di Kleco. Azzam bahkan
tidak perlu lagi membuat 'kantor' di sana. Semua orang kini sudah
tahu Azzam memiliki bisnis yang baik. Tak ada lagi suara suara
sumbang tentang dirinya. Apalagi ketika banyak orang tahu dia kini
menggantikan Kiai Lutfi mengajikan kitab Al Hikam. Sama sekali
tidak ada yang meremehkan. Azzam sudah masuk ke mobilnya
ketika pemuda itu datang. Azzam seperti pemah kenal wajahnya. Ia
mencoba mengingat-ingat. Akhirnya ketemu juga. Ya, namanya
Muhammad Ilyas. Azzam turun dari mobil dan menyambut tamunya.
"Ahlan wa sahlan ya akhi, kaif hall"25 Sambut Azzam dengan
bahasa Arab Fusha
25 Selamat datang saudaraku, bagaimana kabarmu?
Edited by : Bo294 Bon-q97
"Alhamdulillah hi khair akhi, wa anta kaif?"26 Jawab Hyas dengan
bahasa Arab juga.
"Alhamdulillah kama tara, Ana bi khair."27
Lalu keduanya berbicara dengan bahasa Indonesia.
"Mari Ustadz Ilyas, silakan masuk."
"Kelihatannya mau pergi. Kedatangan saya mengganggu ya?"
"Ah tidak. Kedatangan seorang ustadz seperti antum28 ini selalu
membawa kebaikan insya Allah."
Ketika mereka masuk, Husna hendak mengeluarkan sepeda
motornya. Husna tetap mengeluarkan sepeda motornya. Azzam dan
Ilyas duduk di ruang tamu. Azzam meminta Husna membuatkan
minuman untuk mereka berdua.
"Pagi sekali antum datang. Berangkat dari Pedan jam berapa?"
"Selepas shalat subuh langsung kemari." "Kok tahu alamat rumah
ini."
"Dari para santriwati yang dulu pernah ke sini saat mengundang
Husna untuk bedah buku." "Iya, iya."
"Wah bisnis baksonya sukses ya." "Alhamdulillah. Doanya."
26 Alhamdulillah baik saudaraku, dan kamu bagaimana?
27Alhamdulillah seperti yang kamu lihat, saya baik.
28 Kamu
Edited by : Bo295 Bon-q97
"Semoga barakah seperti Imam Abu Hanifah. Bisnisman juga
ulama." Kata Ilyas. "Amin."
Husna dan Lia di dapur bersama ibunya. Percakapan Azzam dan
Ilyas terdengar jelas oleh mereka.
"Ini ngomong-ngomong belum berangkat lagi ke India?"
"Alhamdulillah, saya kan tinggal nulis tesis saja. Kebetulan tema
yang saya tulis ke Indonesia an. Jadi bahannya malah ada di
Indonesia. Ya sekalian saja saya nulis tesis di Indonesia.
Pembimbing setuju. Dan saya bisa mengirim file tiap babnya via
email."
"Wah enak itu, akhi."
"Insya Allah berangkat ke India nanti saja jika tesis sudah selesai."
"O begitu. Terus ini kok njanur gunung29 ada apa ya?
Ilyas menata duduknya. Ia tampak agak kikuk. Saat itu Husna keluar
membawa minuman. Adik Azzam itu meletakkan dua gelas teh
panas di meja tamu, tepat di depan Ilyas. Saat Husna meletakkan
gelas di hadapan Ilyas, hati Ilyas bergetar hebat.
"Silakan diminum akhi." Ucap Azzam.
"Iya," Tukas Ilyas, "Mm... begini Akh Azzam, kedatangan saya pagi
ini pertama silaturrahmi. Yang kedua saya ingin menyampaikan
sesuatu kepada Akh Azzam. Sebelumnya saya mohon maaf kalau
nanti saya
29 Semacam idiom bahasa Jawa, artinya tidak seperti biasa
Edited by : Bo296 Bon-q97
dianggap lancang atau kurang sopan santun. Tapi insya Allah yang
saya sampaikan tidak ada celanya menurut syariat Islam."
Ilyas berhenti sesaat.
Azzam mendengarkan. Di belakang Husna dan Lia yang sedang
menggoreng bakwan juga dengar meskipun pelan. Ilyas mengambil
nafas. Ia mengatur detak jantungnya yang mulai kencang.
"Mm, apa itu Akh Ilyas?" Tanya Azzam, karena Ilyas agak lama
berhenti bicara.
"Setahu saya, Antum adalah wali dari adik-adik antum, karena ayah
dan kakek antum sudah tidak ada."
"Benar." Jawab Azzam yang sudah mulai tahu ke arah mana Ilyas
akan bicara. Sebab sudah menggunakan kata wali, yang berarti
adalah wali nikah.
"Saya datang, dengan niat semata-mata karena ibadah kepada Allah,
saya datang untuk mengkhitbah adik akhi yang bernama Ayatul
Husna! Mohon maaf jika ini dianggap kurang sopan santun. Insya
Allah jika positif nanti kedua orang saya akan saya ajak kemari."
Azzam memejamkan mata. Ia tidak tahu perasaan apa yang ada
dalam hatinya. Yang jelas hati kecilnya ia sangat bahagia. Sebab
yang melamar adiknya adalah seorang yang oleh banyak orang diakui
keshalehannya, juga orang yang pendidikannya baik, S1 di Madinah
dan S2 nya di Aligarh Muslim University, India. Tapi bagaimana
perasaan Husna. Ia tidak mau memaksakan apa pun kepada adiknya.
Adiknya itu sudah dewasa, sudah bisa berpikir cerdas.
Sementara Husna yang sedang menggoreng Bakwan di belakang
bagai disengat kalajengking karena kaget mendengar dirinya dilamar
Edited by : Bo297 Bon-q97
Muhammad Ilyas. Lia juga kaget. Dua orang kakak beradik itu saling
berpandangan.
Bu Nafis sedang memetik daun salam di belakang rumah. "Wow,
selamat ya Mbak, dilamar seorang Ustadz. Mantap!" Lia tersenyum
pada kakaknya, menggoda sambil mengacungkan jempolnya.
"Sst! Jangan menggoda ya. Kujitak nanti kepalamu!" "Ayo kak
Azzam langsung terima saja kak Azzam! Kak Husna sedang
melayang-layang bahagia!" Kata Lia setengah berbisik menggoda
Husna. Husna menjitak kepala adiknya dengan gemas dan sayang.
"Sst! Jangan ribut tho! Dengarkan apa yang akan dikatakan Kak
Azzam." Kata Husna pelan pada Lia. Lia diam.
"Akh, ini sungguh suatu kehormatan bagi saya pribadi. Dan bagi
keluarga kami. Benar saya walinya tapi saya tentu tidak bisa
memutuskan kecuali setelah mendengar pendapat Husna. Begini saja
akhi, tiga hari lagi datanglah kemari. Insya Allah sudah ada jawaban.
Jawabannya iya atau tidak itu tergantung Husna. Dan semoga apapun
jawabannya nanti baik bagi kita semua. Ayo silakan diminum!"
Di belakang Husna mengatakan pada Lia, "Lha seperti itu jawaban
kakak yang bijak."
"Awas Mbak bakwanmu gosong!" Kata Lia menahan jeritan.
"Wah iya, inna lillahi"
"Makanya Mbak jangan mikirin ustadz itu."
"Ih kamu ini menggoda kakaknya terus."
"Lha mau menggoda siapa kalau tidak menggoda kakaknya. Lha
adanya cuma kakaknya."
Edited by : Bo298 Bon-q97
"Alhamdulillah, bakwannya sudah selesai digoreng. Ini yang gosong
dipisahkan saja! Oh ya Dik, tolong bakwannya dikeluarkan!"
"Tidak ah! Mbak saja ah, kan Mbak yang dilamar. Sekalian melihat
bagaimana muka orang yang melamar Mbak!"
"Mbak malu Dik! Ayolah!"
"Tak mau, sorry ya Mbak!
"Dik!"
"Sorry!"
"Dik, awas kau!"
"Sorry silakan dikeluarkan, Lia mau ke belakang lihat Bue ke mana
tho kok tidak datang-datang." Kata Lia sambil ngacir ke belakang.
"Awas!"
Terpaksa Husna yang harus mengeluarkan. Ia keluar membawa
bakwan dengan jantung berdegup kencang. Tapi ia dengan cepat bisa
menguasai dirinya. Husna berjalan tenang memasuki ruang tamu. Ia
memegang nampan yang berisi sepiring bakwan yang masih panas.
Dari jarak lima meter, ia mencoba melihat orang yang melamarnya.
Ia memandang wajah Ilyas, saat itu Ilyas sedang menundukkan
pandangannya. Husna meletakkan bakwan di hadapan Azzam.
"Dik Husna, ini Ustadz Muhammad Ilyas. Dia ini ternyata pembaca
cerpen-cerpenmu Dik." Kata Azzam memperkenalkan tamunya. Mau
tidak mau Husna harus berdiri sesaat.
Edited by : Bo299 Bon-q97
"Iya benar. Saya kagum sama tulisan-tulisan Mbak Husna." Sahut
Ilyas memandang ke wajah Husna. Saat itu Husna memandang ke
arah Ilyas.
"Oh ya. Terima kasih atas apresiasinya. Silakan dicicipi bakwannya."
Ujar Husna lalu melangkah ke dalam. Sampai di dapur, Si Lia
kembali usil. "Wah ustadz itu keren juga Mbak ya berani vulgar
begitu?"
"Vulgar bagaimana?"
"Lha tadi aku dengar dia mengatakan pada kakak, 'Saya kagum sama
Mbak Husna!'"
"Telingamu itu perlu dicukil upilnya. Dia bilang, 'Saya kagum sama
karya-karya Mbak Husna!' Ada kata-kata, 'karya-karya'. Ngawur
kamu!" "Masak begitu Mbak?" "Iya!"
"Lia tidak percaya, kita tanya langsung sama orang itu. Benar tidak
kata Lia. Orang itu kagum sama Mbak Husna, baru kagum sama
karya-karya Mbak Husna! Kalau tidak Percaya ayo kita keluar tanya
langsung ke dia!" "Tanya dengkulmu itu!" Kata Husna sewot.
Lia lalu cekikian dengan ditahan-tahan. Ia bahagia bisa mengerjai
kakaknya.
"Bue mana?"
"Nggak tahu tidak ada di belakang. Mungkin ke warung Bu War."
Di ruang tamu Ilyas minta diri pada Azzam. Sekali lagi Azzam
menjanjikan jawabannya tiga hari lagi.
* * *
Edited by : Bo300 Bon-q97
Begitu suara sepeda motor Ilyas menghilang, Azzam langsung
menemui Husna di dapur. Bu Nafis tepat baru masuk dari pintu
belakang.
"Kayaknya ada tamu ya? Siapa tadi?" Tanya Bu Nafis. "Bue sih, tadi
itu tamu penting. Bue malah pergi, Lia cari-cari di belakang tidak
ada. Katanya mau metik daun salam saja, malah ke mana-mana."
Seloroh Lia pada ibunya. "Bue minta maaf, tadi Bue ke tempat Bu
War. Di sana malah ketemu Bu Mahbub. Katanya Bu Mahbub punya
keponakan di Kudus. Keponakannya itu baru saja tamat dari Fakultas
Kedokteran UNDIP. Sekarang tugas di Puskesmas Sayung Demak.
Katanya orangnya cantik. Bu Mahbub menawarkan kalau mau Bue
sama Azzam mau dikenalkan. Siapa tahu cocok untuk Azzam.
Begitu." Jelas Bu Nafis dengan mata berbinar-binar bahagia.
"Wah hari ini rumah ini kok seperti kejatuhan dua durian runtuh dari
langit. Kenapa tidak sekalian tiga saja. Hari ini Mbak Husna dilamar
seorang Ustadz lulusan luar negeri. Terus Kak Azzam dapat tawaran
dokter. Lha Mbok saya sekalian saja dilamar siapa gitu." Sahut Lia.
"Benar Zam? Kata Lia, Husna dilamar seorang Ustadz? Tadi itu
Ustadz tho?" Tanya Bu Nafis.
"Iya benar Bu."
"Terus jawabannya apa? Langsung diterima?"
"Ya tidak lah Bu. Kita kan punya seorang Ibu. Husna juga bukan
benda mati tapi dia manusia. Kan juga harus tahu pendapatnya
Husna bagaimana. Ya pada intinya terserah Husna dan ibu. Azzam
tinggal nanti menyampaikan saja. Tiga hari lagi dia akan datang,"
"Bagaimana Nduk Husna. Kau sudah kenal dan tahu orangnya?"
"Sudah."
Edited by : Bo301 Bon-q97
"Sudah ada jawaban untuk memutuskan?"
"Belum. Biarlah Husna istikharah dulu. Nanti Husna jawab setelah
istikharah."
"Ya memang harus begitu. Kata ayahmu dulu, pokoknya sebelum
memutuskan apa saja istikharahlah dulu."
"Kalau Kak Azzam bagaimana?" Cecar Lia, "Tertarik tidak untuk
melihat keponakan Bu Mahbub yang dokter itu?"
"Boleh juga. Selama shalihah, insya Allah, kakak tertarik."
"Kalau begitu, kapan kita ke Sayung atau ke Kudus?" Tanya Lia.
"Nanti Bue rembug sama Bu Mahbub enaknya kapan. Nanti sekalian
menjenguk Si Sarah. Kasihan dia sudah hampir setengah tahun anak
itu tidak dijenguk."
"Husna sudah ngebel ke Kudus, Sarah sehat-sehat kok Bu. Ya Bue
memang hampir setengah tahun tidak menengok. Tapi Husna sama
Lia kan tiap bulan gantian nengok ke sana." Kata Husna
menenangkan ibunya yang selalu sedih setiap kali teringat Si Kecil
Sarah.
"Semakin cepat semakin baik. Kak Azzam juga belum berternu
Sarah sejak pulang. Kalau misalnya nanti sama- sama iyanya dan
sama lancarnya menikah bareng juga ndak apa-apa. Malah efisien di
biaya, waktu dan tenaga."
"Memberitahu keponakan yang di Kudus itu juga disampaikan apa
adanya, Azzam itu pekerjaannya ya jualan bakso." Bu Nafis
merendah.
Edited by : Bo302 Bon-q97
"Bu Nafis, justru saya lebih bangga pada anak muda yang mau
berwirausaha seperti Azzam. Tidak menggantungkan hidup pada
negara. Sekarang Azzam lumayan sukses bisa beli mobil sendiri."
Tukas Pak Mahbub.
"Walah cuma mobil bekas Pak." Sahut Bu Nafis.
"Itu menurutku lebih baik daripada dapat Fortuner baru tapi dari
uang orang tua. Siapa saja kalau cuma menerima pemberian bisa.
Tapi kalau usaha sendiri tidak semua bisa. Dan ini Bu, jika seluruh
generasi muda bangsa ini punya mental dan pola pikir seperti
Azzam, insya Allah bangsa ini akan maju. Tak ada pengangguran.
Kenapa? Karena setiap orang akan menciptakan lapangan kerja bagi
dirinya dan bahkan bagi orang lain. Kalau boleh tanya sekarang
berapa karyawan Azzam Bu?"
"Tujuh orang. Karyawan bakso cinta lima dan karyawan foto copy
dua."
"Lihat dengan wirausaha Azzam sudah membuka lapangan kerja
buat tujuh orang. Kalau ia jadi pegawai negeri, itu tak akan terjadi."
"Alhamdulillah Pak, berkah doa Pak Mahbub usaha Azzam semakin
baik dari hari ke hari."
"Alhamdulillah, tapi tolong sampaikan pada Azzam agar bersiapsiap
menghadapi cuaca buruk. Cuaca tidak selamanya baik dan
tenang. Ada kalanya langit yang cerah tiba-tiba berawan lalu
mendung, bahkan bisa juga berbadai. Demikian juga dalam bisnis."
"Baik Pak terima kasih atas waktunya. Kami pamit ya."
"Iya Bu. Hari Ahad ya, Insya Allah?" Kata Bu Mahbub
Edited by : Bo303 Bon-q97
"Iya insya Allah. Oh ya kita berangkat dari sini jam berapa?"
"Pagi-pagi sekali saja jam setengah tujuh, biar lebih enak jalannya."
"Sepakat." Kata Bu Nafis
***
Ahad pagi Azzam dan keluarganya disertai Pak Mahbub dan
isterinya berangkat ke Kudus. Mereka berangkat dari Kartasura
pukul tujuh pagi. Molor setengah jam dari yang direncanakan. Yang
mengendarai mobil Azzam. Pak Mahbub duduk di samping Azzam.
Bu Nafis dan Bu Mahbub duduk di bangku tengah. Dan di bangku
belakang adalah Husna dan Lia.
Malam sebelum berangkat Bu Nafis membuat kue donat cukup
banyak. Tujuannya selain untuk oleh-oleh buat Si Sarah, juga buat
keluarga Vivi. Selain kue donat Bu Nafis dan Lia juga membuat
Arem-arem dan Lontong Opor untuk bekal di jalan.
Langit Kartasura terang benderang saat mereka berangkat. Tak ada
awan maupun mendung. Medekati Boyolali mendung seolah
mengintai mereka. Dan sampai di Ampel hujan deras mengiringi
mereka. Sampai Salatiga hujan mulai reda tinggal gerimisnya saja.
Sampai di Bawen hanya mendung yang menemani. Semakin lama
panas menyengat.
Pukul sepuluh mereka sampai di Demak. Sisa sisa hujan tampak di
sepanjang jalan. Air sungai di kiri jalan berwarna cokelat pekat.
Airnya penuh hampir meluap ke jalan. Mobil melaju di belakang bus
Nusantara. Azzzm mengemudi dengan tenang. Jam terbangnya
membuatnya memiliki insting yang bagus di jalan. Begitu ia
menemukan ruang dan kesempatan, maka bus didepannya pun ia
salip dengan penuh kemenangan.
Edited by : Bo304 Bon-q97
Rombongan itu memasuki gerbang kota Kudus pukul sebelas kurang
lima belas menit. Azzam kurang begitu tahu jalannya. Pak Mahbub
menunjukkan ke kiri atau ke kanan.
"Setelah melewati Matahari di depan itu kiri Zam." Kata Pak
Mahbub memantau.
Azzam mengikuti petunjuk Pak Mahbub.
"Depan itu kanan! Itulah jalan Kiai Telingsing. Lurus saja terus
hingga akhirnya kita sampai di Masjid Menara Kudus yang terkenal."
Pandu Pak Mahbub.
Azzam melewati jalan Kiai Telingsing dan mengikuti panduan yang
diberikan oleh Pak Mahbub. Tak lama kemudian sampailah mereka
di depan Masjid Al Aqsha nama lain dari masjid Menara Kudus.
Azzam parkir tak jauh dari masjid. Aura Kudus sebagai kota santri
sangat terasa. Di jalan dan di gang banyak santri putra berpeci yang
hilir mudik, dan banyak santri putri berjalan dengan jilbabnya yang
bersih menawan.
"Rumah Vivi tak jauh dari Menara. Kita jalan saja dari sini. Sebab
rumahnya melewati gang yang berkelok-kelok. Rumahnya ada di
Langgardalem." Jelas Bu Mahbub.
Azzam membawa kardus berisi donat yang telah disiapkan ibunya. Ia
berjalan di samping Pak Mahbub. Mereka berjalan terus ke utara.
Melewati toko buku Mubarakatun Thayyibah. Lalu ada gang kecil
mereka masuk ke kanan. Gang itu berkelok-kelok. Di sebuah rumah
khas Kudus dengan ukirannya yang khas mereka berhenti. Pak
Mahbub melepas sepatunya dan naik. Rumah itu pintunya terbuka
namun lengang. Pak Mahbub mengucapkan salam. Tak lama
kemudian seorang gadis berjilbab merah marun keluar. Gadis itu
langsung tersenyum begitu tahu siapa yang datang.
Edited by : Bo305 Bon-q97
"Subhanallah, Pak Lik sama Bu Lik tho, ayo monggo monggo" Seru
gadis itu.
"Vi, bapak ibumu ada di rumah?" Tanya Pak Mahbub.
"Saya sendirian ini Pak Lik. Bapak sama ibu baru lima belas menit
yang lalu keluar. Katanya ada kumpulan pengajian jamaah haji di
Jamiatul Hujjaj Kudus, JHK itu lho Lik. Monggo Pak Lik, monggo
semuanya, masuk!"
Pak Mahbub dan Bu Mahbub mendahului masuk. Barulah Bu Nafis
dan Husna. Ketika naik Azzam menyerahkan kardusnya pada Lia.
"Vivi kenalkan ini keluarga Bu Nafis. Mereka tetangga Pak Lik di
Kartasura. Ini Bu Nafis, itu Husna, itu Lia, dan ini Mas Azzam.
Kebetulan mereka mau menjenguk Si Sarah, putri bungsu Bu Nafis
di Pesantren Krandon situ. Lha kok kebetulan. Ya akhirnya kami
bareng."
"O begitu. Mbak Husna ini masih kuliah?" Tanya Vivi
menghadapkan wajahnya ke Husna. Kata-katanya terdengar renyah.
Wajahnya menyiratkan orangnya periang.
"Alhamdulillah, sudah selesai Mbak."
"Sudah kerja?"
"Alhamdulillah."
"Di mana?"
"Di radio JPMI Solo."
"Sebentar saya kenal dengan seseorang di Solo, lewat karyakaryanya.
Apa Mbak kenal ya, namanya Ayatul Husna?" Tanya Vivi.
Edited by : Bo306 Bon-q97
Husna tersenyum. Bu Mahbub langsung menepuk paha Vivi seraya
berkata,
"Vivi ini gimana lha ini orangnya. Inilah Ayatul Husna!"
"Benarkah?"
"Ya benarlah!"
'Ini Ayatul Husna yang menulis 'Menari Bersama Ombak' itu?"
Tanya Vivi dengan mata mau membesar memandang Husna.
"Iya benar Mbak Vivi, saya Ayatul Husna." Lirih Husna.
"Laa ilaaha illallah, subhanallah. Mimpi apa saya sampai ketemu
orang yang saya kagumi?"
Lia berkomentar, "Benar kata orang-orang, dunia memang sempit!"
"Mbak Husna sebentar ya saya mau ambil buku minta tanda tangan!"
Vivi bangkit dan masuk ke sebuah kamar. Lalu keluar lagi membawa
sebuah buku. Judulnya 'Menari Bersama Ombak'.
"Ini Mbak minta tanda tangannya." Husna mengambil buku itu dan
menandatanganinya. "Mau tanda tangan ibu saya tidak?" Tanya
Husna. "Mau, satu keluarga semuanya deh ikut tanda tangan." Kata
Vivi.
"Tapi kalau yang itu mahal lho." Sahut Husna sambil menunjuk ke
arah Azzam.
"Kenapa memangnya?" Tanya Vivi. "Dia tanda tangannya berbau
Mesir. Karena dia lulusan Mesir. Jadi mahal." Jawab Husna. "O
begitu."
Edited by : Bo307 Bon-q97
"Nama lengkap Mbak Vivi siapa?" Tanya Husna. "Alviana Rahmana
Putri Zuhri. Biasa dipanggil Vivi. Ada juga dulu teman memanggil
Alvi. Zuhri nama ayah saya. Dan nama ibu saya Fadilah." "Mbak
Vivi masih kuliah?" "Sudah selesai." "Sudah kerja?"
"Sudah."
"Di mana?"
"Di Puskesmas Sayung Demak."
"Sudah menikah?"
"Belum."
"Kenapa?"
"Belum laku. Belum ada yang mau melamar." Jawab Vivi dengan
nada bercanda. "Kalau dilamar mau?" "Asal orangnya ganteng ya
saya mau." Jawab Vivi santai.
"Kalau Mas saya itu masuk kriteria tidak?"
"Wah jawabannya perlu istikharah tiga hari dulu." Tak ada rasa
canggung dari nada bicara Vivi.
"Tunggu sebentar ya saya membuat minum dulu ya." Ujar Vivi
seraya beranjak ke belakang.
"Tak usah repot-repot Nduk." Kata Pak Mahbub. "Alah cuma air kok
Pak Lik."
Edited by : Bo308 Bon-q97
Vivi masuk ke belakang diikuti oleh Bu Mahbub. Di belakang Bu
Mahbub berbicara berdua dengan Vivi. Menjelaskan maksud
kedatangannya. Vivi terperanjat kaget namun segera menguasai diri.
"Untuk sekilas Vivi cocok Bu Lik. Tergantung dianya mau apa tidak.
Kalau bapak sama ibu gampang. Sudah menyerahkan masalah ini
sepenuhnya padaku."
Bu Mahbub tersenyum mendengarnya. Vivi jadi agak salah tingkah
karena penjelasan Bu Liknya. Dalam hati Vivi berkata, "Bodoh
sekali kalau ada gadis menolak pemuda seperti dia. Tampak
berkarakter dan lulusan Mesir lagi. Terus kakak dari penulis muda
terkenal lagi. Kalau memang dia rezekiku ya tidak akan ke manamana."
Azzam memperhatikan gerak-gerik Vivi dengan baik. Orang seperti
Vivi yang renyah dan banyak humor serta mudah bergaul dengan
orang ia rasa akan awet muda.
Orang yang ramah dan akrab pasti akan mudah dicintai, mudah
bergaul dengan orang. Ia rasa dokter seperti itu, yang ramah dan
akrab pasti akan disenangi banyak orang.
Cukup lama mereka disana tapi bapak dan ibu Vivi belum juga
pulang.
Pak Mahbub memimpin rombongan minta diri. Ketika berdiri dari
jongkok karena memakai sepatu, Azzam mencuri pandang kepada
wajah Vivi. Pada saat yang sama Vivi sedang mengamati Azzam.
Mata dua orang itu bertemu. Azzam bergetar. Demikian juga Vivi.
Dari rumah Vivi mereka kembali ke Masjid Menara Kudus. Mereka
shalat Zuhur sambil melepas lelah. Azzam melihat belasan santri
yang menggelosot dan tiduran di serambi masjid sambil komat-kamit
menghafal Al Quran. Nuansa Qurannya benar-benar terasa.
Edited by : Bo309 Bon-q97
Setelah shalat dan cukup istirahat rombongan naik mobil dan
bergerak menuju Krandon. Tempat di mana Si Kecil Sarah menuntut
ilmu. Begitu sampai di pesantren, seorang pengurus berjilbab biru
muda menyambut dan memasukkan rombongan itu ke ruang khusus
tamu. Husna meminta pada pengurus yang bertugas itu supaya
dihadirkan adiknya yang bernama Sarah.
Tak lama kemudian seorang anak kecil berumur kira kira sembilan
tahun dituntun oleh sang pengurus. Begitu melihat anak kecil itu Bu
Nafis langsung menghambur memeluknya dengan mata berkacakaca,
"Sarah!" '
"Bue!"
"Kau baik-baik saja Nak?"
"Iya. Bue kok tidak pernah menengok Sarah?"
Bu Nafis menangis.
"Lha ini Bue nengok Sarah."
"Kalau Mbak Husna sama Mbak Lia nengok kenapa Bue tidak
ikut?"
"Kan Mbak sudah bilang ke Sarah. Bue harus sering istirahat, kalau
tidak sakit. Kartasura Kudus kan jauh Sarah." Husna yang sudah ada
di samping Sarah menjelaskan.
"Ayo Bue kenalkan dengan orang yang selalu kau kangenin." Kata
Bu Nafis pelan sambil menuntun Sarah ke arah Azzam.
Edited by : Bo310 Bon-q97
"Itu siapa? Kenal tidak?" Tanya Bu Nafis sambil menunjuk Azzam.
Azzam bangkit sambil tersenyum pada Sarah. Ia memandang adik
bungsunya dengan pandangan sayang.
"Itu Kak Azzam kan Bu?"
"Iya. Kok kamu tahu?"
"Kan mirip yang difoto yang dikirim dari Mesir itu."
"Iya. Sana cium tangan Kak Azzam."
Sarah melangkah ke arah Azzam. Gadis kecil itu mencium tangan
kakaknya. Azzam tak bisa menahan diri untuk tidak memeluk dan
mengangkat gadis kecil itu lalu menciuminya dengan linangan air
mata. Dulu saat ia ke Mesir gadis kecil itu masih dalam kandungan
ibunya. Dan kini gadis itu sudah sekitar sembilan tahun umurnya. Ia
teringat anak-anak kecil di Mesir yang sehari-hari menghafal Al
Quran.
"Sarah sudah hafal berapa juz?"
"Alhamdulillah lima juz Kak."
"Juz mana saja itu?"
"Juz 26, 27, 28, 29, dan 30."
"Sarah suka di pesantren?"
"Iya suka. Di sini teman Sarah banyak. Ada Inung, Dita, Nia, Putri,
Wiwik, Anis, Bila, Lola, Ipah, Siwi, Imah dan banyak lagi. Mereka
semua baik-baik. Tapi ada juga satu orang yang nakal dan suka
mengganggu Sarah dan teman-teman. Namanya Iken. Wah dia
nuakal sekali.
Edited by : Bo311 Bon-q97
Sarah malah cerita tentang teman-temannya pada Azzam. Azzam
sendiri sebenarnya tidak tega melihat anak sekecil itu harus
dikarantina di pesantren Al Quran untuk anak-anak. Tapi demi
menunaikan wasiat dan amanat dari almarhum ayahnya hal itu
terpaksa tetap dilakukan.
"Makanan apa yang ingin Sarah makan saat ini?" Tanya Azzam pada
adik bungsunya itu.
"Bakso buatan Kak Azzam. Kan kata Mbak Husna dan Mbak Lia,
Kak Azzam pinter buat bakso." Jawab Sarah polos yang membuat
semua yang ada di ruang tamu pesantren itu tersenyum dibuatnya.
"Wah sayang Kak Azzam tidak bawa. Tapi di rumah setiap hari Kak
Azzam buat bakso."
"Benarkah?"
"Iya benar."
"Berarti nanti kalau liburan Sarah bisa makan bakso setiap hari?"
"Iya."
"Wah asyik. Sarah boleh tidak kalau misalnya ajak teman-teman
Sarah yang baik-baik seperti Inung, Dita dan Nia ke rumah untuk
makan bakso buatan Kak Azzam?"
"Boleh. Semua teman Sarah boleh datang dan makan bakso
sekenyang-kenyangnya."
"Wah asyik."
"Eh Kak tahu nggak?"
Edited by : Bo312 Bon-q97
"Apa?"
"Itu Mbak Izzah yang pakai jilbab biru itu. Yang tadi ngantar Sarah
kemari orangnya baik sekali. Pokoknya baik sekali. Malam-malam
kalau Sarah masuk angin, Mbak Izzah itu yang selalu mijetin Sarah
dan membuatkan Sarah teh panas yang enak sekali. Sarah berharap
dia juga jadi kakak Sarah. Boleh nggak Kak Mbak Izzah itu misalnya
tinggal di rumah kita?"
Kata-kata Sarah membuat Azzam dan yang hadir di situ haru namun
juga kaget. Kaget dengan permintaannya, "Lho kan Mbak itu sudah
punya rumah sendiri, masak tinggal sama kita?"
Kata Mbak Jannah, itu Mbak yang lain lagi, Mbak Izzah tidak punya
rumah. Rumahnya ya pesantren ini, dulu rumahnya di panti asuhan.
Katanya tidak punya saudara kan kasihan. Kalau tinggal dirumah
kitakan jadi punya Bue, punya Mbak
Husna, Mbak Lia, Sarah dan Kak Azzam." ]elas Sarah dengan suara
khas kekanak-kanakan.
"Sudah Sarah jangan mikir itu dulu. Mbak Izzah kan sudah besar.
Sudah bisa mikir dirinya sendiri. Kalau dia tinggal di rumah kita ya
boleh boleh saja.Yang penting Sarah harus rajin sekolah dan
menghafalkan Al Quran ya?"
"Iya Kak. Nanti Sarah akan cerita pada Mbak Izzah, kalau kakak
Sarah yang di Mesir sudah pulang. Terus kakak Sarah itu
membolehkan Mbak Izzah tinggal di rumah. Mbak Izzah itu kata Bu
Nyai yang paling bagus hafalannya di sini. Suaranya paling indah.
Sarah suka banget sama dia." Puji Sarah yang membuat Husna dan
Lia iri. Adiknya itu lebih dekat dengan pengurus pesantren yang
bernama Izzah daripada mereka.
Edited by : Bo313 Bon-q97
20
BUNGA-BUNGA CINTA
Bau cinta begitu dekat. Aromanya terhisap masuk sampai ke sumsum
jiwa. Efeknya luar biasa. Menyegarkan badan. Menajamkan pikiran.
Itulah yang dirasakan oleh Azzam menjelang pertunangannya dengan
dr. Alviana Rahmana Putri yang biasa dipanggil Vivi itu. Prosesnya
tak terbayangkan akan secepat itu. Dua hari setelah bertemu dengan
Vivi, Pak Mahbub datang menanyakan apakah dia serius untuk
menikahi Vivi. Azzam menjawab serius. Pak Mahbub memberitahu
Vivi dan keluarganya menerimanya dengan hati bahagia.
Pak Mahbub kembali mengajaknya ke Kudus untuk meminang Vivi
secara resmi. Tepat satu minggu setelah pertemuan pertama, Azzam
dan keluarganya kembali ke sana. Bu Nafis membuat banyak
makanan untuk diberikan kepada keluarga Vivi. Sebagai tanda
keseriusan Azzam membelikan sebuah cincin untuk Vivi. Cincin itu
ia berikan kepada ibunya untuk dipakaikan di jari manis Vivi.
la dan rombongannya sampai di rumah Vivi hampir sama waktunya
dengan saat pertama dulu datang. Hanya lebih awal setengah jam. Di
Edited by : Bo314 Bon-q97
rumah itu ternyata sudah menunggu banyak orang. Mereka adalah
keluarga terdekat Vivi dan tetangga kiri kanan. Pak Zuhri, ayah Vivi
menyambut Azzam dan rombongannya dengan wajah berseri-seri.
Hari itu Bu Nafis tampak lebih cerah dari hari hari sebelumnya. Bu
Nafis begitu tulus bersalaman dan berpelukan dengan Bu Fadilah,
ibu Vivi.
Azzam memakai kemeja yang dibelikan ibunya di pasar Klewer. Ia
tampak gagah dan bersahaja dengan peci hitam di kepalanya. Vivi
memakai gamis cokelat susu dan jilbab putih bersih. Dokter muda itu
tampak anggun.
Acara lamaran itu jadi setengah resmi. Keluarga Vivi telah
menyusun rangkaian acara. Yaitu pembukaan kalimat dari keluarga
Azzam, kalimat dari keluarga Vivi, musyawarah atau lain-lain. Doa
dan terakhir ramah-tamah.
Acara dibuka dengan pembacaan surat Fatihah seperti biasa. Kalimat
dari keluarga Azzam diwakili oleh Pak Mahbub yang tak lain
sebenarnya adalah paman dari Vivi sendiri. Pak Mahbub adalah adik
dari ibu Vivi. Pak Mahbub menyampaikan bahwa kedatangannya
dari Kartasura untuk melamar Vivi buat Khairul Azzam. Pak
Mahbub menyampaikan kalimatnya lugas dan sederhana saja.
Singkat. Langsung ke intinya. Tidak muter-muter ke mana-mana
dulu penuh basa-basi dan tambahan cerita di sana-sini.
Dari keluarga Vivi yang menjawab langsung Pak Zuhri.
Pak Zuhri menyampaikan rasa bahagianya atas kedatangan
rombongan dari Kartasura. "Mohon maaf jika tempat dan ruangan
yang disediakan kurang berkenan." Adapun tentang lamaran Azzam,
Pak Zuhri mengatakan,
"Saya pribadi sebagai orang tua dan wali anak saya Alviana
Rahmana Putri sama sekali tidak keberatan, saya malah bahagia dan
Edited by : Bo315 Bon-q97
gembira. Apalagi Vivi memang sudah saatnya membina keluarga.
Hanya saja saya tidak bisa memaksakan kehendak pada anak saya.
Jawabannya langsung saja saya serahkan kepada anak saya tentang
menerima atau tidak lamaran Azzam ini."
Ibu Fadilah lalu mendesak Vivi untuk bicara. Suasana hening sesaat
karena Vivi tidak langsung bicara. Sebenarnya Vivi sedang
menikmati kebahagiaan yang membuncah dalam dadanya. Ia
sungguh merasa mendapat anugerah agung dari Allah mau disunting
dan diperistri oleh pemuda yang ia yakin shaleh bernama Khairul
Azzam. Pemuda yang ada dalam idamannya. Ia mengidamkan punya
suami seorang santri yang baik dan paham ilmu agama. Dan Azzam
adalah lulusan pesantren tertua di dunia yaitu Al Azhar University
Cairo.
Vivi menata degup jantungnya. Tanpa ia sadari air matanya meleleh.
Lalu dengan suara agak terbata-bata, ia berkata singkat,
"Dengan membaca bismillahirrahtnaanirrahim dan dengan
mengharap ridha Allah lamaran itu saya terima."
Semua yang hadir mengucapkan alhamdulillah. Azzam menikmati
suasana yang sangat indah. Ia langsung mencium aroma cinta.
Harumnya menyusup merasuk ke dalam jiwanya. Begitu Vivi
menyampaikan penerimaannya, Bu Fadilah menciumnya. Bu Nafis
yang ada di samping Bu Fadilah mendekati Vivi. Bu Nafis duduk
tepat di hadapan Vivi. Spontan Vivi mencium tangan calon
mertuanya. Lalu dengan disaksikan Bu Fadilah dan yang hadir Bu
Nafis memasukkan cincin emas ke jari manis Vivi.
"Semoga barakah ya Nak." Lirih Bu Nafis.
"Amin. Mohon doanya Bu." Jawab Vivi sedikit serak.
Edited by : Bo316 Bon-q97
Setelah itu masuk pada acara musyawarah dan acara lain-lain. Pihak
keluarga Azzam menyerahkan semuanya kepada keluarga Vivi untuk
menentukan tanggal pernikahan dan lain sebagainya. Akhirnya kedua
belah pihak sepakat bahwa akad nikah dilangsungnya satu bulan
berikutnya. Akad nikahnya di Masjid Al Aqsha atau Masjid Menara
Kudus. Akad akan dilangsungkan pada hari Kamis jam sembilan
pagi. Lalu resepsi pernikahan dilangsungkan di rumah Vivi pada hari
itu juga, sehari penuh, setelah acara akad nikah.
Sedangkan acara di Kartasura hanya semacam syukuran saja.
Mengundang tetangga satu RW, untuk mengiklankan bahwa Azzam
sudah menikah dan untuk minta doa restu. Dalam musyawarah itu
Azzam juga berterus terang bahwa ke depan Vivi akan ia boyong ke
Kartasura. Mungkin untuk sementara setelah menikah. Satu minggu
dua kali ia akan pergi ke Sayung Demak. Ke rumah dinas yang
sekarang di tempati Vivi. Keluarga Vivi setuju. Seorang bapak
berumur sekitar empat puluh tahun yang menjadi tetangga Vivi
berkata,
"Ah, jarak Kartasura-Demak kalau ditempuh dengan mobil, apalagi
disemangati dengan kerinduan dan cinta akan terasa dekat dan
ringan!"
Spontan yang hadir tertawa bahagia. Azzam dan Vivi hanya
tersenyum. Tanpa mereka sadari ada semacam magnet yang
membuat mereka berpandangan. Ces! Setetes embun bagai menetes
ke dalam hati Azzam begitu kedua matanya bertemu dengan kedua
mata Vivi. Sedangkan Vivi merasakan tubuhnya bagai mau
melayang karena bahagia. Keduanya lalu menunduk kembali.
Azzam merasakan halusnya kasih sayang Tuhan. Ikhtiarnya untuk
menemukan jodoh ternyata dikabulkan oleh Allah Swt. Sebelum
pulang Pak Zuhri rnenyerahkan kertas kecil kepada Azzam seraya
berkata,"Hanya sekedar untuk tahu saja, siapa tahu kelak ada
Edited by : Bo317 Bon-q97
gunanya untuk anak turunanmu. Ini silsilah moyangnya Vivi. Jadi
silsilahnya ini!"
Azzam membaca isi kertas itu: Alviana Rahmana Putri binti Zuhri
bin Zuhaidi bin Sukemi bin Karto bin Singodigdo bin Raden
Sastrobuwono. Azzam melipat dan memasukkan kertas itu ke dalam
saku bajunya. Kelak jika Vivi sudah jadi isterinya ia akan minta agar
sejarah pemilik nama-nama itu diceritakan kepadanya. Agar kelak
bisa ia gunakan jika punya anak dan dalam sejarah itu ada yang bisa
menyemangati anaknya.
Azzam merasa yakin bahwa Vivi adalah anugerah agung dari Tuhan
untuknya. Bagi orang yang beriman, setelah keimanannya adakah ada
anugerah yang lebih baik dan lebih indah melebihi isteri yang
shalihah?
Azzam teringat sabda Rasulullah Saw.,
"Seorang mukmin tidaklah mengambil faidah yang lebih baik
setelah takwa kepada Allah dari isteri yang shalihah; yang jika dia
menyuruh isterinya maka isteri itu mentaatinya, jika melihatnya
isteri itu menyenangkannya, jika bersumpah atas nama isterinya
maka isterinya itu memenuhinya, dan jika suami tidak di rumah
maka isteri itu menjaga harta dan kehormatan suaminya."30
Azzam berharap setelah takwa kepada Allah, Alviana Rahmana Putri
adalah anugerah Allah terbaik dari Allah yang akan senantiasa
memberinya faidah dalam menyempurnakan ibadah kepada Allah.
Husna juga merasakan kebahagiaan yang sama. Bunga-bunga cinta
bersemi di dalam hatinya. Seakan hatinya adalah taman bunga di
musim semi. Setelah shalat istikharah dan bermusyawarah dengan
ibu, Azzam dan Lia ia mantap menerima lamaran Muhammad Ilyas.
30 Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, hadits no. 1847
Edited by : Bo318 Bon-q97
"Dia dulu santrinya Kiai Lutfi, terus kuliah di Madinah, sekarang S2
di Aligarh India. Insya Allah dia shaleh. Menurut kakak tidak ada
alasan untuk menolak" Tegas Azzam. Awalnya Husna masih agak
bimbang.
Melewati tiga hari yang dijanjikan ia belum memutuskan. Setelah
pulang dari acara pertunangan kakaknya di Kudus baru ia putuskan.
Itupun setelah ia mendengar kalimat tegas dari kakak yang sangat
dihormatinya.
Akhirnya dengan hati mantap ia putuskan menerima lamaran Ilyas.
Keluarga Ilyas datang ke rumahnya mirip dengan ketika keluarganya
datang ke Kudus. Mereka membawa makanan. Membawa beberapa
orang. Acaranya juga hampir sama. Hanya saja Ilyas tidak
membelikan cincin untuknya tapi tiga potong jilbab yang cantik
warnanya.
Ketika bermusyawarah tentang penentuan hari pernikahan terjadi
dialog yang sedikit alot. Keluarga Ilyas ingin satu minggu
secepatnya. Sekilat-kilatnya. Ibunya tidak mau. Satu minggu menurut
ibunya itu terlalu cepat dan gila. Ibunya ingin pernikahannya
dilaksanakan paling tidak tiga bulan setelah pernikahan Azzam. ]adi
empat bulan dari hari pertunangan kira-kira.
Ilyas merasa keberatan. Itu terlalu lama.
"Saya khawatir bisa menimbulkan fitnah di hati saya." Kata Ilyas.
"Masak cuma menunggu empat bulan saja kok berat. Dulu ibu saja
harus menunggu satu tahun." Balas Bu Nafis. Semua diam. Husna
menutup rapat-rapat kedua bibirnya. Ia tak angkat suara takut salah
bicara. Suasana agak kaku sesaat. Dan Azzam menggerakkan
bibirnya mencairkan suasana,
Edited by : Bo319 Bon-q97
"Ah gampang. Kita ambil jalan tengah saja. Bagaimana biar keluarga
kami tidak repot dan keluarga Ilyas juga tidak terlalu lama
menunggu, bagaimana jika pernikahannya dilaksanakan di hari yang
sama dengan syukuran pernikahan saya di Kartasura ini."
"Lha ini, usul yang bagus." Kata Pak Mukhlas ayah Ilyas sambil
tersenyum.
"Bagaimana Ilyas? Apa kira-kira menunggu satu bulan juga
keberatan?" Tanya Azzam pada Ilyas. Yang ditanya jadi kikuk dan
salah tingkah. Dan dengan suara tergagap Ilyas menjawab, "Sa... satu
bulan? Bolehlah."
"Bue bagaimana? Kan kalau bareng syukuran pernikahannya Azzam
malah tidak terlalu repot. Meminta tolongnya tetangga juga cuma
satu kali." Tanya Azzam pada ibunya.
"Ibu sepakat dengan usulmu Nak." Jawab Bu Nafis. Dan tercapailah
kesepakatan.
Sejak itu Azzam dan Husna sering keluar belanja bersama untuk
mempersiapkan hari pernikahan mereka. Azzam memanggil seorang
tukang untuk memperbaiki rumahnya. Lantai yang masih hitam dari
semen ia belikan keramik. Karena kamarnya pas-pasan. Ia membuat
kamar tambahan di dekat dapur. Dinding bagian belakang dapur
dijebol dan dibuat dua kamar. Dari tembok. Di dalam kamar ia beri
kamar mandi. Kamar itulah rencananya kamar untuk Husna dan
kamar untuk dirinya. Sementara bentuk rumah tidak ia ubah sama
sekali. Biar tetap seperti aslinya. Hanya saja ia minta dirapikan dan
dicat yang rapi.
Lia membantu menyebar undangan. Terutama adalah undangan
pernikahan Husna. Kalau undangan pernikahan Azzam tidaklah
banyak karena Azzam akan akad dan walimah di Kudus. Tak lupa
Edited by : Bo320 Bon-q97
Azzam meminta Lia mengantarkan undangan ke Pesantren Wangen.
Seluruh keluarga Kiai Lutfi diundang untuk datang.
Bunga-bunga cinta bermekaran di rumah sederhana itu. Rumah
Azzam dan Husna. Bunga-bunga cinta seolah tumbuh di halaman
rumah. Tumbuh di ruang tamu.
Tumbuh di dapur. Dan tumbuh di setiap kamar. Menunggu hari H
penuh cinta Azzam dan Husna sering shalat tahajjud bersama.
Mereka berdoa bersama memohon ridha dan barakah dari Allah
'Azza wa Jalla.
Edited by : Bo321 Bon-q97
21
CIUMAN TERAKHIR
Setelah menikah dengan Anna Althafunnisa, kesibukan Furqan
adalah ikut mengajar di pesantren, mengajar di sebuah kampus
swasta di Jogjakarta, dan mengurus bisnis ayahnya di Surakarta.
Oleh sang ayah, untuk modal hidup Furqan diberi kekuasaan penuh
mengelola toko kamera yang menjual berbagai macam jenis kamera
digital di Jalan Slamet Riyadi.
Sore itu jam setengah lima Furqan pulang dari toko. Mobil
Fortunernya memasuki halaman pesantren. Furqan turun. Seorang
santri yang melihatnya datang dan mencium tangannya. Dari ruang
tamu Anna melihat kedatangan suaminya. Begitu masuk Anna
langsung melepas jaketnya dan mengikuti sang suami naik ke lantai
atas. Masuk ke dalam kamarnya. Furqan langsung mandi. Anna
sudah rapi seperti biasa. Ia baru saja mengetik beberapa bagian dari
tesisnya.
Edited by : Bo322 Bon-q97
Selesai mandi Furqan memakai jas yang dulu dipakainya saat pesta
pernikahan. Anna memandang senang penuh harapan. Ia berharap
inilah saatnya yang sekian lama ia tunggu-tunggu akhirnya datang.
"Malam ini kita ke hotel ya Dik?"
"Ke hotel mana?"
"Pilih mana Lor Inn apa Novotel?"
"Mm... Novotel saja."
"Boleh."
"Untuk apa kita ke hotel Mas? Apa tidak di rumah saja?"
"Untuk sesuatu yang tidak biasa."
"Apa saatnya telah tiba? Hari yang kau janjikan telah datang."
"Mas harap begitu Dik. Cepatlah berkemas. Nanti kalau keburu
maghrib tidak enak."
"Baik Mas."
Anna langsung berkemas. Ia juga menyiapkan gaun pengantin yang
dulu ia pakai. Semua perlengkapan yang ia rasa harus ia bawa ia
masukkan ke dalam kopernya. Anna begitu semangat. Rasanya ia
ingin segera sampai di Novotel. Ia ingin membuktikan pada dunia
dan pada siapa saja, bahwa dirinya tidak kalah dengan Miatun. Ia
bisa hamil dan akan punya anak, insya Allah.
Sejurus kemudian mereka berdua menuruni tangga, turun dari kamar.
Di ruang tengah mereka berpamitan pada Kiai Lutfi dan Bu Nyai
Mur.
Edited by : Bo323 Bon-q97
"Kami ada perlu penting di Solo Bah. Kami mau menginap di sana."
Kata Anna pada Abahnya. Sang Abah hanya mengangguk, lalu
batuk. Bu Nyai Nur mengantar sampai beranda. Anna dan Furqan
masuk mobil.
Matahari memerah di ufuk barat. Tak lama lagi akan masuk ke
peraduannya. Burung-burung beterbangan kembali ke sarangnya.
Para petani yang sehari hari menggarap sawah tampak berjalan di
pematang untuk pulang. Furqan mengemudikan mobilnya dengan
tenang. Mobil itu melintas di depan pasar Kartasura dan terus ke
timur. Melewati kampus UMS, lalu pasar Kleco. Terus lurus ke
timur masuk jalan Slamet Riyadi. Hari sudah menjelang petang.
Lampu-lampu jalan sudah menyala. Azan maghrib tak lama lagi akan
bergema.
"Tahu tidak Mas, kenapa jalan ini dinamakan jalan Slamet Riyadi?"
"Tidak tahu Dik, Mas kan bukan asli orang Solo."
"Mau tahu?"
"Mau."
"Seingat saya ya Mas. Jalan ini dinamakan Slamet Riyadi untuk
mengenang serangan umum tahun 1949 yang dipimpin oleh Letnan
Kolonel Slamet Riyadi. Kalau tidak salah setelah Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya, Belanda kembali datang ke
Indonesia. Datang untuk kembali menjajah Indonesia. Dengan segala
cara Belanda ingin menguasai kembali Indonesia.
"Para pejuang kita tidak tinggal diam. Mereka berjihad membela
tanah air dan bangsa. Mereka korbankan harta, darah dan bahkan
nyawa. Terjadilah perang mempertahankan kemerdekaan di manamana
antara tahun 1945 sampai 1949. Pada tahun 1948 Belanda
Edited by : Bo324 Bon-q97
menguasai banyak wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bulan Desamber 1948 Belanda melancarkan agresi dan berusaha
menghancurkan tempat-tempat strategis milik pemerintah RI,
tujuannya untuk memberitahukan kepada dunia bahwa pemerintah RI
telah lumpuh, telah tiada.
"Ceritanya, Belanda minta agar para pemimpin dan pejuang
Republik ini menyerah. Tapi Jendral Soedirman menolak menyerah.
Jenderal hebat ini bergerilya di hutan hutan dan desa-desa yang
terletak di sekitar kota Yogyakarta dan Surakarta. Untuk membantah
opini yang disiarkan Belanda ke seluruh dunia, maka Jenderal
Soedirman merancangkan "Serangan Oemoem". Serangan Oemoem
ini merupakan sebuah serangan besar besaran yang bertujuan untuk
menduduki kota Yogyakarta dan Surakarta. Serangan di Yogyakarta
dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto, manakala serangan di
Surakarta dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi.
"Dan untuk memperingati Serangan Oemoem ini, maka jalan raya
utama di kota Surakarta dinamai Jalan Slamet Riyadi!" Jelas Anna
pada suaminya panjang lebar.
"Kau ternyata suka sejarah ya Dik."
"Katanya bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu menghayati
sejarahnya dan menghormati para pahlawannya."
"Kau benar Dik."
* * *
Mobil itu sudah mendekati Hotel Novotel. Ketika azan mengalun
merdu, Furqan dan Anna sudah keluar dari mobil. Mereka ke
resepsionis. Setelah Furqan tanda tangan seorang pelayan hotel
mengantarkan sampai kamar. Furqan memilih kamar yang mewah di
Edited by : Bo325 Bon-q97
lantai enam. Begitu masuk kamar dan meletakkan tas tangannya,
Anna langsung ke jendela. Berdiri atau duduk di samping jendela
adalah kesukaan Anna sejak kecil. Ia tak bisa membayangkan sebuah
rumah tanpa jendela. Dari jendela kamar hotel itu keindahan
sebagian kota Solo bisa dinikmati.
Furqan berdiri di samping Anna.
"Indah ya Mas." Kata Anna sambil melihat lampu lampu kota Solo
yang tampak memancar ke kuning kuningan.
"Iya."
"Kita shalat maghrib dulu yuk." Pinta Anna sambil perlahan
menutup gorden.
"Ayuk."
Furqan masuk kamar mandi mengambil air wudhu. Sedangkan Anna
melepas jilbab dan kaos kakinya. Furqan keluar, gantian Anna yang
masuk. Usai wudhu Anna mengambil mukena dari kopornya. Furqan
memandangi wajah isterinya dalam-dalam. Ia selalu kagum dengan
wajah yang sangat penyabar itu. Anna tahu suaminya
memperhatikannya. Ia pun memandang lekat-lekat wajah suaminya.
Anna tersenyum. Demikian juga Furqan.
"Ayo sholat nanti kehabisan waktu kita." Bibir Anna bergetar,
suaranya bening.
"Ayo."
Furqan menghadap kiblat lalu mengucapkan Takbiratul Ihram.
Setelah Fatihah ia membaca surat Al Kafirun dan Al Ikhlas. Anna
Edited by : Bo326 Bon-q97
makmum di belakangnya dengan wajah menunduk khusyu'. Selesai
shalat, zikir dan doa, Anna mencium tangan suaminya.
Furqan bangkit lalu duduk di tepi ranjang. Anna bangkit lalu berjalan
ke depan almari. Ia melepas gamisnya. Ia tidak canggung sedikit pun.
Furqan berdesir melihat apa yang dilakukan isterinya. Anna lalu
mengambil gaun pengantin yang ada di dalam kopor dan
mengenakannya. Tak lama kemudian Furqan bagai menyaksikan
bidadari turun dari langit. Ia teringat malam pertamanya. Malam
pertama yang menyiksa batinnya. Yang perihnya masih terasa sampai
saat itu.
Anna mengambil parfumnya. Suasana malam pertama itu langsung
tercipta. Bau wangi yasmin menyebar pelan. Bau nan suci merasuk
ke hidung Furqan. Merasuk ke seluruh aliran darahnya. Membuat
jantungnya berdegup kencang.
Furqan maju dan mencium kening isterinya. Tangan lentik Anna
menggeragap hendak melepas jas yang dikenakan Furqan. Wajah
Anna membara karena gairah.
"Apakah kau benar-benar siap, isteriku sayang?" Tanya Furqan.
"Aku sudah menunggunya dengan dada membara selama enam bulan
suamiku sayang. Apa kau tidak juga mengerti dan paham?"
"Kau siap dengan segala akibatnya?" "Kalau tidak siap kenapa aku
mau jadi isterimu." "Tapi ada satu hal yang kau tidak tahu. Aku tidak
ingin menyampaikan hal ini. Tapi harus aku sampaikan malam ini.
Setelah itu terserah apa keputusanmu." "Aku tidak tahu apa yang
Mas maksud." "Dik aku sungguh sangat mencintaimu?" "Sama aku
juga mencintai Mas." "Aku sungguh tak ingin kehilanganmu." "Aku
tahu itu."
Edited by : Bo327 Bon-q97
"Namun aku tak ingin menzalimimu. Aku tidak menyentuh mahkota
yang paling berharga milikmu karena aku tidak ingin menzalimimu
Dik. Bukan karena aku tidak mampu. Ada satu tembok sangat kuat
dan berduri yang menghalangiku dari menyentuh mahkota paling
berharga milikmu."
"Aku tak paham maksudmu Mas." "Sesungguhnya saat akad nikah
itu aku sudah tidak perjaka Dik."
"Apa?!" Anna kaget.
"Maafkan aku Dik, tapi sungguh bukan aku menyengaja."
"Aku tak percaya! Mas yang ketua PPMI! Mas yang jadi mahasiswa
kebanggaan orang-orang di KBRI! Mas yang sudah selesai S2 dan
kini mau S3! Mas yang mengajar ngaji para santri! Mas yang...
hiks... hiks..." Anna tak kuasa melanjutkan kata-katanya.
"Maafkan aku Dik, tapi tolonglah kau dengarkan dulu ceritaku,
jangan marah dulu, jangan menangis dulu. Aku akan bercerita
dengan sejujur-jujurnya. Baru setelah itu terserah kamu. Terserah
mau kau apakan aku." Ucap Furqan mengiba sambil menyeka air
mata Anna. "Tolong, Dik, dengarkan ceritaku dulu, arjulk31" "Baik
Mas, akan aku dengar. Tapi mendengar pengakuanmu itu hatiku
sudah sakit." Kata Anna mengungkapkan rasa dalam hatinya.
"Maafkan aku Dik, maafkan..." Kata Furqan, ia lalu menceritakan
apa yang menimpanya sebelum ia pulang ke Indonesia. Ia bercerita
dengan sejujur-jujurnya.
Ia bercerita tentang peristiwa mengerikan yang menimpanya di
Hotel Meridien. Ia yang tahu-tahu bangun tidur dengan keadaan yang
31 Arjulk. Aku minta padamu, aku bertiarap padamu.
Edited by : Bo328 Bon-q97
memalukan. Lalu pesan Miss Italiana yang mengintimidasinya.
Tentang foto-foto yang memalukan. Tentang tertangkapnya Miss
Italiana yang ternyata agen Mossad penyebar virus HIV.
Dan tentang dirinya yang divonis positif mengidap HIV. Serta janji
Kolonel Fuad untuk tidak menyebar berita tentangnya, juga janjinya
pada Kolonel Fuad untuk tidak menyebarkan virus HIV yang
diidapnya pada orang lain.
Anna mendengarkan cerita itu dengan hati perih. Ia merasa seperti
ada sebuah tombak berkarat yang menancap tepat di ulu hatinya.
Tangisnya meledak. Furqan diam di tempatnya. Ia tahu kenyataan itu
akan sangat menyakitkan Anna. Tapi jika tidak ia sampaikan ia akan
terus tersiksa. Ia merasa telah lepas dari satu beban psikologis.
Selanjutnya ia akan menyerahkan keputusan seluruhnya pada Anna.
Anna masih menangis tersedui-sedu. Furqan meremas remas
rambutnya, tak tahu ia harus berbuat apa saat itu. Tiba-tiba merasa
sangat kasihan pada isterinya yang sangat dicintainya itu.
Anna masih menangis. Gadis itu mengusap mukanya. Lalu
memandang wajah Furqan dengan nanar dan marah, "Kau sangat
jahat! Kau begitu tega mendustaiku dan mendustai seluruh
keluargaku! Bahkan kau mendustai seluruh orang yang hadir saat
akad pernikahan kita! Sebelum menikah pegawai KUA itu
membacakan statusmu perjaka! Ternyata kau dusta! Lebih jahat lagi,
ternyata kau mengidap penyakit yang dibenci semua orang, dan kau
tega menyembunyikannya dariku! Kau jahat!"
"Maafkan aku Dik, aku memang jahat!" "Sangat sulit bagiku
memaafkanmu Fur!" Anna tidak lagi memanggil dengan panggilan
Mas, tapi langsung memanggil nama Furqan! Itu sebagai tanda
dalam hati Anna sudah tidak ada lagi penghormatan pada Furqan.
Edited by : Bo329 Bon-q97
"Ya aku jahat. Tapi satu hal yang aku minta kau pertimbangkan, aku
sangat mencintaimu, aku sangat menghormatimu, aku tidak ingin
menyakitimu. Aku jahat mungkin, tapi nuraniku mencegahku untuk
menyentuh mahkota kewanitaanmu. Kenapa? Karena aku tahu kau
bisa tertular virus itu. Aku tidak mau terjadi itu padamu. Kalau aku
mau aku bisa lebih jahat lagi. Malam pertama itu aku lakukan
tugasku sebagai suami. Selesai. Kau dan aku kena HIV selesai.
Ketika kau menggugatku aku akan gantian menggugatmu. Kau tidak
mungkin tahu aku kena HIV- Tapi aku tidak lakukan itu!"
"Terus kenapa kau nikahi aku, hah?!" 'Karena aku mencintaimu."
Dan cintamu itu menyakiti aku! Cintamu itu kini jadi jahnannam
bagiku! Kalau seperti ini apa yang kau inginkan dariku? Sekedar jadi
boneka hias dalam kehidupanmu? Sekedar jadi aroma kamarmu yang
cuma kau hisap dan kau cium-cium baunya? Sekedar jadi simbol
kering. Keangkuhanmu sebagai kelas konglomerat yang merasa
berhak membeli apa saja? Apa yang kau inginkan dariku Furqan?"
"Aku sendiri tak tahu Dik."
"Kau tahu syariat Fur! Kau tahu kitab Allah, kau tahu tuntunan
Rasulullah! Seharusnya kau tidak menikahiku, iya kan!? Kau tahu
kalau menikahiku itu akan jadi mudharat bagiku. Akan menyakitiku,
iya kan? Dan pernikahan yang pasti menyakiti isteri atau suami itu
haram hukumnya, iya kan!?" Anna mencecar dengan amarah. Ia
berusaha menjaga untuk tidak mengeluarkan kata-kata kotor.
"Iya. Kau benar Dik!"
"Kenapa yang haram itu kau lakukan juga, hah?! Apa kau tidak takut
pada Allah!?"
Furqan diam.
Edited by : Bo330 Bon-q97
"Aku minta maaf, Dik. Aku terima semua keputusanmu."
"Baik. Ceraikan aku!" Ucap Anna penuh amarah. Jika ia punya palu
dan halal membunuh lelaki di hadapannya, rasanya ia ingin
menghantamkan palu itu ke kepala Furqan hingga hancur berkepingkeping.
Furqan diam. Hatinya bagai tertusuk pisau yang sangat tajam. Tapi ia
sudah menyiapkan saat-saat Anna akan mengucapkan kalimat itu. Ia
insyaf yang salah adalah dirinya, bukan Anna.
"Tak ada pilihan lain Dik?"
"Tidak!"
"Kalau begitu, kapan aku harus menceraikan dirimu?"
"Sekarang juga!"
"Sekarang?"
"Iya!"
"Akan aku ceraikan kamu Dik, meskipun dengan hati sakit, tapi
dengan dua syarat."
"Aku tak mau ada syarat!"
"Kalau begitu urusannya akan jadi panjang, aku akan benar-benar
berubah jadi penjahat sekalian!"
"Maksudmu apa Fur?"
Edited by : Bo331 Bon-q97
"Kau tak sedikitpun berempati padaku. Aku ini sudah hancur sejak
sebelum pulang ke tanah air. Menikah denganmu adalah sedikit
untuk mengobati sakitku. Aku seperti mayat yang berjalan. Cahaya
hidupku seperti telah padam. Kau tahu, aku tak punsa tempat untuk
berbagi nestapa. Ayah ibuku saja tidak tahu apa yang sebenarnya
menimpa putranya. Dalam rasa sedihku yang hampir bercampur
putus asa aku masih menggunakan nuraniku. Yaitu dengan tetap
menjaga kesucianmu. Aku tak ingin menularkan virus itu padamu.
"Kau sedikitpun tak mau berempati padaku. Baiklah, aku cuma
mensyaratkan dua syarat yang tidak berat padamu kalau kau ingin
agar aku menceraikanmu. Yaitu pertama ijinkan aku mencium
keningmu sekali lagi. Ciuman perpisahan, sebab ketika kata-kata
cerai telah aku ucapkan maka aku tidak halal lagi menciummu. Yang
kedua, tolong rahasiakan apa yang menimpaku. Demi menjaga
kehormatan keluargaku dan juga kehormatan keluargamu. "Kalau
kau obral cerita ini, dan kau tidak punya bukti, maka perang akan
berkobar amtara keluargaku dan keluargamu.
Kita semua akam sama-sama binasa. Meskipun aku tidak
menginginkannya, pasti orang-orang yang menyayangiku tidak akan
pernah terima dengan ceritamu. Katakan saja pada keluargamu, nanti
kalau kita cerai, cerai kita karena sudah tidak mungkin cocok lagi.
"Itulah syarat yang aku minta padamu. Kalau kau tidak juga mau
maka mungkin tak ada pilihan lagi bagiku kecuali jadi penjahat
sekalian. Toh kau sudah bilang aku jahat. Malam ini juga dengan
gaun pengantin yang kau kenakan akan aku renggut kehormatanmu
di kamar ini. Setelah itu terserah apa maumu. Seandainya kau
berteriak, aku santai saja, kita kan masih suami isteri. Aku berhak
melakukan itu padamu. Meskipun kau menolaknya.
"Kalau kau mengadu pada ayahmu misalnya kau merasa diperkosa,
paling mereka tertawa. Toh kamu sudah sering memperlihatkan di
Edited by : Bo332 Bon-q97
hadapan mereka pura-pura mandi sebelum Subuh. Kenapa kali ini
merasa diperkosa. Toh kita tadi berangkat dengan menampakkan
kemesraan di hadapan mereka. Hanya itu pilihan untukmu Dik."
Furqan berkata kepada Anna dengan hati bergetar. Ia tidak ingin
mengatakan hal itu. Tapi entah kenapa melihat amarah Anna,
amarahnya ikut menyala. Mendengar perkataan Furqan, Anna jadi
berpikir bagaimana secepatnya menyelamatkan jiwanya. Ia tak mau
diperkosa sama Furqan. Ia tak bisa membayangkan dirinya terkena
virus HIV. Akhirnya dengan suara lunak, Anna menjawab,
"Baik, aku terima syaratmu. Tapi aku pegang janjimu, kau ceraikan
aku setelah kau mencium keningku."
"Aku akan pegang janjiku. Allah jadi saksi kita berdua. Aku juga
pegang janjiku untuk merahasiakan yang terjadi di antara kita. Demi
menjaga kehormatan keluarga kita masing-masing."
"Baik Fur."
"Aku tahu, setelah ini kau pasti takut dan tidak mungkin tidur lagi
sekamar denganku. Jangan takut. Aku akan pesankan kamar
untukmu. Kau yang pegang kunci. Besok pagi kau bisa pulang pakai
taksi. Kau bisa memberikan alasan yang tepat pada keluargamu."
Kata Furqan.
"Terima kasih Fur. Tapi biar aku cari hotel lain sendiri"
"Terserah kau, kemasilah barang-barangmu!"
Anna lalu mengemasi semua barangnya. Ia mengambil gamisnya lalu
masuk ke kamar mandi. Tidak seperti awal masuk hotel tadi tidak
peduli ganti pakaian di hadapan Furqan, kali ini ia merasa Furqan
adalah orang lain. Ia melepas gaun pengantinnya di kamar mandi dan
Edited by : Bo333 Bon-q97
menggantinya dengan gamis. Ia memakai jilbabnya kembali, juga
kaos kaki. Lalu ia keluar dan memasukkan gaun pengantinnya ke
koper.
"Sudah semua?" Tanya Furqan.
"Tak ada yang ketinggalan?"
"Tidak."
"Kemarilah isteriku!" Kata Furqan.
Anna maju dan duduk di samping Furqan yang sejak tadi duduk di
tepi ranjang. Dengan penuh cinta Furqan mencium kening Anna.
Sebuah ciuman perpisahan.
"Maafkan aku Anna, aku telah menyakiti hatimu dan nyaris
menghancurkan hidupmu." Lirih Furqan dengan suara terisak-isak.
"Aku percaya pada ceritamu Fur. Kau adalah korban tak bersalah.
Tapi aku tak bisa hidup denganmu lagi." "Aku tahu."
"Aku sudah penuhi syaratmu, sekarang aku tagih janjimu!" Ucap
Anna tegas.
"Aku nikahi kau dengan baik-baik, maka aku cerai kau dengan baikbaik.
Mulai saat ini aku cerai kau Anna' Kau bukan lagi isteriku, dan
aku bersumpah tak akan lagi kembali kepadamu!"
"Terima kasih Fur. Aku harus pergi!"
Dengan linangan air mata Anna keluar dari kamar itu. Ia tak tahu
akan ke mana. Yang ia inginkan adalah segera keluar dari hotel itu
Edited by : Bo334 Bon-q97
secepatnya. Ingin rasanya ia lari sejauh jauhnya lalu menangis
sejadi-jadinya.
Begitu Anna pergi, Furqan menangisi nestapanya. Orang yang paling
dicintainya itu sudah sangat jauh darinya. Ia merasa hanya mukjizat
yang akan mempertemukan dirinya dengan Anna kembali. Jika ia
dibenci oleh Anna, maka Anna tidaklah bersalah. Dirinyalah yang
salah. Apa dosa Anna sampai harus ikut terkena getah nestapa yang
menderanya. Dirinyalah yang zalim dan aniaya. Dialah yang selama
ini buta kehilangan kesadarannya.
Anna memejamkan mata. Bulir-bulir bening keluar dari kelopak
matanya. Ia mengadu kepada Yang Maha pengasih dan Penyayang,
Ya Allah hilangkanlah segala sebab yang menjadikan kami berkeluh
kesah takut, cemas, sedih, dan marah. Amin
Keluar dari Novotel, Anna langsung menghubungi taksi langganan
Abahnya. Lima belas menit kemudian, taksi itu datang
menjemputnya.
"Kemana Neng? Mau pulang?" Tanya sopir taksi yang sudah tua itu.
"Anu Pak. Antar saya ke Hotel Quality!"
"Baik Neng."
Taksi berjalan ke arah Monumen Pers. Lalu belok kiri. Langit
tertutup awan tipis. Rembulan muncul tenggelam. Anna Althafunnisa
masih juga belum percaya apa yang dialaminya. Ia telah menjadi
janda. Ia cemas dan gelisah. Ia takut menghadapi status barunya yaitu
seorang janda.
Edited by : Bo335 Bon-q97
Anna menerawang ke depan dengan pandangan kosong, ia belum
menemukan kalimat apa yang akan disampaikannya kepada Abah
dan Umminya. Ia meraba dalam hati, apakah ini tafsir keraguan tipis
yang selalu menderanya saat akan mengiyakan lamaran Furqan dulu?
Kenapa dulu ia tergesa-gesa menjawab 'iya'.
Edited by : Bo336 Bon-q97
22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar