Rabu, 08 Juli 2009

Ketika Cinta Bertasbih II (bab 1 - 8)

KETIKA CINTA BERTASBIH 2
Habibburahman El Shirazy

dengan cahaya cinta
kutulis novel kedua dari
dwilogi Ketika Cinta Bertasbih ini
untuk anakku tercinta:
Muhammad Ziaul Kautsar,
dan untuk segenap generasi Indonesia
yang baru dilahirkan
mjbookmaker by:
http://jowo.jw.lt

PAGI BERTASBIH
DI DESA WANGEN
Langit dini hari selalu memikatnya. Bahkan sejak ia
masih kanak-kanak. Bintang yang berkilauan di matanya
tampak seumpama mata ribuan malaikat yang mengintip
penduduk bumi. Bulan terasa begitu anggun menciptakan
kedamaian di dalam hati. Ia tak bisa melewatkan pesona
ayat-ayat kauni yang maha indah itu begitu saja.
Sejak kecil Abahnya sudah sering membangunkannya
jam tiga pagi. Abah menggendong dan mengajaknya
menikmati keindahan surgawi. Keindahan pesona langit,
bintang gemintang, dan bulan yang sedemikian fitri.
"Di atas sana ada jutaan malaikat yang sedang
bertasbih." Begitu kata Abahnya yang tak lain adalah Kiai
Lutfi sambil m e n g g e n d o n g n y a . Ia tidak m u n g k i n
melupakannya.
7
"Jutaan malaikat itu mendoakan penduduk bumi yang
tidak lalai. Penduduk bumi yang mau tahajjud saat jutaan
manusia terlelap lalai." Sambung Abah sambil membawanya
ke masjid pesantren.
Abah lalu mengajaknya untuk akrab dengan dinginnya
mata air desa Wangen. Setelah mengambil air wudhu,
Abah mengajaknya keliling pesantren, mengetok kamar
demi kamar sambil berkata, "Shalat, shalat, shalat!" Setelah
semua kamar diketuk, sang Abah mengajaknya kembali
ke masjid untuk shalat. Beberapa orang santri ada yang
sudah shalat. Ada yang masih mendengur berselimut
sarung.
Setelah shalat sebelas rakaat Abah mengajaknya berdoa.
"Ayo Nduk, kita berdoa biar diamini jutaan malaikat."
Dan tatkala fajar merekah kemerahan di sebelah timur,
Abah bertasbih dan mengajaknya menikmati keindahan
yang menggetarkan itu. Lalu dengan menggendongnya
kembali, Abah mengajaknya keliling pesantren untuk
kedua kalinya. Kali ini Abah membangunkan para santri
dengan suara lebih keras, dengan nada sedikit berbeda,
"Subuh, subuh, shalat! Subuh, subuh, shalat!"
Lalu azan subuh berkumandang.
Azan subuh selalu menggetarkan kalbunya. Alam
seperti bersahut-sahutan mengagungkan asma Allah. Fajar
yang merekah selalu mengalirkan ke dalam hatinya rasa
takjub luar biasa kepada Dzat yang menciptakannya.
Setiap kali fajar itu merekah ia rasakan nuansanya tak
pernah sama. Setiap kali merekah selalu ada semburat
yang baru. Ada keindahan baru. Keindahan yang berbeda
dari fajar hari-hari yang telah lalu. Rasanya tak ada
sastrawan yang mampu mendetilkan keindahan panorama
itu dengan bahasa pena. Tak ada pelukis yang mampu
melukiskan keindahan itu dalam kanvasnya. Tak ada!
Keindahan itu bisa dirasakan, dinikmati dan dihayati
8
dengan sempurna oleh syaraf-syaraf jiwa orang-orang yang
tidak lalai akan keagungan Tuhannya.
Langit dini hari selalu memikatnya. Bahkan sejak ia
masih kanak-kanak. Azan subuh selalu menggetarkan
kalbunya. Dan fajar yang merekah selalu mengalirkan
kedalam hatinya rasa takjub luar biasa kepada Dzat yang
menciptakannya.
Anna berdiri di depan jendela kamarnya yang ia buka
lebar-lebar. Ia memandangi langit. Menikmati fajar. Dan
menghayati tasbih alam desa Wangen pagi itu. Dengan
dibalut mukena putihnya ia menikmati keindahannya dari
jendela kamarnya. Ia hirup dalam-dalam aromanya yang
khas. Aroma yang sama dengan aroma yang ia rasakan
saat ia kecil dulu. Tidak jauh berbeda. Aroma daun padi
dari persawahan di barat desa. Goresan yang indah
bernuansa surgawi. Angin pagi yang mengalir sejuk
menyapa rerumputan yang bergoyang-goyang seolah
bersembahyang.
Di kejauhan beberapa penduduk desa sudah ada yang
bergerak. Ada rombongan ibu-ibu yang mengayun sepeda
membawa dagangan di boncengan. Mereka menuju pasar
Tegalgondo. Biasanya mereka shalat subuh di sana sebelum
menjajakan dangangan mereka. Penduduk Pesantren
Daarul Quran, baik yang p u t r a m a u p u n yang putri
sebagian besar telah bangun dan bersiap untuk shalat
subuh. Kiai Lutfi, pengasuh utama Pesantren Daarul Quran
sudah shalat sunnah fajar di masjid.
Anna shalat sunnah dua rakaat lalu beranjak ke masjid.
Masjid pesantren yang terletak di tengah-tengah desa
Wangen, Polanharjo, Klaten itu kini jauh lebih megah dari
waktu ia masih kecil dulu. Dulu masjid pesantren itu
berdinding papan dan lantainya ubin kasar. Hanya muat
untuk dua ratusan orang saja. Saat itu jumlah santri baru
seratus tujuh puluh. Semuanya putra. Karena memang
belum membuka pesantren putri. Sekarang masjid itu
9
sudah mampu menampung seribu lima ratus orang. Dua
lantai. Lantai bawah untuk santri putra dan lantai atas
untuk santri putri. Jumlah santri sudah mencapai seribu
tiga ratus. Delapan ratus untuk santri putra dan lima ratus
untuk santri putri.
Lantai atas masjid itu putih. Penuh oleh santriwati
berbalut mukena putih. Mereka seumpama bidadaribidadari
yang turun ke bumi bersama para malaikat pagi.
Sebagian sedang shalat sunnah. Sebagian duduk membaca
Al Quran. Sebagian yang lain duduk sambil berzikir. Anna
shalat tahiyyatul masjid di tengah-tengah mereka. Jika para
bidadari memiliki ratu, maka Anna Althafunnisa-lah
ratunya para bidadari yang mengagungkan asma Allah di
masjid itu.
Iqamat dikumandangkan.
Semua berdiri serentak. Shaf ditata seperti barisan
pasukan yang siap berperang. Kiai Lutfi merapikan shaf
dengan sabar. Ia sangat perhatian mengatur shaf. Lalu
takbiratul ihram menggema di masjid itu. Semua jamaah
mengumandangkan takbir bersama. Mengagungkan asma
Allah. Masjid itu lalu m e n y a t u bersama alam yang
mengagungkan asma Allah pagi itu.
Usai shalat subuh dan berzikir. Kiai Lutfi mengajak
santrinya untuk melantunkan zikir pagi. Lalu beliau
membacakan kitab Subulus Salam karya Imam Ash Shan'ani
yang merupakan penjelas kitab Bulughul Maram yang
disusun oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani. Subulus Salam
adalah satu dari tiga kitab yang menjadi wirid Kiai Lutfi.
Artinya kitab itu adalah salah satu kitab yang senantiasa
dibaca berulang-ulang oleh Kiai Lutfi. Kitab kedua adalah
kitab Tafsir Jalalain yang disusun oleh Imam Jalaluddin As
Suyuthi dan Imam Jalaluddin Al Mahalli. Kitab ketiga adalah
Al Hikam yang ditulis Imam Ibnu Athaillah As Sakandari.
Subulus Salam dan Tafsir Jalalain dibaca dan dijelaskan
kandungannya panjang lebar oleh Kiai Lutfi setiap hari.
10
Dan semua santri wajib mengikutinya. Subulus Salam
dibaca setelah shalat subuh dan Tafsir Jalalain setelah shalat
maghrib. Sementara kitab Al Hikam dibacakan setiap Rabu
bakda Ashar untuk masyarakat umum.
Sudah jamak di dunia pesantren bahwa seorang Kiai
biasanya memiliki kitab-kitab andalan yang sangat dia
kuasai dan ia ajarkan kepada santrinya. Kitab itu jadi
wiridnya. Sehingga ia seolah-olah hafal kitab itu. Dengan
melihat kitab yang dijadikan wirid maka para santri dan
masyarakat bisa mengetahui kepakaran seorang Kiai.
Misalnya Kiai Lutfi setiap hari mengajarkan Subulus Salam
dan Tafsir jalalain, maka beliau adalah pakar di bidang
fiqh dan hadis, juga pakar di bidang tafsir. Penguasaan
beliau dalam ketiga bidang itu sangat mendalam. Bukan
berarti Kiai Lutfi tidak menguasai ilmu nahwu, ilmu tata
bahasa Arab. Bukan. Beliau juga menguasai ilmu itu. Tapi
kecenderungan dan kepakaran beliau di bidang itu.
Contoh lain misalnya Kiai Rasyidi biasa mengajarkan
kitab Qira'atur Rasyidah di Pesantren As Salam Pabelan.
Itu karena beliau di kalangan ulama karesidenan Surakarta
dikenal sebagai pakar bahasa Arab. Beliau lulusan Al Azhar
yang sudah belasan tahun hidup di Mesir. Beliau juga
sangat menguasai ilmu fiqh dan disiplin ilmu lainnya.
Namun beliau memiliki kecenderungan untuk mendalami
dan mengajarkan bahasa Arab kepada para santrinya.
Lain lagi dengan Almarhum Kiai Ali Darokah, ulama
Surakarta jebolan Mambaul Ulum yang legendaris. Beliau
juga menjadi guru para ulama di Surakarta .dan sekitarnya,
dikenal sebagai ulama yang memiliki kepakaran di bidang
ilmu fiqh dan ushul fiqh.
Sementara Kiai Salman Popongan cenderung pada
ilmu tasawuf. Maka kitab yang menjadi wiridan beliau,
konon, adalah kitab-kitab tasawuf seperti kitab Al Hikamnya
Imam Ibnu Athaillah As Sakandari dan kitab Ihya'
Ulumuddin-nya Imam Al Ghazali.
11
Di Sukoharjo, Kiai Ahmad Husnan dikenal sebagai
ulama yang pakar dalam takhrij hadits. Maka kitab-kitab
yang beliau bahas dan beliau uraikan kepada para santrinya
di Pesantren Al Mukmin adalah kitab-kitab hadis dan ilmu
hadis seperti Kutubus Sittah.
buku dalam bidang hadis.
Beliau bahkan banyak menulis
Di Jogjakarta, ada ulama yang dikenal sangat pakar di
bidang Ushul Fiqh dan Fiqh. Kepakarannya bahkan masyhur
sampai Asia Tenggara. Beliau adalah almarhum Kiai Haji
Ali Maksum, Pengasuh Pesantren Al Munawwir Krapyak.
Maka di antara kitab yang menjadi wirid beliau adalah kitab
Asybah Wan Nadhair, Fathul Mu'in dan Fathul Wahab.
Pagi itu Kiai Lutfi membacakan dan menguraikan
hadis yang berbunyi, "Laa yadhulul jannata qattaatun!"
Semua santri, baik putra dan putri mendengarkan dengan
khidmat dan rasa ingin tahu. Kiai Lutfi lalu menjelaskan
arti dan maksud hadis pendek itu,
"Anak-anakku semuanya yang aku sayangi,
Hadis pendek ini muttafaq 'alaih, artinya diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Muslim. Jelas shahihnya. Tidak bisa
diragukan. Arti dari hadis ini adalah,'Tidak akan masuk surga
orang yang suka memfitnah.
Imam Shan'ani menjelaskan, kata "qattat" itu dengan
huruf qaf, huruf ta' dan sesudah alif huruf ta' lagi, yang
berarti pemfitnah. Ada ulama yang berkata, ada perbedaan
antara "qattaat" dan "nammaam".
Nammaam ialah orang yang mencari berita untuk
menyampaikannya kepada orang lain (untuk menebar fitnah).
Sedangkan "qattaat" adalah orang yang hanya mendengar
berita yang ia tidak mengetahui pasti kebenaran berita itu,
kemudian ia menceritakan apa yang ia dengar itu (kepada
orang lain untuk memfitnah).
Hakekat fitnah itu pemindahan pembicaraan orang
kepada orang lain untuk merusak hubungan di antara mereka.
12
Anak-anakku, ingatlah baik-baik kadis ini. Hayati dan
patri dalam sanubari! Jangan sekali-kali kalian menjadi
seorang pemfitnah, baik qattaat maupun nammaam. Sebab
pemfitnah itu telah diharamkan oleh Rasulullah Saw. untuk
masuk surga. Pemfitnah termasuk seburuk-buruk makhluk
Allah di atas muka bumi ini. Al Hafidz Al Mundziri
mengatakan, Ummat Islam sudah sepakat bahwa fitnah itu
diharamkan dan fitnah itu termasuk dosa besar!"
Lalu Kiai Lutfi terus membacakan isi kitab Subulus
Salam itu dan menjelaskan panjang lebar dengan penuh
rasa kasih sayang dan cinta kepada santri-santrinya. Setelah
setengah jam membacakan Subulus Salam, Kiai Lutfi
menutup kajian pagi hari itu dengan hamdalah. Para santri
bubar kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap menyambut
aktifitas pesantren yang lebih padat. Kiai Lutfi biasanya
tetap iktikaf di masjid sampai kira-kira jam delapan.
* * *
Anna kembali ke kamarnya. Ia mempersiapkan diri
menghadapi salah satu hari yang sangat bersejarah dalam
hidupnya. Nanti sore keluarga Furqan dari Jakarta akan
datang u n t u k melamarnya. Kemarin sore Furqan
mengirim sms bahwa dia dan keluarganya sudah sampai
di Solo, saat ini mereka menginap di hotel Lor Inn Solo.
Tanpa ia pinta, ingatannya kembali berputar bagaimana
ia mengiyakan lamaran Furqan. Bulan April ia meninggalkan
Cairo. Saat itu konsentrasinya adalah penelitian di
Malaysia untuk tesisnya tentang "Asuransi Syari'ah di Asia
Tenggara." Ia belum memberi jawaban atas lamaran Furqan
yang diajukan lewat Ustadz Mujab.
Ada dua minggu lamanya ia mengadakan penelitian
di perpustakaan Universiti Malaya, ISTAC, HUM dan
Universiti Kebangsaan Malaysia. Ia lebih banyak mengcopy
data-data dan rujukan-rujukan penting. Lalu ia pulang ke
Indonesia. Kerinduannya pada Abah dan Umminya, juga
13
pada aroma desa Wangen sudah sedemikian membuncah
di dada.
Ia masih ingat betul, selama satu minggu di rumah ia
belum membicarakan perihal lamaran Furqan pada kedua
orang ruanya. Ia masih bimbang dan ragu. Dan tepat satu
minggu setelah menghirup udara Wangen, suatu pagi ia
diajak bicara serius oleh Abahnya. Saat itu ia sedang
mengerjakan tesisnya di ruang perpustakaan Abahnya.
"Nduk, aku ingin bicara sebentar denganmu bisa?" Kata
Abahnya, dengan wajah serius.
"Inggih, bisa Abah." Jawabnya sambil menghadapkan
seluruh wajahnya pada sang Abah.
"Begini, Nduk, Abah rasa kamu harus segera menikah.
Kamu harus segera memutuskan siapa yang kamu pilih
untuk menjadi pendamping hidupmu. Jika Abah hitung,
dua tahun ini sudah enam kali engkau menolak lamaran.
Dan lamaran itu datangnya tidak dari orang sembarangan.
Abah dan Ummimu sudah tidak sanggup lagi untuk terus
menolak lamaran yang datang. Abah ingin menyampaikan
padamu, tadi malam ada seseorang yang datang lagi untuk
melamarmu. Abah kenal baik dengannya. Dan Abah
percaya padanya. Ummimu juga. Dia dulu juga santri di
pesantren ini. Tapi keputusan ada di tanganmu, Nduk.
Sebab engkau sudah besar, sudah sangat berpendidikan."
Ana sedikit terperanjat. Ia jadi penasaran siapa santri
itu?
"Pernah nyantri di sini Bah?"
"Iya."
"Siapa dia Bah? Apa aku mengenalnya?"
"Mungkin saja."
"Namanya siapa Bah?"
"Muhammad Ilyas."
"Muhammad Ilyas yang mana ya Bah?"
14
"Yang tinggi kurus, agak hitam."
Anna mencoba mengingat beberapa santri yang ia
kenal. Ia tidak memiliki bayangan. Ia memang tidak
banyak mengenal para santri putra yang seusianya, atau
sedikit di atasnya. Sebab begitu lulus SD ia langsung
dibuang ayahnya untuk belajar di Kudus. Tiga tahun di
Kudus, ia lalu melanjutkan belajar di MAPK Putri Ciamis.
Saat di Madrasah Aliyah itulah ia sempat mengikuti
pertukaran pelajar ke Wales, U.K. Begitu selesai Aliyah ia
langsung terbang ke Mesir. Jadi nyaris ia tidak banyak
berinteraksi dengan santri-santri Abahnya. Baik yang putra
maupun putri.
"Wah, saya tidak mengenalnya Bah." Kata Anna pelan.
"Ilyas cuma satu tahun di sini. Di kelas 3 Aliyah saja.
Sebelumnya ia belajar di Pasuruan. Anaknya cerdas. Hanya
saja olah bahasanya kurang halus. Tapi pelan-pelan bisa
diperbaiki. Ia menyelesaikan S1 di Madinah dan sekarang
sedang menulis tesis masternya di Aligarh, India. Saat ini
ia sedang liburan. Tadi m a l a m ia datang bersama
pamannya untuk melamarmu. Aku dan Ummimu tidak
langsung mungkin menerima atau menolaknya. Kami
akan memutuskan sesuai dengan apa yang kau putuskan."
"Kalau Abah sendiri kelihatannya bagaimana?"
"Abah sendiri tidak ada masalah. Selama yang datang
itu orang yang shalih dan berilmu itu saja. Dan Ilyas sudah
memenuhi kriteria itu. Selanjutnya tergantung kamu. Sebab
kamu yang akan menjalani. Kaulah yang menentukan siapa
pendamping hidupmu. Bukan Abah atau Ummimu."
Diam-diam dari hati yang paling dalam Anna merasa
sangat b e r s y u k u r memiliki orang tua yang sangat
penyabar, demokratis, dan sangat terbuka.
"Begini, Bah, saat ini saya juga sedang menerima
lamaran dari seorang yang baru saja menyelesaikan S2nya
di Cairo University." Anna membuka masalahnya.
15
"Coba ceritakan lebih detil!" Pinta Abahnya.
Ia lalu menceritakan tentang lamaran Furqan dengan
detil. Tentang siapa Furqan, aktivitas Furqan, prestasiprestasi
Furqan selama di Cairo, juga latar belakang
keluarga Furqan. Ia ceritakan semua yang ia tahu tentang
Furqan.
Kiai Lutfi hanya manggut-manggut saja mendengar
cerita putrinya yang sedemikian panjang lebar.
"Dia orang Jakarta asli?" Tanya Kiai Lutfi.
"Tidak tahu ayah. Tapi setahuku sejak kecil ia di
Jakarta, lalu kuliah di Cairo."
"Bisa bahasa Jawa?"
"Mungkin. Tapi ya sebatas memahami perkataan
dalam bahasa Jawa Bah."
"Furqan itu, seperti yang kau ceritakan banyak
memiliki kelebihan. Tapi jika dia nanti misalnya tinggal di
sini tidak bisa berbahasa Jawa dengan baik, itu akan jadi
satu kelemahannya."
"Sebagaimana setiap manusia memiliki kelebihan
pasti kan juga memiliki kelemahan Bah."
"Yah, terserah bagaimana keputusan kamu. Siapa yang
kamu pilih? Furqan atau Ilyas? Abah minta salah satu dari
mereka ada yang kamu pilih. Jangan tidak ada yang kamu
pilih. Itu saja permintaan Abah d a n Ummi padamu,
Nduk."
"Bah, untuk memilih salah satu di antara keduanya,
rasanya kita harus adil. Saya sudah pernah bertemu
dengan Furqan, tapi belum pernah bertemu Ilyas. Rasanya
kalau saya putuskan memilih Furqan misalnya itu tidak
adil."
Pak Kiai Lutfi faham.
"Baik. Itu gampang. Kebetulan besok pagi dia mau
mengisi acara pembekalan anak-anak kelas tiga Aliyah
16
yang akan meninggalkan pesantren ini. Kau akan aku
temukan dengannya."
Dan benar, hari berikutnya, Ilyas datang. Pakaiannya
rapi. Ia datang dengan mengendarai Honda Supra X. Kiai
Lutfi minta kepada Ilyas supaya masuk rumah sebelum
mengisi acara. Sesaat lamanya Kiai Lutfi mengajak Ilyas
berdiskusi beberapa masalah keumatan di ruang tamu.
Anna mendengarkan diskusi dari ruang tengah. Antara
ruang tengah dan ruang tamu disekat dengan kaca riben
hitam. Anna bisa melihat Ilyas dengan jelas, dan sebaliknya
Ilyas tidak bisa melihat Anna dengan jelas. Anna sudah
merasa cukup. Tapi tiba-tiba ayahnya bangkit masuk ruang
tengah dan memanggil namanya,
"Anna, minumannya mana?"
Terpaksa ia mengeluarkan minuman dan dua kaleng
biskuit. Ia bisa melihat Ilyas dengan lebih jelas. Ia tahu
Ilyas melirik wajahnya sekelebat. Setelah itu ia membandingkan
kelebihan dan kekurangan dua pemuda yang
melamarnya. Furqan dan Ilyas. Hatinya condong pada
Furqan, tapi masih ada sebersit keraguan. Ia masih belum
bisa memutuskan. Ia perlu orang lain yang bisa ia ajak
bicara dari hati ke hati.
Akhirnya ia memilih Nafisah, Ketua P e n g u r u s
Pesantren Putri, yang ia rasa sudah sangat dekat dengannya
sebagai teman bermusyawarah. Ia menceritakan kebimbangannya
kepada Nafisah setelah ia mengambil janjinya agar
tidak membuka isi pembicaraan kepada siapa pun juga.
"Mbak punya foto Ustadz Furqan?" Tanya Nafisah
setelah mendengar semuanya.
"Ada." Jawab Anna seraya membuka diarynya.
"Ini fotonya." Lanjut Anna dengan menyodorkan
sekeping foto pada Nafisah.
Nafisah menerima foto itu dan mengamatinya dengan
seksama.
17
"Wah, tampan sekali Neng Anna. Jujur saja, kalau saya
yang disuruh memilih, saya pasti memilih Ustadz Furqan.
Sebab dia sudah selesai S2. Sementara Ustadz Ilyas belum.
Dia mahasiswa Mesir. Sementara Ustadz Ilyas mahasiswa
India. Kalau Ustadz Furqan kan setelah menikah bisa
melanjutkan S3 di Mesir sambil menunggui Neng Anna
menyelesaikan tesis. Jadi kalian bisa hidup bersama gitu
lho. Kalau Ustadz Ilyas kan susah. Bagaimana? Satu di
India, yang satu di Mesir? Terus ini Neng, terus terang,
saya pribadi pernah diajar oleh Ustadz Ilyas. Ada yang saya
kurang suka pada beliau?"
"Apa itu?"
"Saya takut ghibah Neng."
"Semoga tidak termasuk ghibah sebab ini niatnya sama
sekali bukan untuk ghibah. Lha kalau saya tidak tahu hal
itu bagaimana saya bisa menimbang Nafisah?"
"Baik, ini menurut saya pribadi lho Neng. Sikapnya
yang kurang saya sukai, Ustadz Ilyas agak kurang menjaga
pandangan pada para siswi ketika mengajar."
"Kan kalau mengajar memang boleh memandang
yang diajar."
"Tapi kan bisa lebih dijaga. Saya suka model Ustadz
Ramzi yang lulusan Syiria itu, beliau sangat menjaga
pandangan. Tapi sayangnya beliau sudah punya isteri."
Setelah berbincang-bincang cukup detail dengan
Nafisah, ia agak cenderung kepada Furqan. Tapi tetap
belum bisa memilih Furqan. Entah kenapa ia merasa tidak
mencintai mantan Ketua PPMI itu. Bahkan dalam hatinya
ada semacam ketidakcocokan dengan Furqan.
M e n u r u t n y a pola h i d u p Furqan terlalu berbeda
dengan mahasiswa yang lain. Dari orang-orang yang ia
percaya flat yang disewa Furqan sangat mewah, punya
mobil pribadi. Ke mana-mana selalu memakai mobil
pribadi. Dan tidak jarang sering menyendiri di hotel hanya
18
untuk menulis makalah. Meskipun ia tidak menyalahkan,
karena barangkali Furqan punya alasan. Tapi seperti itu
hukan cara hidup yang ia dambakan. Menurutnya itu
sudah berlebihan.
Tentang kebimbangannya ia sampaikan pada kedua
orang tuanya. Ayahnya diam, menyerahkan semuanya
pada Ummi. Umminya malah bertanya padanya,
"Jujurlah Nduk, adakah seseorang yang sebenarnya kau
damba. Dalam bahasa anak m u d a n y a kau naksir
padanya?"
Ia menggelengkan kepala.
"Tapi p e r n a h k a n kau b e r t e m u d e n g a n seorang
pemuda yang sangat berkesan di hatimu?" Lanjut Sang
Ummi.
Ia diam.
"Cobalah ingat-ingat!"
"Ya ada Mi."
"Siapa dia?"
"Aku tak kenal dia Mi. Aku hanya kenal namanya."
"Namanya siapa?"
"Abdullah."
"Abdullah siapa?"
"Tak tahu Mi."
"Bagaimana k a m u ini. Masak cuma kenal n a m a
depannya saja kamu sudah terkesan dengan pemuda itu.
Dia sekarang di mana?"
"Mungkin masih di Cairo Mi."
"Bisa kau lacak?"
"Tidak Mi."
"Kau sungguh aneh Nduk. Terkesan kok pada orang
tidak jelas."
"Kalau Ummi jadi Anna pasti juga akan terkesan."
19
Anna lalu menceritakan perjalanannya dengan temantemannya
ke Sayyeda Zaenab, Cairo. Saat itu ia belanja
kitab. Uangnya ia habiskan untuk beli kitab. Ia ingat kitab
yang ia beli adalah Lathaiful Ma'arif-nya Ibnu Rajab Al
Hanbali, Fatawa Mu'ashirah-nya Yusuf Al Qaradhawi,
Dhawabithul Mashlahah-nya Al Buthi, Al Qawaid Al
Fiqhiyyah-nya Ali An Nadawi, Ushulud Dakwah-nya Doktor
Abdul Karim Zaidan, Kitabul Kharraj-nya Imam Abu
Yusuf, Al Qamus-nya Fairuzabadi dan Syarhul Maqashidnya
Taftazani.
Ia pulang bersama Erna. Dompet Erna dicopet. Ia
teriak. Pencopet lari. Ia bergegas turun sambil mengejar
minta tolong p a d a orang-orang kalau kecopetan.
Pencopetnya hilang tak terkejar. Ia dan Erna tak ada uang
untuk pulang. Sama sekali. Di saat ia bingung ada seorang
p e m u d a naik taksi yang menolongnya memberi tumpangan
di belakang. Ia teringat kitab-kitabnya yang
tertinggal di bis. Pemuda itu minta sang sopir mengejar
bis. Akhirnya terkejar di Halte jalur ke Hay El Sabe dekat
Muraqib Nasr City.
Ia mendapatkan kembali kitabnya. Pemuda yang
menolongnya sangat santun. Dan sangat menjaga pandangan.
Ia sangat terkesan pada pemuda itu. Ia merasa sangat
ditolong saat itu. Entah kenapa ia sulit melupakan itu. Sulit
melupakan pemuda yang selalu menunduk itu. Dan saat
itu, ketika ditanya namanya cuma menjawab: "Abdullah."
"Anna sangat terkesan padanya, Mi."
"Yang seperti itu yang kau damba kira-kira?"
"Mungkin. Tapi jujur Anna suka pada pemuda itu."
"Tapi siapa dia dan di mana dia kau tidak tahu kan?"
"Iya."
"Itu namanya tidak jelas. Kalau m e n u r u t Ummi
pilihlah yang jelas." Tegas Umminya.
"Benar kata Ummimu Nduk."
20
Abahnya menguatkan.
Namun ia belum bisa memutuskan. Dalam hati kecil
ia mengatakan jika pemuda yang menolongnya, yang baik
hatinya, dan sangat menjaga p a n d a n g a n b e r n a m a
Abdullah itu datang melamarnya, maka ia akan langsung
mengatakan: "Iya!"
"Aduhai jikalau saja saat ini kau ada di sini Abdullah.
Jikalau saja kau menyampaikan lamaranmu kepadaku.
Jikalau saja kau utarakan ingin membangun rumah tangga
denganku. Aku pasti akan memilihmu, dari pada Ilyas atau
Furqan. Tapi, ah... di mana keberadaanmu di saat aku harus
memilih? Di mana...? Ah,..ya Rabbi ampuni hamba-Mu
yang lemah iman ini." Desis hatinya bimbang.
Saat ia bimbang dan ragu sms dari isteri Ustadz Mujab
terus datang berulang-ulang. Terakhir sms itu mengatakan,
"Kami sudah tidak enak sama Furqan. Cepatlah kau
putuskan. Kalau mau ya bilang mau. Kalau tidak ya tidak.
Supaya semua jadi enak. Terima kasih!"
Ana masih b i m b a n g . D a l a m hati kecilnya ada
Abdullah. Ia sendiri tidak tahu kenapa di sana ada
Abdullah. Ia ingin mengenyahkan Abdullah itu tapi tak
juga mau enyah.Ia tahu tak boleh ada siapapun di dalam
hatinya kecuali orang yang halal baginya. Tapi kenapa
muncul juga Abdullah. Seringkali ia rasakan munculnya
itu pelan dan halus sekali. Ia kembali membaca sms itu.
G a m a n g . Tapi h a r u s ia p u t u s k a n . Ingin rasanya ia
putuskan untuk tidak menerima dua-duanya. Tapi ia juga
gamang. Sudah berapa kali ia mengabaikan lamaran yang
datang?
Ia baca lagi sms dari Cairo itu. Ia rasakan bagai sesuatu
yang menterorkan. Akhirnya dalam kegamangannya,
karena teror sms itu ia memutuskan untuk menerima
Furqan. Meskipun keputusan itu belum benar-benar bulat
di hatinya. Masih ada sebersit keraguan yang bercokol di
sana. Dan ia tidak tahu bagaimana caranya menghilangkan
keraguan itu. Ia mencoba menghilangkannya dengan shalat
21
istikharah selama tiga hari berturut-turut. Akhirnya
walaupun sebersit keraguan itu masih bercokol, ia tetap
memutuskan memilih Furqan bila dibandingkan dengan
Ilyas. Ia berusaha mantap meskipun masih ada kegamangan
yang menggelayut dalam batinnya.
Ia menyampaikan keputusannya p a d a Abah d a n
Umminya. Mereka berdua menyambut dengan wajah
berseri-seri dan gembira. Lalu ia mengirim sms kepada
Mbak Zulfa di Cairo, isteri Ustadz Mujab. Isi smsnya itu
adalah pemberitahuan bahwa ia menerima lamaran Furqan
dan mohon disampaikan kepada Furqan secepatnya.
* * *
Anna tersadar dari lamunannya. Waktu terus berjalan.
Hari ini adalah hari yang akan menjadi bagian dari sejarah
hidupnya. Ia masih belum yakin bahwa ia siap menjadi
isteri Furqan. Ia tidak tahu kenapa sebersit rasa ragu masih
juga menyusup halus di dalam hatinya. Apakah sebenarnya
ia belum siap menikah? Ataukah ia masih kurang mengenal
Furqan sehingga hatinya belum benar-benar bisa bulat
seratus persen? Ataukah sebenarnya masih ada yang
mengganjal dalam hati Abah atau Umminya? Tapi setiap
kali ia bertanya pada mereka berdua, mereka menjawab
telah mantap. Abahnya malah dengan entengnya berkomentar,
"Bisa jadi keraguan itu datangnya dari setan yang tidak
menginginkan kebaikan pada ummat manusia."
Anna berdiri. Melangkah ke arah cermin dan
memandang wajahnya sendiri. Ia lalu berseru pada wajah
yang ada di cermin,
"Anna, Kau h a r u s m a n t a p ! Kau tidak m u n g k i n
mundur hanya karena keraguan yang tidak jelas dari mana
datangnya. Kalau kau mencari manusia yang sempurna,
kau tidak akan mendapatkannya di atas muka bumi ini!
Semua ummat manusia memiliki aib, kekurangan, salah
22
dan dosa-dosa! Tak ada yang sempurna. Anna, Kau harus
yakin keputusanmu adalah benar!"
"Neng Anna! Neng Anna!"
Itu suara Sri, khadimah1
Umminya.
"Iya Ti, ada apa?"
y a n g sangat disayang
"Dicari Mbak Nafisah. Katanya ada keperluan penting.
Dia menunggu di ruang tamu."
"Ya, suruh menunggu sebentar."
Anna melepas mukenanya. Ia merapikan rambut dan
jubah panjang yang dipakainya. Ia mengambil jilbab dari
almarinya. Mengenakannya. Bercermin sekilas lalu turun
menemui Nafisah.
"Maaf Neng mengganggu." Sapa Nafisah.
"Tidak kok. Ada apa ya Fis? Katanya penting?"
"Iya Neng. Kami mau minta bantuan Neng Anna
sedikit."
"Banyak juga tidak apa-apa kok selama aku mampu.
Apa itu?"
"Begini Neng. Anak kelas tiga Aliyah putra dan putri
punya kan acara besar..."
"Bedah buku kumpulan cerpen itu?" Potong Anna.
"Iya benar. Cuma kami ada sedikit masalah Neng."
"Masalah apa?"
"Rencananya yang menjadi pembandingnya kan Bu
Nila Kumalasari, M.Ed. Dosen Fakultas Tarbiah STAIN,
tapi m e n d a d a k beliau ada halangan. Ayah beliau di
Semarang sakit keras, dan sedang dirawat di RS. Roemani
Semarang. Beliau harus ke Semarang menunggui ayah
beliau. Jadi beliau tidak bisa."
1 Khadimah, artinya pembantu. Di dunia pesantren khadimah atau khadim
biasanya digunakan untuk menyebut santri yang mengabdikan diri membantu
urusan sehari-hari keluarga kyai.
23
"Sudah cari pengganti beliau?"
"Sudah, tapi nama-nama yang kami hubungi tidak
bisa Neng."
"Guru bahasa Indonesia kalian saja yang jadi pembanding."
"Beliau juga tidak bisa. Sebab beliau sudah ijin untuk
menghadiri pernikahan adiknya di Jogja."
"Ya sudah, tanpa pembanding saja. Biarkan pengarang
kumpulan cerpen itu jadi pembicara tunggal saja."
"Justru pengarangnya minta ada pembanding. Kami
tidak mau mengecewakan beliau. Kami sudah janji akan
menyandingkan dengan pembanding yang tepat. Dan
rasanya lebih seru kalau ada pembanding."
"Terus apa yang bisa aku bantu? Aku tidak punya link
orang-orang yang berkecimpung di bidang sastra."
"Begini Neng, karena waktu sudah mepet. Kami dari
panitia dengan sangat memohon Neng Anna bersedia
menjadi pembicara pembanding."
"Aku?"
"Iya Neng."
"Wah tidak bisa! Tidak bisa!"
"Kami mohon Neng!"
"Tidak bisa, Fis! Itu bukan bidangku."
"Iya kami tahu. Maka nanti Neng Anna tidak usah
bicara tentang sastra dan tetek bengeknya. Kami tidak minta
Neng Anna bicara tentang itu?"
"Terus aku bicara tentang apa?"
"Neng kan sarjana Syariah dari Al Azhar. Kami minta
Neng Anna menyoroti isi dan pesan yang terkandung
dalam kumpulan cerpen itu sudah sesuai dengan syariah
belum. Sesuai dengan ajaran Islam yang mulia tidak. Itu
saja. Tolong ya Neng. Kalau Neng Anna tidak mau kami
24
harus bagaimana lagi. Waktunya tinggal besok Neng."
Nafisah membujuk dengan nada mengiba.
Anna Althafunnisa diam sesaat. Keningnya berkerut.
la mengambil nafas agak panjang lalu mendesah. Bibirnya
yang indah itu bergetar lirih,
"Baiklah."
"Terima kasih Neng."
"Tapi aku minta segera kau bawakan kemari buku
kumpulan cerpen itu ya. Biar segera kubaca."
"Jangan khawatir Neng. Ini sudah aku bawakan."
Jawab Nafisah dengan wajah berbinar-binar bahagia. la
mengeluarkan buku ukuran sedang dari dalam lipatan
kitab Fathul Qarib. Rupanya buku kumpulan cerpen itu
ia selipkan di dalam kitab kuning yang memang lebih lebar.
Nafisah mengulurkan buku itu pada Anna. Anna menerima
dan memeriksa sampul buku itu dengan seksama. Judul
k u m p u l a n cerpen itu adalah Menari Bersama Ombak.
Ditulis oleh Ayatul Husna. Diterbitkan oleh penerbit
terkenal di Jakarta. Ia buka halaman demi halaman.
"Wah baru empat bulan sudah cetakan ke-5, berarti
ini buku best seller ya Fis."
"Iya Neng. Saya membaca di koran penulisnya akan
menerima penghargaan dari Diknas Pusat bulan Agustus
nanti. Sebab buku ini terpilih sebagai buku kumpulan
cerpen remaja terbaik nasional."
"Wah jadi semangat nih. Jadi ingin bertemu penulisnya
nih."
"Ya, begitu Neng. Kami jadi tambah semangat."
"O ya Fis, aku ada satu permintaan lagi."
"Apa itu Neng?"
"Aku minta agar identitasku sebagai lulusan Al Azhar
tidak disebut-sebut. Aku minta agar n a m a k u yang
digunakan dalam seminar besok nama penaku yaitu
25
Bintun Nahl. Sebut saja guru bahasa Arab, pernah nyantri
di Kudus dan Ciamis. Itu saja."
"Baik Neng, insya Allah kami penuhi."
Anna menatap kedua mata Nafisah memancarkan
sinar kebahagiaan. Dan di luar, sinar surya s u d a h
memancar menyinari alam, menebar kehangatan. Sinar
itu menyapa dengan ramah daun-daun padi yang masih
hijau, yang m e n g h a m p a r bagai permadani nan luas.
Burung-burung pipit beterbangan ke sana ke mari dengan
riang. Alam semakin hangat. Semakin benderang. Sinar
matahari pagi itu terus bergerak menerobos menyingkirkan
kegelapan.
Sinar matahari pagi itu juga menerobos sela-sela jendela
kamar Furqan di Hotel Lor Inn Solo. Furqan y a n g
menyibak perlahan tirai jendela kamarnya dengan wajah
pucat dan muram. Cerahnya pagi hari itu ternyata tak juga
sanggup mencerahkan batin, jiwa dan perasaannya. Ada
beban yang ia rasa sangat berat yang menekan jiwanya.
Itulah yang membuat dia muram di hari yang seharusnya
ia ceria.
Furqan memandang ke arah matahari. Ia berkata lirih
pada matahari,
"Apalah arti sinarmu, bagi orang yang semangat
hidupnya sudah redup dan nyaris mati!?"
Furqan menyibak jendela lebih lapang, berharap
dadanya bisa terasa lebih lapang. Wajah Anna Althafunnisa
berkelebat-kelebat dalam pikiran.
* * *
26
2
IKATAN BATIN
Sore itu dengan pembacaan surat Al Fatihah ikatan
pertunangan Anna Althafunnisa dengan Furqan resmi
sudah. Peristiwa itu disaksikan oleh tokoh-tokoh terpenting
dari dua keluarga, belasan Kiai pengasuh pesantren dan
para pemuka masyarakat desa Wangen.
Anna tampak anggun dengan dalam balutan jilbab dan
jubah panjangnya berwarna biru muda. Kecantikannya
dipuji oleh keluarga Furqan. Nyonya Maylaf, ibu Furqan,
yang tergolong wanita yang tidak m u d a h memuji
kecantikan orang lain, saat itu tidak m a m p u u n t u k
menahan pujiannya.
"Pa, calon menantu kita ini kecantikannya sungguh
alami ya." Bisik Bu Maylaf pada Pak Andi Hasan, suaminya.
Pak Andi Hasan mengangguk pelan.
Furqan tampak gagah dengan koko biru tuanya. Jika
disandingkan dengan Anna pastilah pakaian keduanya
27
akan tampak sangat serasi. Sore itu Furqan m a m p u
menyembunyikan segala muramnya.
"Padahal tidak ada kesepakatan kok baju Anna dan
Nak Furqan bisa serasi ya." Seru Kiai Lutfi Hakim, ayah
Anna Althafunnisa sambil tersenyum.
"Ini namanya benar-benar jodoh Pak Kiai." Sahut Bu
Maylaf.
"Sudah ada kontak batin yang memadukan, bukankah
begitu Fur?" Sambung Pak Andi Hasan sambil melirik
Furqan.
Furqan hanya tersenyum. Anna menunduk memandang
lantai. Kalimat-kalimat itu semakin meneguhkan
keyakinannya bahwa inilah sejarah hidupnya. Bahwa
Furqan adalah bagian dari sejarah masa depannya.
Sore itu juga disepakati hari, waktu, dan tempat akad
nikah. Setelah dialog p e n u h k e h a n g a t a n tercapai
kesepakatan bahwa akad dan pesta walimah diadakan di
desa Wangen. Di Pesantren Daarul Quran. Sementara di
Jakarta hanya acara semacam s y u k u r a n yang akan
diadakan di sebuah hotel berbintang di bilangan Cikini.
Akad nikah akan dilangsungkan pada hari Jumat kedua
bulan Agustus. Lalu disambung walimah selama dua hari
yaitu, hari Sabtu dan Ahad.
Yang menarik sebelum hari akad dan walimah
disepakati, Anna Althafunnisa mengajukan syarat kepada
Furqan jika tetap ingin menikahinya. Syarat yang sempat
membuat perdebatan sengit antara Anna dan Furqan.
"Saya punya syarat yang syarat ini menjadi bagian dari
sahnya akad nikah. Artinya farji saya halal diantaranya jika
syarat saya ini dipenuhi oleh Mas Furqan." Kata Anna di
majelis musyawarah itu.
"Apa itu syaratnya?" Tanya Furqan.
"Pertama, setelah menikah saya harus tinggal di sini.
Saya tidak mau tinggal selain di lingkungan pesantren ini.
28
Kedua, saya mau dinikah dengan syarat selama saya hidup
dan saya masih bisa menunaikan kewajiban saya sebagai
isteri Mas Furqan tidak boleh menikah dengan perempuan
lain!" D e n g a n tegas A n n a menjelaskan syarat y a n g
diinginkannya. Kalimat yang d i u c a p k a n itu c u k u p
membuat kaget Furqan dan keluarganya.
"Apa syarat-syarat itu tidak mengada-ada?" Kata Pak
Andi Hasan, ayah Furqan.
"Tidak. Sama sekali tidak. Para ulama sudah membahasnya
panjang lebar. Dan syarat yang saya ajukan ini
sah dan boleh." Jawab Anna. Pak Kiai Lutfi diam saja. Dia
percaya bahwa putrinya pasti bisa memperjuangkan apa
yang menjadi maslahat bagi masa depannya.
"Maaf, untuk syarat pertama saya rasa tidak ada
masalah. Itu sah dan boleh-boleh saja. Tapi untuk syarat
kedua, apa tidak berarti kamu mengharamkan poligami?"
Gugat Furqan.
"Mohon Mas Furqan melihat dan meneliti dengan
seksama, dibagian mana dan di teks mana saya mengharamkan
poligami yang dihalalkan oleh Al Quran. Tidak,
sama sekali saya tidak mengharamkan. Kalau Mas Furqan
menikah dengan selain saya, Mas mau menikahi langsung
empat wanita juga saya tak ada masalah. Itu hak Mas
Furqan. Syarat itu sama dengan syarat misalnya saya minta
setelah m e n i k a h Mas Furqan tidak m a k a n Jengkol,
karena saya tidak suka. Jengkol itu bau. Baunya saya tidak
suka. Apa itu berarti saya mengharamkan Jengkol? Saya
meminta syarat u n t u k s e s u a t u y a n g m e n u r u t saya
bermanfaat bagi saya dan anak-anak saya. Dan dengan
syarat ini Mas Furqan sama sekali tidak dirugikan, sebab
saya mengatakan tidak boleh menikah dengan peremp
u a n lain selama saya h i d u p d a n saya masih bisa
menunaikan kewajiban saya sebagai isteri. Kalau saya
sakit menahun dan tidak bisa menunaikan kewajiban saya
ya silakan menikah. Syarat yang seperti ini dibolehkan
29
oleh ulama." Anna beragumentasi membela syarat yang
diajukannya.
"Maaf saya b e l u m p e r n a h membaca ada ulama
membolehkan syarat seperti itu." Tukas Furqan.
"Baiklah. Tunggu sebentar!" Kata Anna. Gadis itu
masuk ke kamarnya dan mengambil sebuah kitab. Pada
halaman yang ditandainya ia membukanya dan langsung
menyodorkannya pada Furqan,
"Ini juz 7 dari kitab Al Mughni
silakan baca di halaman 93!"
karya Ibnu Qudamah,
Furqan menerima kitab itu lalu membaca pada bagian
yang diberi garis tipis dengan pensil oleh Anna. Saat
membaca kening Furqan berkerut. Ia lalu mendesah. Ia
diam sesaat. Wajahnya agak bingung.
"Jelas sekali, para ulama sepakat bahwa suatu syarat
yang menjadi sebab akad nikah terjadi harus dipenuhi.
Maka syarat saya tadi harus dipenuhi kalau ingin akad
nikah d e n g a n saya terjadi. Selama syarat itu tidak
b e r t e n t a n g a n d e n g a n tujuan p e r n i k a h a n dan tidak
menghilangkan m a k s u d asli pernikahan. Saya tidak
mensyaratkan misalnya saya hanya boleh disentuh satu
tahun sekali. Tidak! Syarat ini bertentangan dengan
maksud pernikahan. Dan ulama juga banyak yang memilih
pendapat bahwa perempuan boleh mengajukan syarat
sebelum akad nikah bahwa suaminya tidak akan menikahi
perempuan lain. Dan sang suami wajib memenuhi syarat
itu selama dia menerima syarat itu ketika akad nikah.
Imam Ibnu Qudamah ketika berbicara tentang syarat
dalam nikah sebagaimana termaktub dalam kitab Al
Mughni yang Mas Furqan pegang itu berkata: 'Yang wajib
dipenuhi adalah syarat yang manfaat dan faidahnya
kembali kepada isteri. Misalnya sang suami tidak akan
mengeluarkannya dari rumahnya atau dari kampungnya,
tidak bepergian dengan membawanya atau tidak akan
30
menikah atasnya. Syarat seperti ini wajib ditepati oleh
suami untuk isteri, jika suami tidak menepati maka isteri
berhak minta dihapuskan nikahnya. Hal seperti ini
diriwayatkan dari Umar bin Khattab ra, dan Saad bin Abi
Waqqash, Mu'awiyah, dan Amru bin Ash ra. Hal ini juga
difatwakan oleh Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid,
Thawus, Auzai dan Ishaq.'
Dan ayat yang meminta kita untuk memenuhi janji
adalah Al Maidah ayat 1, Allah berfirman, 'Hai orang-orang
yang beriman penuhilah janji-janji!" Dan dalam sebuah
hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw.
bersabda, 'Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk
kalian penuhi adalah syarat yang membuat suatu farji jadi
halal untuk kalian!'
Saya h a n y a ingin seperti Fatimah yang selama
hidupnya berumah tangga dengan Ali bin Abi Thalib tidak
dimadu oleh Ali. Dan saya ingin seperti Khadijah yang
selama hidupnya berumah tangga dengan Rasulullah juga
tidak dimadu. Sungguh saya sama sekali tidak mengharamkan
poligami. Tapi inilah syarat yang saya ajukan.
Jika diterima ya akad nikah bisa dirancang u n t u k
dilaksanakan. Jika tidak, ya tidak apa-apa. Silakan Mas
Furqan mencari perempuan lain yang mungkin tidak akan
mengajukan syarat apa-apa!" Papar Anna panjang lebar
Menghadapi argumentasi Anna, akhirnya Furqan dan
keluarganya menyerah. Mereka akhirnya menerima dua
syarat yang diajukan Anna Althafunnisa.
* * *
Sore itu juga berita telah resminya Anna Althafunnisa
putri Pengasuh Pesantren Daarul Quran bertunangan
dengan Furqan Andi Hasan dari Jakarta langsung menyebar
di seantero desa Wangen. Beberapa santri senior, beberapa
ustadz muda dan beberapa pemuda desa yang menaruh
hati dan harap menelan ludah kekecewaan. Impian mereka
31
bisa bersanding dengan putri Kiai Lutfi yang terkenal
cantik, cerdas dan shalihah itu hilang.
Seorang p e m u d a desa Wangen yang tidak bisa
menyembunyikan kekecewaannya berkata, "Aku kecewa
pada Pak Kiai. Kenapa Pak Kiai memilih calon menantu
dari Jakarta! Kenapa mesti Jakarta yang diutamakan?
Kenapa tidak memilih menantu orang sini saja. Menantu
yang sudah beliau kenal, dan sudah mengaji dan belajar
pada beliau sejak masih balita!"
"Masalahnya bukan orang Jakarta atau orang sini.
Bukan itu kukira. Aku yakin karena yang dipilih sekarang
ini adalah yang terbaik menurut Pak Kiai dan putrinya
yaitu Anna Althafunnisa. Kau boleh saja kecewa. Tapi jodoh
sudah ada yang menentukannya." Sahut pemuda yang
lebih tua.
* * *
Bu Maylaf belum mengganti gaun yang ia kenakan
dalam acara pertunangan putranya. Selepas maghrib ia
langsung mengajak Furqan jalan-jalan mengelilingi kota
Solo. Mereka hanya berdua. Pak Andi Hasan dan yang
lain memilih istirahat di hotel. Mobil Toyota Fortuner
berplat B itu melaju tenang di jalan Slamet Riyadi.
Jalan utama kota Solo itu lebar dan ramai. Di kanan
kiri berdiri bangunan-banguan metropolis; mall, hotel,
bank, butik, rumah makan, pusat elektronik dan lain
sebagainya. Meskipun bukan sebuah ibu kota provinsi,
Solo bisa disebut kota yang k e s e p u l u h terbesar di
Indonesia setelah Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan,
Semarang, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Jogyakarta.
Bu Maylaf minta Furqan menuju kraton.
"Aku ingin tahu suasana kraton dan Pasar Klewer di
malam hari." Gumam Bu Maylaf.
"Aku juga ingin, Bu." Sahut Furqan.
32
"Fur, kau bahagia?" Tanya Bu Maylaf sambil memandang
gurat wajah putranya yang tidak benar-benar cerah.
"Iya bahagialah Bu. Ibu ini ada-ada saja."
"Tapi ibu amati begitu pulang dari pesantren tadi
wajahku muram."
"Ah tidak. Ibu saja yang terlalu berperasaan."
"Tidak Anakku, ibu serius. Ibu amati kamu masih saja
murung. Sejak kamu pulang dari Cairo sampai sekarang
kamu kok sepertinya punya masalah serius? Apa kamu
sebenarnya tidak suka pada gadis itu? Merasa salah pilih?
Karena kamu sudah terlanjut melamar dia sejak di Cairo
dan terlanjur bilang sama ibu d a n ayah, kamu jadi
menanggung beban, begitu?"
"Tidak ibu. Aku tidak ada masalah apa-apa kok. Aku
suka gadis itu dan sama sekali tidak salah pilih."
"Terus kenapa kamu muram seperti tertekan sesuatu?"
"Tidak ada kok Bu. Sungguh!"
"Fur, firasat seorang ibu pada anaknya tidak pernah
salah. Ibu tahu kamu sejak kamu lahir. Kalau kamu senang
ibu hafal wajah kamu. Kalau kamu marah, kamu kesal,
k a m u kecewa, ibu hafal semua. Juga kalau k a m u
memendam masalah. Ayo ceritakanlah pada ibu, Nak!"
Desak Bu Maylaf.
M e n d e n g a r kata-kata i b u n y a itu F u r q a n ingin
m e n a n g i s , ingin r a s a n y a m e l e d a k k a n tangisan di
pangkuan ibunya sambil dielus-elus kepalanya seperti
saat masih kecil dulu. Ia ingin menceritakan musibah
yang menimpanya beberapa hari sebelum kepulangannya.
Tentang dirinya yang tanpa ia ketahui dosanya
digarap agen Mossad di Meridien Hotel. Tentang Miss
Italiana yang menghancurkan dirinya dengan virus HIV.
Tentang janjinya p a d a Kolonel Fuad u n t u k tidak
menyebarkan virus HIV yang diidapnya pada orang lain.
Dan kini ia telah bertunangan dengan Anna Althafunnisa.
33
Gadis terbaik yang p e r n a h ia kenal d a n ia ketahui.
Haruskah ia meneruskan sampai ke pelaminan?
Ia ingin mengungkapkan semua pada ibunya. Ia sangat
mencintai Anna, tapi ia tidak ingin merusak Anna. Ia tidak
tahu harus bagaimana?
Jika ia berterus terang pada ibunya, pada keluarganya.
Ia khawatir akan itu menyakit hati mereka berdua dan
merusak hidup mereka. Sebab ia tahu betapa sayang
mereka berdua padanya. Ia satu-satunya anak lelaki
mereka. Kakak d a n adiknya p e r e m p u a n . Ia tiga bersaudara.
Ia anak tengah. Kakaknya telah menikah dan kini
sedang hamil tua. Sementara adiknya hanya selesai D3 dan
tidak mau melanjutkan kuliah lagi. Ialah yang meraih
p e n d i d i k a n tertinggi, maka ialah p u t r a kebanggaan
keluarga. Apa jadinya jika ayah dan ibunya mengetahui
anak kebanggaan mereka mengidap virus HIV.
"Fur kenapa kamu diam!"
Teguran ibunya menyadarkan dirinya dari lamunan.
Ia berusaha menahan air matanya agar tidak keluar. Ia
mencoba untuk menormalkan keadaan.
"Oh tidak Bu. Aku tidak memendam masalah. Aku
hanya tegang saja akhir-akhir ini. Tegang karena akan
punya isteri. Akan benar-benar h i d u p sendiri. H i d u p
berumah tangga. Itu yang mungkin ibu lihat aku agak
muram. Hanya tegang mau hidup berumah tangga Bu."
Furqan menjawab diplomatis. Jawaban yang bisa
menutupi segala galau dan kacau yang terus menteror
perasaan dan jiwanya.
"O, begitu. Kalau itu ya memang biasa. Sebagian orang
yang akan berumah tangga mengalaminya. Ibu dulu juga
begitu. Tapi percayalah dengan berjalannya waktu semua
akan baik-baik saja. Membangun rumah tangga tidak
semenakutkan yang kau bayangkan. Dengan kerjasama
yang baik antara suami isteri nanti rumah tangga itu akan
34
sangat menyenangkan dan membahagiakan. Semoga
rumah tanggamu nanti kokoh dan barakah, Fur."
"Amin."
Malam itu mereka menikmati panorama malam di
kawasan kraton. Furqan minta ibunya menemaninya
minum wedang ronde di pojok barat alun-alun utara, tak
jauh dari masjid Agung.
"Wah wedang rondenya enak ya Fur."
"Iya Bu."
"Nanti kalau kau pengantin baru. Ajaklah Anna
minum wedang ronde di sini. Akan terasa sangat romantis
Fur. Setelah itu ajaklah jalan-jalan keliling kota. Lalu ajaklah
bermalam di hotel berbintang lima. Pasti itu akan membuat
Anna tambah berlipat cintanya padamu Fur." Kata Bu
Maylaf sambil tersenyum pada putra kesayangannya.
"Ah ibu, sudah membayangkan yang indah-indah."
"Ya, bayangkanlah yang indah-indah itu. Karena
memang yang indah-indah itu adalah hak para pengantin
baru. Saya dengar dari Pak Kiai yang mengajar di masjid
kita, bahwa Rasulullah meminta kepada pada pejaka agar
menyertai isterinya yang selama tujuh hari saat pengantin
baru. Jika isterinya itu seorang gadis. Tujuannya ya katanya
agar bisa mereguk keindahan-keindahan bersama sedalamdalamnya,
seromantis-romantisnya, agar cinta di antara
keduanya benar-benar berakar mendarah daging. Dan
dengan itu mawaddah dan rahmah lebih mudah tercipta."
"Wah ibu kayak Ustadzah saja."
"Lho, begini-begini kan ibu ini ibundanya Ustadz
Furqan, lulusan S2 Mesir."
Keduanya tersenyum. Sesaat wajah murung Furqan
hilang. Imajinasi keindahan berkelebat-kelebat dalam
pikirannya. Keanggunan Anna dalam balutan serba biru
kembali hadir di pelupuk matanya.
* * *
35
Sementara itu, di sebelah barat Kota Surakarta.
Tepatnya dalam rumah papan di sebuah kampung di
pinggir Kartasura, tampak tiga orang perempuan sedang
beraktifitas di ruang tamu yang sekaligus adalah ruang
tengah, ruang makan dan ruang kerja. Seorang perempuan
tampak sudah berumur. Kira-kira lima puluh tahunan.
Sedan gk an d u a p e r e m p u a n lainnya masih m u d a .
Perempuan setengah baya itu sibuk bekerja di depan mesin
jahit tuanya. Ia sedang menjahit korden seorang pelanggannya.
Berkali-kali perempuan itu menjahit sambil terbatukbatuk.
Perempuan setengah baya itu tak lain adalah ibunda
Khairul Azzam. Namanya Ibu Malikatun Nafisah. Di
dukun Sraten ada yang memanggil Bu Lika. Ada yang
memanggil Bu Nafis dan Bu Isah. Panggilannya yang paling
lazim dan masyhur adalah Bu Nafis.
"Bue, jangan memaksakan diri tho. Kalau sudah capek
ya istirahat. Besok pagi dilanjutkan lagi. Nanti sakit lagi."
Ucap perempuan muda berjilbab cokelat sambil menghentikan
aktifitas membacanya. Perempuan berjilbab
coklat itu lalu bangkit dari tempat duduknya dan beranjak
menuju ibunya. Ia lalu memijit pundak ibunya yang masih
sesekali batuk dengan penuh kasih sayang.
"Ya keras sedikit Na. Ke arah tengkuk Na. Pegel
rasanya. Ini biar Bue teruskan sedikit lagi ya. Biar selesai
sekalian. Masalahnya ibu sudah janji besok pagi bisa
diambil. Kalau besok belum jadi terus yang pesan datang
kan m e n g e c e w a k a n . " Lirih Sang Ibu sambil terus
melanjutkan pekerjaannya.
"Kalau Husna bisa menjahit, pasti Husna bantu. Biar
Bue istirahat saja. Bue kan sudah tua, tidak perlu memaksamaksakan
diri bekerja." Sahut perempuan berjilbab cokelat
itu sambil terus memijit Sang Ibu.
"Ah ini kegiatan ringan saja kok Na. Ya Bue kan perlu
kegiatan tho. Mosok nganggur. Ukh... ukh... ukh!" Kata
Sang Ibu sambil terbatuk-batuk.
36
"Dik Lia, maaf bisa nggak bantu Bue. Biar Bue istirahat
saja. Ini Bue sudah batuk terus!" Seru perempuan berjilbab
cokelat sambil menengok ke arah adiknya yang sedang
bergelut dengan tumpukan buku di kanan-kirinya.
"Aduh Mbak Husna, tidak bisa. Ini kerjaan sekolah
m e n u m p u k . Malam ini h a r u s beres. Bue sih, s u d a h
dibilangin tidak usah terima orderan, masih terus saja
terima. Bue tidak melihat kondisi diri sendiri. Kalau sakit
kan yang repot kita Bu. Anak-anaknya Bue." Jawab sang
adik sewot.
"Kalau tidak bisa ya sudah tho
ceramah." Sahut sang kakak.
Dik, nggak perlu
"Mbak Husna tidak tahu sih, Lia ini lagi pusing plus
repot banget. Apa Mbak n g g a k lihat kerjaan Lia!
Setumpuk nih! Lia harus lembur malam ini Mbak. Kalau
luang pasti tanpa diminta juga sudah Lia bantu kerjaan
Bue." Timpal sang adik.
"Sudah-sudah! Bue yang salah. Bue terlalu memaksakan
diri. Husna, jangan ganggu adikmu. Dia kalau luang
seperti biasa, pasti sudah bantu Bue. Ya sudah, Bue istirahat
dulu. Besok habis subuh baru akan Bue lanjutkan. Tinggal
sedikit saja kok. Ukh... ukh!" Ucap sang ibu menengahi
sambil bangkit.
Perempuan berjilbab cokelat yang tak lain adalah
Ayatul Husna, mengantarkan ibunya ke kamarnya. Sampai
di kamar ia menunggu ibunya rebahan. Lalu menyelimutinya
dengan penuh kasih sayang.
"Ibu mau Husna buatkan jahe tambah madu hangat.
Biar badan ibu hangat dan segar?"
Sang ibu mengangguk.
Husna beranjak ke dapur.
Sang ibu merasakan keharuan luar biasa. Tanpa bisa
ia cegah air m a t a n y a meleleh m e m b a s a h i pipinya.
Sedemikian sayang dan perhatian kedua putrinya itu pada
37
dirinya. Lirih ia menyampaikan rasa syukur sedalamdalamnya
kepada Allah atas karunia yang sangat mahal
ini. Meski ia membesarkan anak-anaknya tanpa didampingi
sang suami, n a m u n Allah selalu m e n u r u n k a n
pertolongannya. Keempat anaknya ia rasakan sangat
berbakti dan sangat mencintainya.
Anak pertamanya, Khairul Azzam, sejak kecil telah
menunjukkan baktinya. Prestasi-prestasinya mengharumkan
nama orang tua. Saat kuliah di Al Azhar, ia juga meraih
nilai sangat baik di tahun pertamanya. Dan ketika sang
ayah tiada, Azzam menunjukkan tanggung jawabnya
sebagai anak sulung dan satu-satunya anak lelakinya.
Azzam bekerja keras di Mesir sana. Ia tahu anaknya itu
bekerja dan berwirausaha dengan membuat bakso dan
tempe di sana. Tiap bulan m e n g i r i m k a n u a n g demi
menghidupi dan menyekolahkan adik-adiknya. Sebagai
ibu, ia sangat bangga pada anak pertamanya itu. Di saat
sang ayah tiada dan ia sakit-sakitan, nama keluarga tetap
terjaga. Seluruh adik-adiknya tetap lanjut kuliah.
Ia jadi sangat merindukan Azzam. "Segeralah pulang
Nak. Bue sangat rindu padamu. Bue ingin tahu seperti apa
wajahmu. Seperti apa baumu. Bue ingin memelukmu."
Lirihnya dalam hati didera kerinduan dan keharuan luar biasa.
Anak keduanya, Ayatul Husna, sangat halus tutur
bahasanya. Dan sangat mencintainya. Husna seolah tidak
pernah rela ada n y a m u k sekalipun m e n y e n t u h kulit
ibunya. Ia dulu pernah merasa Husna adalah anak yang
nakal. Ia ingat anak keduanya itu sewaktu kecil paling
sering bikin ulah. Paling sering berkelahi dengan anak
tetangga. Paling sering merebut mainan temannya. Dan
saat kelas tiga SMP justru ikutan karate sebagai kegiatan
ekstra kurikuler. Ia ingat bagaimana dulu Husna pernah
memukul kakaknya dengan gagang sapu sekeras-kerasnya.
Gara-garanya Husna disiram kakaknya karena sampai
pukul enam pagi belum juga bangun pagi.
38
"Anak perempuan kok kebluk!2 Kau ini sudah akil
baligh Na! Dosa kalau kau shalat subuh selalu kesiangan
apalagi tidak shalat subuh!" Seru kakaknya dengan nada
marah saat itu. Husna sangat marah diperlakukan seperti
itu oleh kakaknya. Ia bangkit lalu mengambil sapu. Dan
memukul kakaknya dengan sekeras-kerasnya menggunakan
gagang sapu. Sampai gagang sapu itu patah.
Husna memukul tepat di pelipis. Tak ayal, pelipis Azzam
berdarah.
Azzam tidak membalas. Azzam diam dengan amarah
yang meluap-luap. Oleh ayahnya Azzam dilarikan ke
dokter terdekat untuk diobati. Sang ayah lalu menghukum
Husna dengan menghajarnya. Tapi Husna melawan,
Husna malah memukul dan menendang sang ayah. Sang
ayah kalap, Husna nyaris dipatahkan tangannya oleh sang
ayah, tapi Azzam mencegah,
"Jangan ayah! Mungkin tadi Azzam yang salah. Azzam
terlalu keras pada Dik Husna."
Sang ayah mengurungkan niatnya. Akhirnya Husna
dihukum dengan diikat di dapur satu hari penuh. Husna
berontak tapi tidak bisa. Kenakalan dan kebengalan Husna
saat itu dikenal hampir oleh semua orang di kampung.
Namun kenakalan itu perlahan hilang sejak Husna
masuk SMA dan Azzam terbang ke Mesir. Husna berubah
seratus delapan puluh derajat sejak ayahnya meninggal
dunia. Sejak itu Husna disiplin mengenakan jilbab. Sangat
santun. Penyabar dan penyayang. Ia tahu bahwa di antara
yang punya andil mengubah Husna adalah kakaknya,
Azzam. Hampir setiap bulan sejak di Mesir Azzam selalu
mengirimkan surat ke Indonesia. Husna dan Lia mendapat
surat khusus.
Sekarang Husna, sudah selesai S1. Bahkan sudah selesai
sekolah profesinya sebagai psikolog. Ia sekarang dipercaya
2 Kebluk (jw.): Bangun kesiangan/tidur di waktu pagi sampai siang.
39
untuk menjadi nara sumber tetap rubrik psikologi remaja
di Radio Jaya Pemuda Muslim Indonesia (JPMI) Solo. Juga
mengajar di UNS sebagai asisten dosen.
Husna sekarang bukanlah Husna yang badung seperti
dahulu. Husna sekarang adalah bidadari yang sangat
penyabar dan penyayang. Sangat berhati-hati dalam
berbicara dan berperilaku. Tidak m a u sedikitpun
menyakiti orang.
Anaknya yang nomor tiga adalah Lia. Lengkapnya Lia
Humaira. Sudah selesai D3 PGSD dan sekarang mengajar
di SDIT Al Kautsar di Kadipiro Solo. Sambil mengajar Lia
melanjutkan pendidikannya untuk meraih S1 di STAIN
Surakarta.
Lia lebih cantik dari kakaknya. Sudah ada beberapa
orang yang melamarnya, tapi Lia menolak. Ia ingin
kakaknya duluan menikah. Memang Lia lebih putih
kulitnya dibandingkan kakaknya, Husna. Sebenarnya tidak
putih, tapi kuning langsat. Karena itulah banyak orang
mengatakan Lia lebih cantik dari kakaknya. N a m u n
sebenarnya Husna tidak kalah cantik. Kulit Husna sawo
matang seperti kulit ayahnya. Azzam dan Husnalah yang
warna kulitnya mengikuti ayahnya. Sedangkan Lia dan si
bungsu berkulit kuning langsat seperti ia, ibunya.
Lia tidak kurang baktinya. Sebisa mungkin ia berusaha
menyenangkan hati ibu. Lialah yang paling sering pergi
ke Kudus untuk menengok si bungsu yang sedang belajar
di sebuah pesantren Al Quran di Kudus.
Perempuan setengah baya itu kembali batuk.
Ia teringat si bungsu. Sedang apa si kecil Sarah malam
ini. Apakah ia sedang mengaji? Ataukah masih belajar?
Ataukan sedang lelap dalam tidurnya. Jika teringat si kecil
Sarah ia sering tidak bisa menahan rasa haru. Anak itu
baru berusia sembilan tahun sekarang. Sudah satu tahun
ini dia di pesantren. Di pesantren Al Quran untuk anak-
40
anak. Ia laksanakan sesuai dengan wasiat sang ayah
beberapa bulan sebelum meninggal. Sang ayah berwasiat
agar anak bungsunya dimasukkan ke pesantren Al Quran
supaya hafal Al Quran.
Beberapa waktu yang lalu ia, Husna dan Lia mengantarkan
si kecil kembali ke pesantren setelah beberapa hari
liburan. Saat itu sudah hafal juz 27, 28, 29 dan 30. Si kecil
begitu bahagia diantar oleh ibu dan kakak-kakaknya. Dan
saat diajak rekreasi ke pantai Kartini sebelum ke pesantren
si kecil sempat berkata,
"Kalau ada Mas Azzam pasti lebih lengkap bahagianya
ya Bue."
Ia hanya menganggukkan kepala.
Ia jadi kembali teringat Azzam. Ia tidak bisa mengingkari
bahwa Husna bisa selesai S1, Lia bisa selesai D3 dan si
kecil Sarah bisa masuk pesantren adalah karena kerja keras
Azzam, putra sulungnya yang sampai saat ini belum juga
lulus kuliah di Al Azhar.
Perempuan itu meneteskan air mata kembali. Sebuah
doa ia panjatkan,
"Ya Allah m u d a h k a n l a h semua uruasan p u t r a k u
Azzam. Aku titipkan keselamatannya pada-Mu ya Allah.
Engkau Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ya Allah
berkahilah umur dan langkahnya ya Allah. Amin."
Ia mengatupkan pelupuk matanya dan menangis. Ibu
mana yang tidak menangis bila teringat anaknya yang
sudah sembilan tahun tidak dilihatnya. Anaknya yang
selama bertahun-tahun memeras keringat, darah dan air
mata untuk kesejahteraan adik-adiknya. Ibu mana tidak
menangis dan lunak hatinya.
"Bue menangis ya?"
Suara H u s n a m e n y a d a r k a n n y a . Ia m e n g u s a p air
matanya lalu membuka pelupuk matanya.
"Ah tidak kok Na."
41
"Maafkan jika ada kata-kata Husna dan Lia yang tidak
berkenan bagi Bue ya."
"Tidak kok Na. Tidak ada yang salah dari kalian. Ibu
teringat kakakmu di Mesir dan adikmu di Kudus."
"O begitu. Husna kalau teringat Kak Azzam juga sering
menangis kok Bu. Ia kakak yang sedemikian baik pada
adik-adiknya. Insya Allah
Bu."
"Kapan Na?"
sebentar lagi Kak Azzam pulang
"Semoga bulan Agustus nanti. Makanya Bue jaga
kesehatannya ya. Biar nanti pas Kak Azzam pulang kita
bisa jalan-jalan bersama. Kak Azzam pasti akan sangat
bahagia melihat ibu sehat dan ceria."
"Ya baik Na. Aku tidak sabar menunggu hari itu. Hari
anak lelakiku pulang. Aku juga ingin melihat dia nikah
dan punya anak. Aku ingin menggendong cucu."
"Ah Bue ini terus ke mana-mana. Ya semoga dikabulkan
Allah. Amin."
"Bue mau tidur. Sudah sana teruskanlah pekerjaanmu
Na."
"Baik Bu."
Husna kembali ke ruang tamu. Ia kembali membaca.
Ia harus menuntaskan buku yang dibacanya. Ia sedang
mencari pengkayaan bahan yang akan ia gunakan untuk
mengajar mata kuliah psikologi dasar di Universitas Negeri
Sebelas Maret Surakarta.
Ruang tamu itu senyap. Husna tenggelam dengan
bacaannya dan Lia berkutat dengan tugas-tugasnya. Di luar
puluhan jangkrik mendendangkan lagu malam. Bersahutsahutan
di tengah kegelapan.
Rumah sederhana itu terletak di sebuah dusun kecil
bernama Sraten. Sebuah d u s u n yang berada di desa
Pucangan, Kartasura. Letaknya di sebelah barat jalan raya
42
Solo-Jogja. Tak jauh dari markas Kopasus, Kandang
Menjangan, Kartasura.
Sebuah dusun yang damai. Sawah-sawahnya mulai
disulap jadi perumahan. Posisi dusun itu sebenarnya sangat
strategis. Terlelak tak jauh dari pusat peradaban dan budaya.
Tak jauh dari pusat belanja dan pendidikan. Transportasi
juga mudah. Dari jalan raya besar letaknya hanya ratusan
meter saja. Ke jalan raya bisa jalan kaki. Dari pasar
Kartasura bisa dikatakan dekat. Kira-kira dua kilo saja. Dari
kampus STAIN Surakarta juga dekat. Ke bandara juga
dekat. Ke kampus UMS tidak terlalu jauh. Ke pusat kota
Solo sangat mudah.
Dusun Sraten sebuah d u s u n di pinggir kota yang
sebenarnya sudah mulai hidup dengan cara kota. Tidak
lagi menggunakan cara dusun yang sebenarnya. Dusun
yang sudah tidak orisinil dan perawan kedusunannya.
Gadis-gadis dan para pemudanya tidak lagi lugu dan polos.
Sudah banyak yang bertingkah mengada-ada dan sok kota.
Sebagian mereka bahkan tidak mau dicap sebagai orang
desa. Mereka ingin dianggap sebagai orang kota.
Memang beberapa p e r u m a h a n yang menjadi ciri
perubahan masyarakat dari desa ke kota sudah mulai hadir
di samping mereka. Di sebelah barat mereka telah berdiri
Perumahan Pucangan I. Di desa Pucangan sendiri sudah
banyak perumahan bermunculan. Perumahan-perumahan
itulah yang menghadirkan cara hidup ala kota. Dimulai
dari bentuk rumah dan cara interaksi penduduknya yang
tidak lagi cara desa.
Dua gadis itu masih larut dengan pekerjaannya di
ruang tengah ketika tiba-tiba pengeras suara dari masjid
Al Mannar m e n g u m u m k a n kabar yang mengagetkan
seluruh penduduk Sraten,
"Inna lillahi wa irina ilaihi raaji'un. Ngaturi kawuningan
dumateng bapak saha ibu sekalian.3
3 Memberitahukan kepada bapak dan ibu sekalian.
43
Telah menghadap Allah
Swt. pada malam ini tepat jam sembilan malam lebih
sepuluh menit Bapak Haji Masykur ketua RW sekaligus
bendahara takmir masjid Al Mannar. Jenazah insya Allah
akan dikebumikan besok pagi jam sembilan pagi ..."
Husna dan Lia kaget.
"Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'un."
maan mereka berdua membaca istirja'4.
Hampir bersa-
Dua perempuan
kakak beradik itu beradu pandang dengan wajah kaget.
"Kita takziah ke sana sekarang Mbak?"
" Terus Bue bagaimana?"
"Kita bangunkan saja. Kita ajak ke sana sekalian."
"Beliau kelelahan, Dik. Kasihan. Biar istirahat saja."
"Kalau begitu kita berdua ke sana."
"Sebaiknya ada yang di rumah nungguin Bue. Kalau
tiba-tiba Bue bangun dan mencari kita bagaimana? Nanti
bikin beliau bingung dan cemas. Biar aku saja ya yang ke
sana malam ini. Kalau selesaikan saja kerjaanmu itu. Besok
baru kau ke sana bersama Bue."
"Iya. Begitu juga baik Mbak. Apalagi kerjaanku ini
belum rampung juga."
"Kalau begitu Mbak pergi dulu ya Dik."
"Jangan lama-lama ya Mbak."
"Ya."
Husna membuka pintu dan melangkah ke arah masjid.
Lia menutup dan mengunci kembali pintu. Masjid itu
hanya seratus meter dari rumah Husna. Dan rumah Pak
Masykur tepat ada di belakang masjid. Di jalan Husna
bertemu Bu RT dan Pak RT yang juga bergegas ke rumah
duka.
"Bu RT, kayaknya Pak Masykur sehat-sehat saja tho
ya Bu? Tadi pagi saya ketemu beliau di warung Bu War.
4 Istirja' adalah kalimat inna lillahi wa inna ilaihi raaji'un.
44
Malah beliau pakai sepeda dan sempat berbincang sebentar
dengan saya." Tanya Husna pada Bu RT.
"Iya. Tadi siang juga masih sehat. Masih jamaah di
masjid dan s e m p a t m a m p i r ke r u m a h m e n a n y a k a n
persiapan kegiatan tujuhbelasan." Jawab Bu RT.
"Saya tadi menjelang Isya' dapat sms dari Pak Mahbub,
Ketua Takmir Masjid, kata beliau Pak Masykur kena
serangan jantung dan dilarikan ke Solo." Pak RT ikut
nimbrung.
"Ya itulah kematian, Dik Husna. Kematian itu misteri.
Kita tak tahu kapan datangnya. Tak bisa diajukan. Dan
jika sudah datang tak bisa diundurkan." Tukas Bu RT.
"Dan kematian bisa datang pada siapa saja. Tidak pilihpilih.
Lha Mbah Hadi sekarang umurnya sudah sembilan
puluh delapan. Tapi masih segar dan masih bisa ke masjid
sendirian meskipun pakai tongkat. Sementara bulan lalu
Si Jasman yang baru lulus SMA mati karena demam
berdarah." Pak RT menyambung lagi.
Husna diam mendengarkan. Kematian selalu menjadi
ibrah baginya. Karena satu sebuah kematianlah ia berubah.
Kematian ayahnya delapan t a h u n yang lalu menjadi
pelajaran yang tak mungkin terlupakan baginya. Pelajaran
yang menjadikannya mengenal dirinya sebagai manusia,
ciptaan Allah Azza wa Jalla.
"Itu Pak Mahbub sudah ada di sana." Gumam Pak RT.
Husna melihat sudah banyak orang di rumah duka.
Suasana terasa menyedihkan. Ia mendengar raungan tangis
Bu Masykur dan anak-anaknya.
"Pak jangan tinggalkan aku Paak...! Kasihan anak-anak
Paak...! Bagaimana nanti aku membesarkan mereka tanpa
Sampean Paak...!"
Bu Masykur terus meraung. Bu Mahbub yang tak lain
adalah kakak kandung Bu Masykur mencoba menenangkan
dan menghibur. Tapi usaha Bu Mahbub seperti tak
45
ada gunanya. Bu Masykur terus meraung. Husna tertegun.
Ia berhenti melangkah. Sementara Pak RT dan Bu RT terus
masuk ke rumah duka.
Husna jadi teringat saat ayahnya meninggal karena
kecelakaan. Ibunya sempat menangis meskipun tidak
setragis Bu Masykur. Ia sendiri menangis. Saat itu ia
menangis karena sedih dan menangis karena penyesalan.
Sebuah penyesalan yang sampai saat ini masih bercokol
di hatinya. Sebab ia merasa dirinyalah penyebab kematian
ayahnya.
Saat itu ia ngambek kabur dari rumah karena minta
dibelikan sepeda motor tapi tidak dibelikan. Ayahnya
berkata, "Nak, ayah tidak bisa beli sepeda motor baru.
Kalau kamu mau sekolah memakai sepeda motor pakailah
motor ayah. Biar ayah kerja pakai sepeda saja." Ia masih
ingat betul apa yang ia katakan pada ayahnya saat itu,
"Aduh Yah, gengsi dong. Masak Husna pakai sepeda
motor butut tahun tujuh puluhan begitu. Apa kata temant
e m a n H u s n a nanti. Baiklah, kalau ayah tidak m a u
membelikan maka Husna akan minggat!"
Ayahnya tetap tidak membelikan. Karena memang
tidak punya uang. Ia lalu minggat. Pergi dari rumah. Tiga
hari ia tidak pulang ke rumah. Ia tidur numpang dari
rumah teman ke rumah teman yang lain. Rupanya ayah
dan ibunya bingung dan terus mencarinya. Hari ke empat
ia tidur di rumah temannya yang paling jauh. Rumahnya
di desa Begajah yang terletak di sebelah selatan kota
Sukoharjo.
Ayahnya mendapat informasi dari seorang temannya
bahwa ia ada di Begajah. Sore itu di tengah hujan deras,
d e n g a n m e n g e n d a r a i sepeda motor b u t u t , ayahnya
menyusulnya ke Begajah. Di tengah jalan, satu kilometer
sebelum masuk kota Sukoharjo sebuah mobil sedan
berkecepatan tinggi m e n a b r a k ayahnya dari depan.
Rupanya sopir mobil sedan itu sedang stres dan mabuk.
46
Ayahnya terpelanting sejauh lima belas meter dan tewas
seketika.
Saat diberi tahu ayahnya meninggal mulanya ia tidak
percaya. Dan setelah melihat sendiri jenazah ayahnya ia
menjerit dan menangis sejadi-jadinya. Ia merasa menjadi
anak paling durhaka di dunia. Ia merasa ialah sebenarnya
yang menabrak ayahnya hingga terpelanting lima belas
meter dan tewas seketika. Ia sangat menyesal. Tapi
penyesalannya tidak akan pernah mengembalikan nyawa
ayahnya. Satu hal yang paling membuatnya semakin
menyesal adalah ketika ia tahu bahwa sang ayah siangnya
baru saja pinjam uang di bank untuk membayar uang muka
membeli sepeda motor baru. Ayahnya ingin menjemputnya
dan keesokan harinya akan diajak ke dealer agar ia sendiri
yang memilih kendaraan yang ia inginkan. Selanjutnya
ayah akan membayar setiap bulan dengan cara kredit. Ia
sangat menyesal. Betapa sebenarnya ayahnya sangat
mencintai dan menyayanginya. Dan ia merasakan itu ketika
ayahnya sudah meninggal dunia. Sejak itu ia berubah.
Air mata Husna meleleh. Ia teringat dosa-dosanya.
"Ya Allah ampunilah dosa hamba-Mu ini."
Ia mengatupkan kedua pelupuk matanya.
"Dik Husna, ayo masuk, jangan berdiri di kegelapan
sendirian begitu. Cobalah ikut menghibur Bu Masykur
d a n a n a k - a n a k n y a . " Panggilan Bu RT m e m b u a t n y a
tergagap sesaat. Ia mengusap lelehan air matanya.
H u s n a beranjak masuk. Bu Mahbub masih terus
menghibur adik kandungnya. Husna mendekati anakanak
Bu Masykur yang semuanya putri. Jumlah anak Pak
Masykur empat. Yaitu Zumrah, Zaimah, Zuhriah, dan
Zahrah. Husna hanya mendapati tiga dari mereka. Husna
tidak menemukan Zumrah.
Zaimah, Zuhriah dan Zahrah semuanya menangis
tersedu-sedu. Zaimah pingsan berkali-kali. Sementara si
47
bungsu Zahrah terus memanggil-manggil nama ayahnya.
Semuanya sudah dihibur para tetangga dan sanak saudara.
"Bu RT, saya kok tidak melihat Si Zumrah. Apa dia
belum diberi tahu kalau ayahnya meninggal?" Lirih Husna
bertanya pada Bu RT.
Bu RT mendekatkan mulutnya ke telinga Husna,
"Ssst! Kamu jangan membicarakan Zumrah. Sensitif.
Tadi saya tanya begitu sama Bu War. Ternyata Zumrah-lah
penyebab ayahnya kena serangan jantung. Menurut Bu
War tadi sore Z u m r a h pulang kuliah. Habis maghrib
katanya Zumrah cerita pada ayahnya sudah hamil. Dan
yang menghamili katanya pacarnya yang bukan seagama.
Dan katanya Z u m r a h sudah pindah agama. Z u m r a h
langsung diusir Pak Masykur. Seketika itulah Pak Masykur
jatuh kena serangan jantung."
"Astaghfirullah!" Desis Husna.
"Dan katanya Zumrah sedang diburu sama Si Mahrus
pamannya yang anggota Serse. Si Mahrus marah besar.
Katanya Zumrah mau didor!" Lanjut Bu RT sambil tetap
mendekatkan mulutnya pada telinga Husna.
"La haula wa laa quwwata illa billah! Harus dicegah
itu, jangan sampai hal itu terjadi Bu." Kata Husna setengah
berbisik,
"Karena itulah sekarang ini para pemuka sedang
musyawarah di rumah Pak Joyo. Pak RT sebentar lagi juga
mau ke sana!" Balas Bu RT.
Husna menghela nafas panjang. Gadis berjilbab cokelat
itu memejamkan mata. Ia merasakan betapa besar musibah
yang dirasakan Bu Masykur. Lebih-lebih jika anak sulungnya
itu benar-benar pindah agama, menjadi penyebab kematian
ayahnya, dan berakhir tragis di tangan pamannya sendiri
yang terkenal tegas dan tak kenal takut pada siapa.
Dalam hati Husna berharap bahwa semua yang ia
dengar tidak benar adanya. Ia tidak percaya bahwa Zumrah
48
yang sampai lulus SD menjadi teman mengajinya di masjid
sampai berbuat seperti itu. Zumrah yang oleh ayahnya
diharapkan akan menjadi isteri Azzam kakaknya jika sudah
pulang nanti. Ia belum bisa mempercayai apa yang baru
ia saja ia dengar. Ia berharap apa yang ia dengar sama sekali
tidak benar.
* * *
49
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
MR. Collection's
3
DEFINISI CINTA
Pagi itu kira-kira pukul sepuluh jenazah Pak Masykur
dikubur. Warga d u s u n Sraten larut dalam duka. Pak
Masykur dikenal sebagai seorang takmir masjid yang ikhlas
dan penuh pengorbanan. la dikenal sebagai bakul buah
yang kaya dan dermawan.
Bukan hanya kematian Pak Masykur yang begitu tibatiba
yang membuat warga duka. Namun juga peristiwa
yang menjadi sebab kematian Pak Masykur y a n g
m e m b u a t hati m e r e k a terluka. Z u m r a h , putri Pak
Masykur m e m a n g benar-benar hamil. Hamil t a n p a
memiliki suami yang sah. Itulah kemungkinan besar yang
membuat Pak Masykur begitu terpukul sampai kena
serangan jantung. Ditambah, bahwa Zumrah yang hamil
itu m e m a n g telah p i n d a h agama. D e m i m e n g i k u t i
kemauan sang pacar yang dicintainya.
Bisa dibilang Zumrah adalah kembang dukuh Sraten.
U n t u k gadis s e u m u r n y a dialah y a n g paling jelita.
50
Keindahan paras mukanya sering jadi obrolan para pemuda
saat ronda. la adalah teman Husna sejak kecil. Saat di SD
bahkan sering satu bangku dengan Husna.
Sampai lulus SD mereka berdua masih sering mengaji
Al Quran bersama di Masjid Al Mannar. Hanya saja, sejak
SMP mereka berpisah karena sekolah mereka sudah
berbeda. Husna sekolah di SMPN Kartasura, sementara
Zumrah sekolah di Ungaran. Zumrah ikut Budenya, sebab
saat itu ibunya sangat kerepotan mengurus ketiga adiknya
yang masih kecil-kecil. Saat itu Si Bungsu Zahrah belum
berumur satu tahun. Saat itu kondisi ekonomi orang tua
Zumrah sedang sulit-sulitnya. Sementara budenya hanya
punya satu anak saja.
Sejak itulah Husna tidak lagi banyak bertemu dengan
gadis yang saat ini banyak dibicarakan telah pindah agama.
Hanya sesekali ia bertemu dengan Zumrah. Biasanya
ketemu ketika Zumrah pulang karena liburan. Zumrah
sendiri pernah cerita, suasana di r u m a h Budenya itu
memang sangat longgar dan bebas. Budenya tidak ketat
dalam mengawal pergaulan anaknya, apalagi keponakannya.
Ia pernah dapat cerita, juga dari Zumrah sendiri,
bahwa anak Budenya pernah ditangkap polisi dalam kamar
sebuah hotel Melati di kawasan Kopeng karena perbuatan
asusila dan mengkonsumsi obat terlarang.
Sebenarnya Zumrah tidak betah tinggal di rumah
Budenya itu. Beberapa kali ia ingin pulang. Tapi ibunya
melarang. Ibunya minta agar Zumrah bertahan di rumah
Budenya sampai lulus SMA. Saat Zumrah lulus SMA dan
mulai kuliah perekonomian Pak Masykur mulai membaik.
Pak Masykur ingin Zumrah di Sraten saja sambil kuliah
di Solo. Namun Zumrah memilih kuliah di Jogja. Saat itu
Zumrah sudah bukan lagi Zumrah yang dikenal Husna
ketika masih SD. Setiap pekan Zumrah pulang ke Sraten.
Dan setiap pulang Zumrah hampir selalu membawa teman
pria yang berbeda. Hal itu menjadi gunjingan warga.
51
Namun Zumrah seolah tutup telinga. Berkali-kali ayahnya
mengingatkan dan menasehati, tapi Zumrah tak pernah
ambil peduli.
Sampai suatu sore warga digegerkan oleh perang
mulut yang terjadi antara Zumrah dan ayahnya. Ayahnya
marah besar karena Zumrah pulang ditemani oleh lelaki
yang beda agama. Lelaki itu terang-terangan memakai
simbol agamanya di hadapan ayahnya, Pak Masykur, yang
tak lain adalah takmir masjid Al Mannar. Pak Masykur
mengusir lelaki itu. Dan Zumrah membela pacarnya matimatian.
Terjadilah adu mulut yang sengit antara Zumrah
dan ayahnya yang didengar oleh sebagian besar warga.
Sejak itu hubungan Zumrah dengan keluarganya,
khususnya ayahnya benar-benar buruk. Zumrah jarang
pulang. Dan ayahnya sering marah jika Zumrah pulang.
Di mata sang ayah, ada saja kesalahan yang dilakukan
Zumrah. Sementara sang anak, Z u m r a h seolah tiada
pernah berhenti menteror ayahnya dengan hal-hal yang
menyesakkan dada. Puncaknya adalah terjadinya peristiwa
yang membuat luka dan duka banyak orang itu. Sembilan
puluh persen warga dukuh Sraten melihat Zumrahlah
penjahat yang membunuh ayahnya.
"Kalau aku p u n y a anak seperti dia pasti s u d a h
kusembelih!" Kata Bu War, pemilik warung kelontong di
desa itu dengan geram.
Pukul sebelas siang para pelayat sudah sampai di
rumahnya masing-masing. Matahari di atas dusun Sraten
panas memanggang. Udara d u s u n Sraten telah jauh
berubah. Telah berubah tiga kali lipat panasnya dari dua
puluh tahun yang lalu. Saat itu Husna sendirian di rumah.
Lia sedang mengajar di Kadipiro. Sementara ibunya masih
takziah di rumah Bu Masykur belum juga pulang. Husna
sedang merapikan jilbabnya bersiap ke radio ketika hand
phone bututnya berdering. Ada panggilan dari nomor yang
tidak dikenalnya. la angkat,
52
"Assalamu'alaikum. Ya hallo, siapa ini?"
"Husna, ini aku?" Suara di seberang agak serak-serak
basah.
"Aku siapa?" Tanya Husna.
"Aku! Zumrah!"
"Zumrah!?" Husna kaget.
"Ya benar."
"Kau di mana Zum?"
"Nanti kuberi tahu. Kau bisa menemuiku Na? Aku
butuh bantuanmu Na! Aku dalam masalah serius!"
"Bantuan apa?"
"Bisakah kau m e n e m u i k u , nanti aku ceritakan
semuanya."
"Kau di mana sekarang Zum? Hati-hati ya, aku dengar
p a m a n m u yang polisi itu mencarimu. Katanya mau
membunuhmu."
"Aku sudah tahu. Karena itu aku sembunyi. Aku butuh
pertolonganmu. Tolonglah Na. Kaulah satu-satunya orang
yang bisa aku ajak bicara."
"Akan aku usahakan."
"Bisa sekarang juga Na?"
"Maaf Zum, kalau sekarang tidak bisa. Sebab aku
sedang bersiap ke radio. Aku ada siaran siang ini. Habis
siaran aku langsung ke Pesantren Daarul Quran Wangen
Polanharjo, aku ada diskusi sastra dengan para santri di
sana. Bagaimana kalau kita ketemu di pesantren saja."
"Di pesantren?"
"Iya. Kenapa?"
"Tapi aku tak pernah ke pesantren Na. Aku..."
"Jangan takut. Biasa saja. Orang-orang pesantren
menyenangkan kok. Selepas shalat ashar kutunggu kamu
di Wangen ya? Rutenya dari Solo ke arah Klaten, sampai
53
di Pasar Tegalgondo belok kanan. Terus sampai Polanharjo.
Terus tanya saja mana pesantren. Gitu saja ya. Aku tergesagesa
nih."
"Ya baik Na. Terima kasih ya. Sampai ketemu nanti."
"Insya Allah."
"Eh sebentar Na."
"Ada apa lagi?"
"Kau sampai di pesantren kira-kira pukul berapa?"
"Insya Allah tepat jam satu. Acaraku setengah dua."
"Terus aku harus pakai kerudung?"
"Terserah kamu. Pakai kerudung lebih baik."
"Terima kasih Na."
"Sama-sama."
Husna m e n u t u p hand phonenya. Lalu beranjak ke
almari pakaiannya. Mengambil gamis panjangnya yang
masih terlipat rapi dan selembar jilbab. Ia bungkus koran
lalu ia masukkan ke dalam tas plastiknya. Ia lalu berangkat
ke radio JPMI Solo.
* * *
Selesai siaran di radio JPMI yang terletak tak jauh dari
GOR Manahan, Husna langsung memacu sepeda motornya
ke barat. Ia melaju menuju desa Wangen. Ia harus
menempuh jarak tak kurang dari dua puluh kilometer. Ia
melaju melewati tugu Kartasura. Lalu belok kiri ke arah
Klaten. Melewati markas Kopasus Kandang Menjangan.
Ia m e n g e n c a n g k a n laju k e n d a r a a n . Setengah jam
kemudian ia sudah sampai di pasar Tegalgondo. Ia belok
kanan. Lalu melaju dalam kecepatan pelan. Empat puluh
kilometer perjam ke arah barat. Ke arah Janti.
Di sepanjang jalan yang ia lewati berjajar pepohonan,
sebagian di antaranya pohon-pohon besar seperti pohon
Asam, Randu, Akasia dan Waru. Sesekali ada juga pohon
54
Gayam. Juga pohon Mangga. Di samping kiri jalan ada
sungai kecil yang airnya jernih mengalir sepanjang tahun.
Di kanan kiri jalan sejauh mata m e m a n d a n g adalah
persawahan yang hijau. Sesekali terlewati juga beberapa
rumah penduduk.
Angin mengalir sepoi-sepoi. Udara di sepanjang jalan
itu jauh lebih nyaman dibandingkan dengan udara Solo
dan Kartasura. Sampai di Polanharjo Husna berhadapan
dengan pertigaan. Ada papan petunjuk yang menjelaskan
letak pemancingan Janti. Di situ memang banyak berdiri
rumah-rumah pemancingan yang sekaligus rumah makan.
Biasanya di dalamnya ada juga kolam renang. Orang-orang
Solo dan Klaten sering menjadikan tempat-tempat itu
sebagai tempat pilihan u n t u k rekreasi keluarga dan
makan-makan.
Husna belok kiri. Terus melaju. Tak lama kemudian ia
sampai di Desa Wangen. Ada p a p a n petunjuk yang
mengarahkannya ke arah pesantren. Kira-kira seratus
meter sebelum gerbang pesantren ia melintasi seorang
p e r e m p u a n bercelana jeans biru kaos putih ketat.
Rambutnya tergerai ke kiri dan ke kanan ditiup angin. Ia
lihat mukanya. Perempuan itu juga melihat ke arahnya.
"Zumrah!" Teriaknya.
"Husna!" Perempuan itu juga berteriak memanggil
namanya.
Husna menghentikan sepeda motornya dan melepas
helmnya. Ia gantungkan helmnya di cantolan depan.
"Ayo naik Zum!"
Zumrah naik di boncengan. H u s n a kembali menjalankan
motornya.
"Kok jalan kaki Zum?"
"Tadi aku naik ojek. Aku ke Janti dulu tadi. Makan
siang. Terus aku jalan. Kau nggak malu memboncengkan
aku dengan pakaianku seperti ini?"
55
"Ah kalau aku sih tidak malu. Semestinya kan kamu
yang malu Zum. Bukan aku. Masak pakai pakaian ketat
begitu, pusermu kelihatan lagi. Apa nggak risih Zum."
Jawab Husna santai.
"Benar kamu tidak malu membongcengkan aku Na?"
"Kenapa malu? Apa dosaku boncengkan kamu? Justru
aku yang akan balik bertanya, apa kamu tidak malu. Nanti
ada ribuan santri lho Zum. Pasti kau akan jadi pusat
perhatian kayak artis. Kalau aku kan santai saja lha wong
pakaianku sama dengan mereka."
"Ah cuek aja!"
"Ya terserah kamu Zum. Jangan salahkan aku juga
misalnya kamu nanti tidak boleh masuk karena ada
peraturan pesantren yang mengharuskan tamu harus
berpakaian sopan."
"Wah kalau begitu pesantren memaksakan kehendak
ya Na. Tidak demokratis."
"Ya tidaklah Z u m . Pesantren sama sekali tidak
memaksakan kehendak. Lha mereka tidak pernah
memberlakukan peraturan kecuali hanya dalam lingkungan
pesantren saja. Itu kan sama seperti kamu punya rumah.
Rumah kamu full karpet. Kamu punya peraturan yang
masuk rumahmu harus copot sepatu. Apalagi jika sepatunya
kotor belepotan lumpur lagi, pasti kamu melarang keras
sepatu itu menginjak-injak karpet rumahmu yang bersih
kan? Kamu akan marah besar jika ada tamu yang nekad
tetap memakai alas kaki kotor belepotan lumpur masuk
rumahmu, apalagi misalnya sampai nekad masuk kamarmu,
terus tidur di tempat tidurmu dengan tidak mencopot alas
kakinya yang belepotan lumpur. Iya tho? Apa kalau kamu
marah pada orang seperti itu lantas kamu tidak demokratis?"
"Ya itu wajar Na. Sudah jamak. Sepatu belepotan
lumpur tidak boleh menginjak karpet, kan mengotori. Ih
itu jorok namanya Na!"
56
"Ya sama saja tho Zum. Bagi kalangan pesantren,
mengumbar aurat itu mungkin lebih jorok dari sepatu
kotor yang belepotan lumpur. Hanya bedanya lumpur itu
joroknya tampak zahir, sedangkan mengumbar aurat
termasuk pusarmu itu joroknya kasat mata. Joroknya lebih
gawat sebab bisa meracuni jiwa."
"Aduh Na, aku turun di sini saja! Sejak dulu aku tidak
akan pernah menang debat sama kamu! Aku jadi tidak
enak kalau masuk pesantren dengan pakaian seperti ini."
Husna mengurangi kecepatan sepeda motornya.
"Kamu mau menunggu aku di sini? Acaraku sampai
jam empat lho. Sekarang baru jam satu!"
"Bisa nggak Na kita bicara sebentar di sini."
"Satu menit bisa Zum."
"Ya jangan satu menit lah Na. Sepuluh menit saja."
"Maaf Zum tidak bisa. Bukan apa-apa. Bukan aku
tidak menghormatimu. Tapi aku belum shalat dhuhur.
Dan acaraku tepat setengah dua. Sekarang pembukaan
acara mungkin sudah dimulai. Lagian janji kita kan habis
ashar di pesantren. Dan kau sepakat."
"Terus aku harus gimana Na? Aku tidak enak pakai
pakaian seperti ini ke pesantren. Biasanya aku sih cuek
saja. Tapi entah kenapa aku malu."
"Ya terserah kamu."
"Kok kamu cuek begitu sih Na sama aku?"
"Kamu sendiri yang cuek sama diri kamu. Aku mau
kau ajak ketemu masak dibilang cuek. Kalau aku cuek
pasti aku menolak kau ajak bicara. Aku masih Husna yang
dulu. Husna temanmu satu bangku di SD yang dulu."
"Na kalau begitu biar aku turun di sini. Aku akan balik
saja. Aku akan cari ojek ke pasar Tegalgondo. Aku akan
cari pakaian yang lebih sopan."
"Benar kau mau cari pakaian yang lebih sopan?"
57
"Iya Na."
"Gampang. Kalau gitu kau akan aku ampirkan dulu
ke tempat teman SMA-ku. Semoga dia di rumah, sekalian
aku numpang shalat dhuhur. Eh kau sudah shalat Zum?"
Husna mencoba meraba. Benarkah yang diomongkan
orang-orang bahwa Zumrah sudah pindah agama.
"Anu Na. Em... em... Aku lagi berhalangan." Jawab
Zumrah gugup.
Jawaban yang cerdas! Desis Husna dalam hati. Ya 'aku
lagi berhalangan' maknanya bisa berhalangan karena
sedang datang bulan. Bisa juga berhalangan karena sudah
p i n d a h keyakinan. Keyakinan b a r u n y a itulah y a n g
membuatnya berhalangan dari shalat.
"O begitu, ya sudah. Kita mampir dulu ke rumah
teman SMA-ku ya."
"Boleh Na."
"Baiklah kalau begitu."
Husna tidak jadi mengambil jalan yang lurus ke
pesantren. la memutar kendaraannya lalu belok kiri ke
arah rumah penduduk. Beberapa jurus kemudian Husna
dan Zumrah sudah sampai di depan rumah tua. Dindingnya
separo bagian bawah tembok batu bata dilabur kapur
putih dan separo bagian atas papan kayu yang sudah
keropos di sana-sini. Seorang ibu setengah baya keluar.
Begitu melihat Husna langsung tersenyum.
"Oh Nak Husna. Monggo-monggo masuk Nak. Ada
acara di pesantren ya?" Sapa ibu itu.
"Iya Bu. Kok ibu tahu?" Husna balik tanya
"Diberi tahu Siti."
"Siti ada Bu?"
"Ada di belakang sedang dandan. Dia katanya juga lihat
acaramu di pesantren."
"Kalau begitu nanti bareng saja."
58
"Lha ini siapa?" Tanya ibu itu sambil memandangi
Zumrah.
"Ini Zumrah Bu, teman Husna." Husna mengenalkan,
"O ya Bu saya mau numpang shalat."
"Masuk saja Na. Wudhunya di belakang. Shalatnya di
kamar Siti saja. Sebelah kiri dapur."
Husna mengambil tas plastik ia cantolkan di bawah
stang motornya. Ia lalu masuk sambil menggandeng tangan
Zumrah. Husna langsung membawa Zumrah ke kamar
Siti. Siti kaget campur bahagia atas kedatangan Husna.
"Kau shalat di sini saja Na. Aku ke rumah sebelah ya
ada perlu sedikit nanti takut lupa." Kata Siti meninggalkan
Husna dan Zumrah.
"Zum, ini mungkin bisa kamu pakai. Semoga pas."
Husna mengulurkan tas plastiknya begitu Siti sudah hilang
di balik pintu.
"Terima kasih Na."
"Aku tidak maksa lho. Nanti kau anggap memaksakan
kehendak. Tidak kau pakai juga tidak apa-apa kok."
Z u m r a h hanya tersenyum. H u s n a mengambil air
wudhu. Lalu kembali ke kamar itu dan shalat. Selesai shalat
Husna tersenyum melihat Zumrah sudah berganti pakaian.
"Menurutku kamu malah lebih cantik pakai jilbab
Zum."
"Ah masak Na. Memuji-muji biar aku pakai jilbab ya.
Sorry Na!"
"Kamu itu Zum, kalau dipuji disalahkan arti. Tapi
kalau tidak dipuji nanti dianggap cuek. Ya terserah kamu
lah. Gitu aja kok repot. Ayo kita berangkat, jam setengah
dua kurang lima nih! Cepat sedikit, nanti terlambat!"
Mereka berdua bergegas keluar kamar. Di ruang tamu
Siti telah menunggu. Mereka bertiga pergi membelah
p e r k a m p u n g a n menuju pesantren. Siti m e n g e n d a r a i
59
Jupiter Z-nya yang masih baru. Jilbab putihnya berkibaran
diterpa angin yang mengalir dari utara ke selatan.
* * *
Pesantren Daarul Quran terletak di jantung desa
Wangen. Karena terletak di desa Wangen seringkali
pesantren ini disebut juga Pesantren Wangen. Wangen
sendiri dalam bahasa Jawa bermakna harum. Pesantren
itu berdiri tak jauh dari masjid tua yang di zaman perang
kemerdekaan dikenal sebagai markas pasukan Hizbullah.
Masjid itu di zamannya sangat dikenal oleh hampir seluruh
pejuang kemerdekaan di daerah Karesidenan Surakarta.
Masjid itu sampai sekarang masih dipertahankan
keasliannya. Kini masjid itu terjepit di sela-sela rumah
p e n d u d u k yang rapat. M e m a n g di desa Wangen,
penduduk membangun rumahnya saling merapat. Desa
Wangen sendiri dikelilingi oleh sawah yang hijau. Dulu
desa itu dikenal sebagai desa terpencil di tengah sawah.
Letaknya cukup jauh dari kota Solo maupun dari Klaten.
Jalan utama menuju Wangen dulunya adalah jalan dari
pasar Tegalgondo yang sekarang sudah beraspal.
Dari desa Wangen, panorama Gunung Merapi sangat
jelas dan memukau. Gunung yang kawahnya tiada henti
mengepulkan asap itu seperti terasa berat. Menurut cerita
orang-orang tua yang dulu pernah ikut berperang, jika
Hizbullah terdesak maka mereka akan mundur ke arah
hutan yang berada di kaki gunung Merapi. Mungkin
karena itulah maka dipilih sebagai markas Hizbullah. Tak
jauh dari masjid itu, tepatnya di sebelah selatan masjid itu
berdiri Pesantren Daarul Quran.
Pesantren itu telah ada sebelum Republik Indonesia
merdeka. M e n u r u t orang-orang tua desa Wangen,
pesantren itu didirikan oleh Kiai Sulaiman Jaiz pada tahun
1925. Kiai Sulaiman dikenal sebagai Kiai pengelana. Kiai
pengembara yang sering berpindah tempat. Setiap kali
60
diam di sebuah d a e r a h pasti m e m b u k a pesantren.
Sebelum mendirikan pesantren, Kiai Sulaiman Jaiz telah
mendirikan pesantren di Susukan Salatiga. Pesantren itu
ia serahkan pada muridnya lalu pindah ke desa Wangen
dan mendirikan pesantren yang kini dikenal sebagai
Pesantren Daarul Quran Wangen.
Pesantren itu mulanya dibangun di sebelah selatan
p e m u k i m a n p e n d u d u k . Awalnya para santri masih
menggunakan. masjid tua itu sebagai tempat belajar
mengajar. N a m u n Kiai Sulaiman merasa pesantrennya
harus memiliki kedaulatan penuh berkegiatan selama dua
puluh empat j a m akhirnya didirikanlah masjid pesantren.
Dengan tujuan agar kalau kegiatan malam tidak mengganggu
penduduk. Sebab masjid tua itu terletak di tengahtengah
pemukiman penduduk.
Setelah lima tahun berjalan, pesantren itu mulai
dikenal orang dan santrinya sudah berjumlah puluhan
orang. Karena dinilai cukup bisa mandiri, Kiai Sulaiman
menyerahkan pesantren itu pada seorang muridnya yang
paling ia anggap mumpuni. Namanya Mas Sahrun. Ia asli
putra desa Wangen. Anak carik desa Wangen, lahir di
Wangen, sejak kecil hingga dewasa tinggal di Wangen.
Begitu diamanati memegang pesantren, Mas Sahrun
menikah dengan putri lurah Wangen yang terkenal kaya.
Namanya Lurah Pujo. Putri lurah Pujo itu namanya Dewi
Sukesih.
Menurut cerita yang masih diingat masyarakat desa
Wangen, Dewi Sukesih terkenal paras rupanya yang
menawan siapa saja yang melihatnya. Banyak pemuda anak
para pejabat mulai dari Lurah, Camat, Bupati dan Wedana
yang datang u n t u k m e n y u n t i n g n y a . Tapi tidak ada
satupun yang diterima. Lurah Pujo sampai bingung kenapa
putrinya itu menolak semua lamaran yang datang.
Setelah didesak, akhirnya sang putri mengaku terus
terang bahwa dia hanya mencintai seorang pemuda yang
61
namanya Mas Sahrun bin Carik Jaelan. Dan ternyata Dewi
Sukesih itu mencintai Mas Sahrun karena suaranya yang
indah jika mengumandangkan azan. Dari pernikahan Mas
Sahrun dengan Dewi Sukesih lahirlah Lutfi Hakim, yang
kini dikenal sebagai ulama paling di segani di Klaten. Beliau
adalah ayah dari Anna Althafunnisa, Pengasuh Pesantren
Daarul Quran yang alim berwibawa.
Adapun ihwal Kiai Sulaiman Jaiz setelah itu tidak
terlacak riwayatnya. Ada banyak cerita beredar tapi tidak
bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ada yang
mengatakan Kiai Sulaiman telah pergi jauh di ujung timur
p u l a u Jawa. Tepatnya di sebuah desa pinggir pantai
Banyuwangi. Ada yang cerita Kiai Sulaiman pergi ke daerah
Mranggen Demak. Di sana Kiai Sulaiman bersama dengan
seorang Kiai bernama Ibrahim Brumbung mengangkat
senjata melawan penjajah dan akhirnya mati syahid. Cerita
tentang Kiai Sulaiman jadi simpang siur tidak jelas.
Sejak meninggalkan Wangen, Kiai Sulaiman tidak
pernah sekalipun datang lagi ke Wangen. Tak terlacak
jejaknya. Namun yang selalu diingat oleh orang-orang Kiai
Sulaiman telah m e n i n g g a l k a n w a r i s a n y a n g sangat
berharga bagi penduduk desa Wangen dan sekitarnya.
Dalam buku sejarah Pesantren Wangen tertulis dengan tinta
emas bahwa Kiai Sulaiman Jaiz adalah sang pendiri
pesantren dan guru ilmu alat5 pertama di desa Wangen.
Keadaan pesantren Wangen sekarang sangat jauh
berbeda dengan saat didirikan Kiai Sulaiman. Jika dulu
santrinya hanya puluhan sekarang sudah ribuan. Jika dulu
ilmu yang diajarkan masih terbatas membaca Al Quran,
Fashalatan, dan ilmu alat, sekarang hampir semua cabang
keilmuan Islam diajarkan. Ditambah w a w a s a n sains
m o d e r n . P e n g e t a h u a n sastra b u d a y a juga tidak ditinggalkan.
5 Maksudnya, ilmu alat membaca kitab-kitab berbahasa Arab. Yang dimaksud
ilmu alat adalah ilmu gramatikal bahasa Arab yaitu Ilmu Nahwu dan Sharaf.
62
Dan siang itu Pesantren Wangen menggelar acara besar
yang berbeda dari hari-hari biasa. Acara siang itu adalah
bedah buku kumpulan cerpen remaja terbaik nasional
berjudul Menari Bersama Ombak
berbakat dari Kartasura.
karya penulis m u d a
Aula u t a m a p e s a n t r e n p e n u h sesak oleh r i b u a n
santriwan dan santriwati. Acara sudah dimulai. Lantunan
ayat-ayat suci Al Quran m e n y u s u p ke dalam relungrelung
hati. Pada saat sambutan dari pengasuh pesantren
usai, p u l u h a n santriwati berebutan mencium tangan
Husna, Zumrah dan Siti. Panitia dengan sigap mengamankan
mereka bertiga dan langsung membawa ke kursi
di jajaran paling depan. Husna d i d u d u k k a n tepat di
samping Anna Althafunnisa. Saat kenalan Anna mengg
u n a k a n n a m a p e n a n y a Bintun N a h l . H u s n a lalu
memanggilnya dengan Mbak Bintun. Anna tersenyum
senang mendengarnya.
Akhirnya tibalah acara inti yaitu acara bedah Menari
Bersama Ombak. Ketika nama Ayatul Husna dipanggil
tepuk tangan bergemuruh di aula itu. Husna maju ke kursi
pembicara diiring Anna Althafunnisa. Sedangkan
moderatornya adalah Nafisah, santriwati yang dikenal
paling jago olah kata.
"Ini adalah hari yang sangat istimewa bagi kita. Kita
memiliki k e s e m p a t a n u n t u k berdialog d a n bertukar
pikiran dengan seorang yang kita kagumi karya-karyanya.
Kita bisa sedemikian dekat dengan penulis muda paling
berbakat yang dimiliki Indonesia saat ini. Dia adalah Ayatul
Husna yang telah menulis p u l u h a n cerpen dan telah
menerbitkan belasan kumpulan cerpen. Kumpulan cerpen
paling fenomenal hasil karyanya yang mengguncang jagat
sastra tanah air adalah Menari Bersama Ombak. Baiklah saya
tidak memperpanjang kata, kita akan dengarkan bersama
sedikit cerita dari Mbak Husna bagaimana mulanya dia
berkenalan dengan dunia tulis menulis. Apa yang men-
63
dorongya menulis karya. Serta apa inspirasinya menulis
cerpen Menari Bersama Ombak."
Nafisah membuka bedah buku itu dengan pengantar
yang cukup memukau hadirin. Aula senyap sesaat. Semua
mata tertuju pada Husna yang tampak begitu bersahaja.
Meskipun wajahnya tampak biasa saja dibandingkan
dengan Anna Althafunnisa yang duduk di sampingnya.
N a m u n wajah H u s n a tetap memancarkan aura yang
menyejukkan mata.
Sebelum memulai bicara H u s n a tersenyum pada
ribuan santriwan dan santriwati yang ada di hadapannya.
la memulai dengan memuji Allah dan membaca shalawat
kepada Rasulullah Saw. Lalu ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang menyelenggarakan acara luar biasa itu.
Juga kepada seluruh pembaca yang mengapresiasi karyakaryanya.
"Jujur saya mengenal dunia tulis menulis secara serius
sejak kelas dua SMA. Ceritanya saya memiliki seorang
kakak yang kuliah di luar negeri. Tepatnya di Universitas
Al Azhar Mesir. Hampir tiap bulan kakak saya menulis
surat untuk saya dan adik-adik saya. Saat itu saya yang
paling tua jadi saya yang berkewajiban membalas suratsurat
kakak saya.
"Ternyata, tidak terasa itu jadi latihan yang sangat
efektif bagi saya. Sebab seringkali saya harus menulis surat
sampai belasan halaman saat menjawab surat kakak saya.
"Suatu hari kakak saya menulis surat kepada saya. Dia
bercerita bahwa dia sangat tersentuh membaca surat yang
terakhir saya tulis untuknya. Ada satu perkataan kakak
saya yang sampai sekarang masih saya ingat betul dan
masih membekas dalam hati saya. Kakak saya menulis
begini,
'Suratmu, Adikku, seolah menjadi oase bagiku. Di
tengah gersang dan panasnya padang sahara kerinduan
64
kepada kalian, suratmu adalah pelepas dahaga sekaligus
penyejuk jiwa. Bahasamu bukanlah bahasa anak SMA. Tapi
bahasamu adalah bahasa jiwa para sastrawan dan pujangga
yang orisinil lahir dari malakatun nafsi, bakat jiwa. Cobalah
adikku kau gunakan bakatmu itu untuk menulis karya
sastra. Semisal puisi, cerpen atau novel. Tulislah dengan
serius. Niatkan demi mensyukuri karunia pemberian
Allah. Dan niatkan untuk sedikit-sedikit mencari nafkah
demi membahagiakan ibu kita tercinta. Aku sangat yakin
jika kau serius kau akan jadi penulis yang cemerlang!'
"Kalimat dari kakak tercinta itulah yang sangat
memotivasi saya untuk kemudian belajar teknik menulis
secara serius. Lalu saya mulai menulis. Setelah perjuangan
berdarah-darah setengah tahun lamanya. Cerpen pertama
saya berjudul "Surat Cinta u n t u k Kakak" dimuat di
majalah remaja Karima. Lalu saya terus menulis dan
menulis. Dan akhirnya saya benar-benar dikenal sebagai
penulis.
"Kenapa kalimat kakak itu begitu memotivasi? Ada
satu cerita yang mungkin ada baiknya saya sampaikan.
Semoga jika ada hikmah di dalamnya bisa menjadi lentera
bagi kita semua.
"Kakak saya itu pergi ke Mesir saat saya masih kelas
tiga SMP. Saat kakak berangkat kami tiga bersaudara. Ibu
saya sedang mengandung. Ayah saya hanyalah seorang
guru MI swasta yang nyambi jualan soto di samping pasar
Kartasura. Ibu saya sering sakit-sakitan. Ayahlah tulang
punggung dan pelindung keluarga. Meskipun pas-pasan
kami bisa hidup dengan layak. Alhamdulillah kakak ke
Mesir karena mendapatkan beasiswa.
"Setahun setelah kakak di Cairo, ayah meninggal
dunia karena kecelakaan. Dunia seperti gelap bagi saya.
Ibu nyaris tidak berdaya, sering sakit, dan baru melahirkan
adik kami paling bungsu. Di saat seperti itulah kakak saya
di Cairo mengambil perannya sebagai tulang punggung
65
sekaligus pengayom keluarga dari jauh. Kakak saya bekerja
mati-matian di Cairo. Dia berjualan tempe di sana demi
menghidupi kami di Indonesia. Demi agar saya dan adikadik
saya tidak putus sekolah. Kami hidup mengandalkan
kiriman uang tiap bulan dari Cairo. Saya bisa selesai kuliah
juga mengandalkan kiriman kakak saya dari Cairo.
"Ketika kakak menuliskan suratnya di atas, hati saya
terlecut. Saya harus bisa menulis untuk membantu kakak.
Membantu ibu. Semampunya. Akhirnya dari menulis saya
bisa dapat honor dan sedikit-sedikit bisa membantu
keluarga, meskipun tetap saja mengandalkan kiriman dari
kakak di Cairo.
"Karena didorong untuk survive, untuk bisa sedikit
bernafas dalam himpitan ekonomi, maka saya berjuang
keras dengan menulis. Alhamdulillah, Allah meridhai
ikhtiar saya. Saat ini saya bisa bernafas lebih lega di
antaranya karena menulis.
"Adapun inspirasi cerpen 'Menari Bersama Ombak'
adalah ketegaran dan kesabaran kakak saya. Saya tahu
kakak saya siang malam bekerja membuat dan menjual
tempe juga menjual bakso di Cairo. Sampai dia mengorbankan
kuliahnya. Tapi saya justru menemukan sosok
yang saya kagumi, sosok yang seolah terus menari indah
bersama ombak k e h i d u p a n yang terus d a t a n g silih
berganti. Terkadang ombak itu datang menggunung sederas
tsunami. Namun kakak mampu mengatasinya dengan
tariannya yang indah. Ini yang bisa saya sampaikan."
Begitu Husna selesai bicara tepuk tangan ribuan santri
bergemuruh beberapa saat lamanya. Anna yang duduk di
sampingnya takjub dengan uraian Husna. Takjub dengan
cara penyampaian dan isinya. Dan diam-diam takjub
dengan kakak Husna yang menjadi matahari bagi adikadiknya.
Diam-diam ia penasaran siapa kakak Husna itu?
Apakah ia mengenalnya? Selama di Mesir ia belum pernah
dengar ada seorang yang bekerja membuat tempe untuk
66
menghidupi adik-adiknya di Indonesia. Setahunya ada
mahasiswa jualan tempe untuk menambah uang saku dan
belanja hariannya. Ingin rasanya Anna memperkenalkan
kepada Husna siapa dirinya. Tapi ia saat itu ia urungkan
niatnya, ia sudah terlanjur memakai nama penanya, Bintun
Nahl.
Ketika Anna masih hanyut dengan rasa penasarannya
pada tokoh kakak yang telah mampu mendidik seorang
adik menjadi sekualitas Ayatul Husna, sang moderator
mempersilakannya untuk angkat bicara.
Anna pun berbicara dengan bahasa lugas, tulus dan
bersahaja,
"Terus terang saya bukan pakar sastra, bukan kritikus
sastra, bukan pula orang yang bergelut dengan dunia sastra.
Saya hanya orang awam, yang bolehlah disebut pecinta
sastra.
Dalam pandangan saya yang awam sastra, cerpencerpen
Mbak Husna ini bisa digolongkan sastra bertendens.
Sastra yang mengajak pembacanya untuk sadar
sebagai manusia. Cerpen Menari Bersama Ombak mengajak
kita bersabar atas musibah yang menimpa dan bersyukur
atas apa saja yang diberikan oleh Allah kepada kita.
Saya awam sastra tapi cerita Mbak Ayatul Husna tadi
tentang bagaimana ia berjuang untuk survive dengan
menulis bagi saya adalah juga sebuah karya sastra. Bahkan
karya sastra yang dahsyat sebab itu adalah pengalaman nyata.
Bahkan sosok Ayatul Husna itu sendiri adalah karya sastra.
Senyumnya, sorot matanya, keteduhan wajahnya, gerak
tangannya dan tutur katanya. Semuanya adalah sastra!"
Spontan hadirin tersenyum dan bertepuk tangan
d e n g a n g e m u r u h . H u s n a tersipu-sipu m e n d e n g a r
perkataan Anna. Husna merasakan bahwa yang duduk di
sampingnya bukan orang yang awam sastra tapi orang
yang sepertinya sangat mengerti sastra.
67
Setelah itu acara disambung dengan dialog interaktif.
Puluhan santri mengacungkan tangan. Dua santri putra
dan dua santri putri terpilih untuk bicara dan bertanya.
Satu persatu keempat santri menyampaikan isi hatinya.
Ada yang menyampaikan kesannya saat membaca cerpen
Menari Bersama Ombak. Ada yang bertanya bagaimana
caranya mencari ide menulis? Ada juga yang bertanya tips
menulis yang baik. Dan p e n a n y a terakhir, seorang
santriwati berjilbab merah marun berkata,
"Salah satu cerpen dalam buku ini berjudul Ketika
Naya Jatuh Cinta. Pertanyaan saya, orang kok begitu sering
berbicara tentang cinta. Pertanyaan saya apa sih sebenarnya
cinta menurut Mbak Husna dan menurut Mbak Bintun?
Dan pertanyaan saya kalau boleh jujur pernahkan Mbak
berdua jatuh cinta? Dan maaf kalau ini terlalu vulgar,
bolehkah kami tahu jatuh cinta sama siapa?"
Husna menjawab semua pertanyaan dengan baik dan
runtut. Untuk pertanyaan terakhir Husna menjawab,
"Menurutku,
cinta adalah kekuatan
yang mampu
mengubah duri jadi mawar,
mengubah cuka jadi anggur,
mengubah malang jadi untung,
mengubah sedih jadi riang,
mengubah setan jadi nabi,
mengubah iblis jadi malaikat,
mengubah sakit jadi sehat,
mengubah kikir jadi dermawan
mengubah kandang jadi taman
mengubah penjara jadi istana
mengubah amarah jadi ramah
mengubah musibah jadi muhibah
itulah cinta!6
6 Diadaptasi dengan banyak perubahan dari puisi Rumi dalam Masnawinya.
68
Mendengar puisi itu, sepontan para santri mengumandangkan
takbir dan bertepuk tangan penuh rasa
takjub. Puisi itu begitu indah menyihir perasaan mereka.
Sang moderator lalu beralih ke Anna Althafunnisa.
"Kalau menurut Mbak Bintun Nahl, cinta itu apa?"
Tanya moderator.
"Emm... apa ya?" Jawab Anna sambil berpikir. la diam
sesaat. Para santriwati diam. Mereka sangat penasaran apa
yang akan dikatakan putri Kiai mereka tentang cinta.
"Mmm... cinta! Menurutku,
Sekalipun cinta telah kuuraikan dan kujelaskan panjang
lebar.
Namun jika cinta kudatangi aku jadi malu pada
keteranganku sendiri.
Meskipun lidahku telah mampu menguraikan dengan
terang.
Namun tanpa lidah,
cinta ternyata lebih terang
Sementara pena begitu tergesa-gesa menuliskannya
Kata-kata pecah berkeping-keping begitu sampai
kepada cinta
Dalam menguraikan cinta, akal terbaring tak berdaya
Bagaikan keledai terbaring dalam lumpur
Cinta sendirilah yang menerangkan cinta
Dan percintaan!"7
Jawaban Anna terasa lebih dahsyat. Dan aula pesantren
itu kembali larut dalam gemuruh tepuk tangan sebagai
tanda rasa takjub, dan bahagia bercampur cinta. Acara
siang itu benar-benar terasa hidup. Para santri mendapat
pencerahan yang berbeda dari biasanya.
Sementara Zumrah yang d u d u k di bangku depan
deretan hadirin, tak bisa menahan air matanya. la kagum
7 Petikan puisi Rumi dalam Diwan Shamsi Tabriz diterjemahkan oleh Abdul Hadi
W.M.
69
sekaligus iri pada Husna, Bintun Nahl yang tak lain adalah
Anna Althafunnisa dan pada seluruh santri putri yang
sedemikian bergairah merajut masa depan. Mereka dalam
pandangannya ibarat mata air jernih yang menyejukkan
dan belum tercampur kotoran. Sementara ia rasa dirinya
ibarat comberan yang menjijikkan. Ia bertanya dalam hati
mungkinkah ia kembali bening seperti mereka?
* * *
70
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
MR. Collection's
4
TANGIS DUA SAHABAT
Begitu Anna Althafunnisa selesai menjawab pertanyaan
tentang cinta, moderator membuka termin kedua.
Ashar masih dua puluh menit lagi. Anna Althafunnisa
menyentuh bahu Husna. Spontan Husna mencondongkan
wajahnya ke arah Anna.
"Maaf Mbak Husna, saya tidak bisa mengikuti sampai
acara. Saya harus minta diri sebab ada janji. Sekali lagi
saya mohon maaf sebenarnya saya ingin berbincangbincang
dengan Mbak Husna panjang lebar. Insya Allah
saya janji akan berkunjung ke rumah Mbak Husna. Tolong
alamatnya di tinggal saja di panitia. Mohon maaf jika saya
dirasa k u r a n g p a n t a s m e n d a m p i n g i Mbak H u s n a .
Sebenarnya yang mendampingi seharusnya Ibu Nila
Kumalasari, M.Ed. Dosen Fakultas Tarbiah STAIN, tapi
mendadak beliau ada halangan. Saya dipaksa untuk
menggantikannya." Pamit Anna pada Husna setengah
berbisik.
71
"Aduh saya berterima sekali Mbak Bintun. Agaknya
saya harus banyak belajar sama Mbak. Puisi Mbak tentang
cinta luar biasa. Benar ya kapan-kapan main ke rumah."
Jawab Husna.
"Insya Allah." Jawab Anna. Lalu beranjak meninggalkan
aula. Husna sama sekali tidak tahu identitas gadis jelita
yang mendampinginya itu. la hanya itu dia adalah seorang
guru yang mengajar bahasa Arab di pesantren. Namanya
Bintun Nahl. Dalam hati Husna berkala, "Jika nanti Mas
Azzam pulang dan ternyata Mbak Bintun Nahl tadi belum
bersuami dan tidak ada yang punya, bisa jadi kakak ipar
saya. Orangnya cantik dan kelihatan cerdas."
Termin k e d u a tak kalah serunya d e n g a n termin
pertama. Karena para santri mengetahui Anna juga seorang
psikolog, banyak juga yang bertanya tentang permasalahan-
permasalahan yang mereka hadapi sehari-hari.
"Mbak Husna yang saya hormati. Saya punya satu
pertanyaan, maaf kalau keluar dari tema diskusi kali ini.
Saya ini sering sakit hati karena marah pada teman. Sering
marah pada orang lain yang berbuat salah pada saya.
Meskipun dia telah minta maaf tetapi hati saya sering masih
sakit. Ini kenapa ya Mbak? Apa yang harus saya lakukan."
Tanya seorang santri lelaki bernama Toni yang masih kelas
dua Madrasah Aliyah.
Dengan tenang Husna menjawab pertanyaan itu,
"Dik Toni, yang perlu kamu lakukan adalah membuka
pintu maafmu yang setulus-tulusnya pada orang yang
menyakitimu. Jika kamu masih merasa sakit hati padahal
dia sudah minta maaf maka itu berarti kamu belum benarbenar
memaafkannya. Salah satu ciri kita telah tulus
memaafkan orang lain adalah jika kita tidak lagi
terbelenggu oleh rasa sakit hati kita karena perbuatan
orang lain itu. Memberi maaf itu Dik mampu membuka
belenggu-belenggu sakit hati. Mampu menyingkirkan
kebencian. Dan memaafkan adalah k e k u a t a n y a n g
72
sanggup menghancurkan rasa mementingkan diri sendiri!
Dan ingat Dik, ketika kamu memberi maaf itu tidak berarti
kamu lebih rendah atau kalah. Justru ketika kamu bisa
memberi maaf kamu telah menang dan kedudukanmu
lebih terhormat dibandingkan orang yang kau beri maaf!"
Acara bedah kumpulan cerpen itu selesai tepat saat
azan ashar dikumandangkan. Husna, Zumrah dan Siti
diajak panitia ke kantor pengurus pesantren. Para santri
bubar untuk bersiap shalat ashar.
"Silakan masuk Mbak Husna. Mbak w u d h u saja di
kamar mandi yang ada di dalam kantor supaya tidak
berebutan dengan santriwati. Setelah ashar nanti ke sini
lagi. Anak-anak banyak yang ingin foto bersama dan minta
tanda tangan." Kata Nafisah pada Husna. Husna mengikuti
saja apa yang diminta panitia. Ia, Zumrah dan Siti masuk
kantor. Ia dan Siti lalu mengambil air wudhu. Sementara
Zumrah hanya duduk di sofa.
"Mbak Zumrah sedang tidak shalat ya? Sedang datang
bulan?" Tanya Nafisah.
Zumrah hanya menganggukkan kepala.
Ketika iqamat dikumandangkan, Husna diiringi Siti
dan Nafisah melangkahkan kaki ke masjid. Di depan pintu
masjid tiga orang santriwati yang bertemu Husna langsung
menyalami dan mencium tangan Husna. Husna jadi salah
tingkah. Husna ketinggalan satu rakaat.
Selesai ashar, H u s n a d i s i b u k k a n meladeni p a r a
santriwati yang ingin berfoto bersama. Lalu ia sibuk
menandatangani ratusan buku kumpulan cerpennya milik
para penggemarnya. Di tengah-tengah kesibukannya
menandatangani kumpulan cerpen itu ia bertanya pada
Nafisah,
"Dik Nafisah, saya pernah dengar Pak Kiai Lutfi punya
anak perempuan yang kuliah di Mesir ya. Apa dia masih
kuliah di sana?"
73
Nafisah agak terkesiap mendengar pertanyaan itu. la
jadi merasa berdosa pada Husna, karena tidak menjelaskan
siapa sebenarnya Bintun Nahl. Tapi seperti itulah
permintaan Anna. Untuk menjawab pertanyaan Husna,
Nafisah tidak berani berbohong.
"Tadi itu putri Pak Kiai Mbak?" Jawab Nafisah.
"Yang jadi pembanding tadi?"
"Iya."
"Masya Allah. Kenapa kamu tidak mengenalkannya
kepadaku sebagai putrinya Pak Kiai?"
"Maafkan kami Mbak. Kami inginnya mengenalkan
begitu. Tapi putri Pak Kiai tidak mau. Dia malah minta
dikenalkan dengan nama pena yaitu Bintun Nahl."
Nafisah merasa sangat bersalah.
"O begitu. Ya nggak apa-apa. Siapa nama dia sebenarnya?"
"Kami memanggilnya Neng Anna. Lengkapnya Anna
Althafunnisa. Maafkan kami ya Mbak."
"Santai saja. Ini masalah kecil. Kalian tidak salah.
Hanya nanti sampaikan pada Neng Anna, dia berjanji mau
main ke rumah saya. Saya tunggu janjinya. Jika tidak dia
tepati dia munafik gitu ya."
"Iya."
Husna terus menandatangani buku-buku itu.
"Na, gimana rasanya memiliki banyak fans?" Tanya
Siti menggoda.
"Kamu pengin ya Ti? Makanya nulis!" Jawab Husna
santai.
"Mumet8 aku kalau disuruh nulis Na. Mending nanam
padi di sawah!" Tukas Siti.
8 Pusing.
74
"Aku kalau diminta menanam padi di sawah malah
mumetl M e n d i n g nulis." Balik H u s n a sambil terus
mengambil buku, membukanya dan menandatanganinya.
Zumrah tidak bisa menahan diri.
"Kalau aku diminta nulis atau diminta menanam padi
mumet semua!"
Nafisah hanya tersenyum saja mendengar percakapan
tidak perempuan yang menjadi tamunya itu.
* * *
Sayup-sayup Husna mendengar lantunan bait-bait
syair yang dilantunkan bersama-sama dari gedung yang
ada di belakang kantor pengurus pesantren putri,
Alhamdulillahi al-ladzi qad waffaqa
Lil 'ilmi khaira khalqihi wa littuqa
Hatta nahat qulubuhum li nahwihi
"Itu bunyi syair apa Dik?" Tanya Husna pada Nafisah.
"Itu syair nadham 'Imrithi
"Isi syair itu apa Dik?"
Mbak." Jawab Nafisah.
"Syair-syair itu memuat kaidah-kaidah kunci tata bahasa
Arab. Nadham Imrithi itu nama sebuah kitab berisi ilmu
nahwu Mbak. Ilmu nahwu itu ya ilmu tata bahasa Arab."
"O, begitu."
"Ini Mbak masih tiga." Nafisah menyodorkan tiga
buku yang langsung ditandatangani Husna satu persatu.
"Alhamdulillah
nafas lega.
sudah selesai." Husna mengambil
"Kalau begitu aku bisa bicara Na?" Tanya Zumrah
dengan suaranya yang serak-serak basah. Sejak tadi
Zumrah memang diam saja. la merasa hari mulai sore dan
dia harus bicara dengan teman kecilnya itu.
Husna jadi teringat kenapa Z u m r a h sampai ikut
dengannya ke pesantren itu. Bahkan sampai mengganti
75
pakaiannya yang mengumbar aurat dengan gamis dan
jilbab yang menutup aurat.
"Oh iya Zum. Maaf ya. Kita bisa bicara sekarang."
"Tapi aku ingin hanya berdua."
Husna lalu minta ijin pada Nafisah untuk menggunakan
kamar pengurus itu hanya untuk dia dan Zumrah
saja. Sementara Siti pamitan minta diri,
"Terus menulis ya Na. Aku tunggu karya berikutnya.
Jangan pernah lupa aku pembaca setia karya-karyamu. Aku
adalah pecinta sastra meskipun aku seorang petani yang
kerjanya setiap hari belepotan lumpur di sawah."
"Iya. Terima kasih Ti ya. Salam buat ibu. Kalau pas
kamu ke Kartasura atau ke Solo mampir. Nanti aku bikinin
nasi goreng babat pete kesukaanmu. Okay?"
"Beres."
Maka tinggallah mereka berdua; Husna dan Zumrah
di kamar pengurus itu. Zumrah mengambil nafas lalu
bicara.
"Aku dalam masalah serius Na. Aku tak tahu lagi harus
bagaimana?"
"Masalah apa itu?"
"Aku sedang hamil Na?"
"Apa!?... Hamil!?"
"Ya, Na."
"Yang benar Zum!?"
"Benar Na. Aku sedang tidak bergurau."
"Kau sudah menikah?"
Zumrah menggelengkan kepala.
"Jadi!?" Husna kaget bukan kepalang. Berarti berita
yang tersebar di dukuh Sraten benar.
"Ya. Aku telah berzina Na. Aku perempuan kotor Na!"
"Tapi kamu tahu siapa ayahnya!?"
76
Z u m r a h kembali m e n g g e l e n g k a n kepala sambil
berkata lirih,
"Aku tak tahu persis Na. Aku perempuan kotor."
Lalu tangis Zumrah pecah. Perempuan itu menutup
kedua mukanya.
"Kau hamil karena diperkosa?"
"Tidak Na. Aku tidak diperkosa Na. Sudah kukatakan
aku ini perempuan kotor Na. Penuh borok dan dosa.
Aku ini perempuan yang buta mata dan buta hati sampai
mana ayah janin yang ada di perutku ini pun aku tidak
tahu. Aku harus bagaimana Na?"
"Aku tidak tahu Zum. Tapi kenapa kau lakukan ini
semua Zum? Kenapa kau tidak menikah secara baik-baik
saja?" Tanya Husna sambil menahan perih dalam hatinya.
"Itulah yang ingin aku lakukan Na. Tapi ayahku
menghalanginya. Aku frustasi akhirnya kuhancurkan
diriku sendiri!"
"Aku tak paham maksudmu. Kau harus menceritakan
dengan detil dan jujur, Zum. Baru kita akan cari jalan
keluarnya."
"Terima kasih Na. Kaulah temanku yang selalu bisa
kuajak bicara. Aku tidak kuat lagi menanggung ini !"
"Sudah ceritakanlah dengan cepat, jujur dan jelas. Kita
tidak punya banyak waktu di sini."
"Baik Na. Dulu entah kau masih ingat atau tidak, aku
pernah cerita kepadamu sebenarnya aku ingin selalu di
rumah. Di dukuh Sraten. Bersama kedua orang tua. Tapi
lulus SD aku dititipkan Budeku di Ungaran. Karena saat
itu ibuku sedang ribet-ribetnya ngurus anak. Dan ekonomi
keluarga sedang susah-susahnya. Aku manut sama orang
tua.
Aku tinggal tidak kurang suatu apa pun di rumah Bude
selain kasih sayang dan perhatian. Budeku dan Pakdeku
77
itu dua-duanya bisnismen. Jarang di rumah. Sebenarnya
pembantu Bude baik padaku. Tapi yang jadi sumber petaka
dan masalah adalah anak Bude. Hal ini belum pernah aku
ceritakan siapa pun sebelumnya.
Aku pernah cerita anak Budeku sangat bebas pergaulannya.
Pernah ditangkap polisi karena obat-obatan di
Kopeng. Anak Budeku inilah sebenarnya yang merusak
hidupku. Dia umurnya lebih tua tiga tahun di atasku. Saat
aku kelas d u a SMP berarti dia kelas d u a SMA, dia
mengagahiku. Di rumahnya. Ketika tidak ada siapa-siapa."
"Innalillah!" Husna tersentak kaget.
Zumrah lalu menangis tersedu-sedu.
"Na saat itu aku tak punya tempat untuk mengadu.
Aku tak berani mengadu pada Pakde dan Bude. Juga tak
berani m e n g a d u p a d a ayah dan ibuku. Aku takut
pengaduanku membuat ayah dan ibu akan bertengkar
dengan Pakde dan Bude. Aku diam saja. Aku hanya bilang
sama ayah bahwa aku ingin pulang saja kembali ke rumah.
Tapi ayah tetap memaksa agar aku kembali ke rumah Bude.
Ayah ingin aku menyenangkan Bude karena Bude sedang
memberi modal pada ayah untuk usaha jualan buah.
Akhirnya dengan terpaksa aku kembali ke Ungaran.
"Dan yang lebih menyakitkan lagi Na... kejadian itu
tidak hanya sekali, berulang kali menimpa diriku. Sampai
tak terhitung jumlahnya. Bahkan bisa dipastikan ia
melakukannya setiap kali Pakde dan Bude ke luar kota.
Dan pada saat kelas dua SMA aku hamil. Aku gugurkan
kandunganku diam-diam. Tak ada yang tahu. Sampai
akhirnya aku kuliah di Jogja.
"Anehnya Na, aku justru tidak terlalu dendam pada
anaknya Bude itu. Aku tahu dia memang nakal dan jahat
sejak sebelum aku tinggal di sana. Tapi aku justru dendam
pada ayah dan ibuku. Aku tidak bisa memaafkan mereka
karena aku merasa ditelantarkan. Dibuang ke rumah Bude
78
yang menyebabkan aku jadi korban kejahatan. Sejak itu
aku selalu cari perkara untuk melampiaskan dendamku.
Jika banyak anak mencari tahu apa yang membuat senang
orang tua, aku sebaliknya. Aku mencari tahu apa yang
paling tidak disuka oleh orang tua. Pokoknya semua yang
membuat orang tua sakit hati pasti aku lakukan. Ini aku
katakan dengan jujur Na. Aku tidak pernah mengatakan
hal ini pada siapapun. Hanya padamu.
"Karena h a m p i r setiap kali p u l a n g aku selalu
menyakitkan ayah ibu, akhirnya mereka menyetop uang
kuliahku. Aku tak ambil pusing. Aku bisa mencari uang
sendiri dengan modal kecantikanku. Apalagi aku toh telah
menjadi gadis yang rusak karena diperkosa.
"Sampai klimaksnya satu bulan yang lalu Na. Aku
bilang pada ayahku aku mau nikah dengan pacarku yang
berbeda agama. Aku sudah tahu reaksi ayah dan ibuku
pasti akan marah besar. Memang itulah yang aku inginkan.
Saat mereka marah, aku pergi begitu saja sambil menutupi
dua telinga.
"Lalu aku teror kembali mereka dengan menunjukkan
hasil test Prodia bahwa aku telah hamil. Aku katakan
pada ayah dan ibu bahwa aku hamil dengan pacarku yang
beda agama. Padahal sesungguhnya tidak. Aku hamil
dengan orang yang tidak aku ketahui yang mana.
"Ayah marah besar. Dadanya sakit lalu jatuh. Mungkin
serangan jantung. Aku lari ketakutan. Sampai sekarang
Na. Aku dengar ayah meninggal dunia karena itu.Aku
tidak mengira hal itu akan terjadi. Kini aku sadar, aku khilaf
Na. Aku sudah sangat keterlaluan! Sekarang aku harus
bagaimana Na? Aku harus bagaimana? Sekarang semua
orang membenciku, membenci pelampiasan dendamku.
Aku harus bagaimana hu... hu..." Z u m r a h menangis
sesengukan.
Suasana menjadi hening seketika, mata H u s n a
berkaca-kaca. la p u n tak m e n d u g a kalau sahabatnya
79
sampai mengalami perjalanan hidup seperti itu. Tangisnya
p u n pecah, ia tidak kuasa mendengar cerita sahabatnya
itu. Ya, sebuah cerita yang benar-benar menyayat hatinya.
Cerita tentang rasa sakit hati yang luar biasa pedih dari
seorang sahabat. Ia merangkul sahabatnya itu. Keduanya
menangis berangkulan.
"Kau tidak pindah agama kan Zum? Ukh... ukh..." Tanya
Husna sambil terisak dengan tetap merangkul Zumrah.
"Tidak Na. Aku tidak pernah pindah agama. Aku
memang telah rusak. Aku jarang shalat, tapi aku tak pernah
menyatakan pindah keyakinan. Aku sadar hal itu Na."
Jawab Zumrah.
"Kau tetap sahabatku. Aku akan berusaha membantumu
semampuku Zum."
"Terima kasih Na. Apa yang harus aku lakukan Na?
Aku selalu mendengarkan rubrik psikologimu di radio.
Tolong beri aku saran!"
"Baiklah Z u m . " Kata H u s n a sambil melepaskan
rangkulannya. Ia mengusap kedua matanya yang basah.
Husna lalu melanjutkan,
"Yang pertama kali harus kau lakukan adalah kau
memaafkan ayah dan ibumu. Maafkanlah mereka dengan
setulus hati. Barulah setelah itu kau akan bisa hidup. Jika
kau tidak bisa memaafkan mereka dengan tulus kau akan
terus terbelenggu. Tadi di acara b e d a h aku katakan
memberi maaf itu mampu membuka belenggu-belenggu
sakit hati. M a m p u m e n y i n g k i r k a n kebencian. Dan
memaafkan adalah k e k u a t a n y a n g s a n g g u p menghancurkan
rasa mementingkan diri sendiri!
"Karena selama ini kau tidak mau memaafkan. Kau
selalu mementingkan dirimu sendiri. Kau menganggap
dengan sikap diammu, dan m e m e n d a m sakit hatimu
seorang diri akan menyelesaikan masalah waktu itu.
Memang benar, ayah ibumu dalam dilema waktu itu. Di
80
saat kesusahan ekonomi, ia harus tetap mempertahankan
kamu untuk tetap sekolah dan menjaga hubungan baik
dengan Pakde dan Bude. Tapi ayah dan ibumu tidak tahu
kalau anaknya Bude sekotor itu. Dan ketika permasalahan
semakin rumit, kau malah menganggap ayah dan
ibumu menjerumuskan kamu. Padahal mereka benarbenar
tidak tahu permasalahanmu itu. Kau tak pernah
peduli betapa sakitnya kedua orang t u a m u d e n g a n
p e r b u a t a n - p e r b u a t a n m u . Dan ketika a y a h m u s u d a h
meninggal, yang jadi korban b u k a n hanya ibu kamu
bahkan yang jadi korban adalah juga ketiga adik kamu
yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah."
"Tapi rasanya sangat susah aku memaafkan mereka."
"Zum, mana ada orang tua yang ingin menelantarkan
anaknya? Kamu salah alamat Zum. Seharusnya kamu tidak
membenci dan mendendam pada mereka. Seharusnya
kalau kamu harus dendam ya dendamlah pada anak
Budemu yang jahat itu."
"Tapi ia sudah mati ditembak polisi Na."
"Kenapa dosa penjahat yang sudah mati kau lampiaskan
pada orang tuamu. Sebenarnya aku yakin tujuan ayah
dan ibumu saat itu baik. Kamu disuruh tetap di tempatnya
Bude agar kamu bisa sekolah dengan baik. Kalau kamu
saat itu cerita yang sebenarnya kamu alami pada ayahmu
mungkin akan lebih baik. Belum tentu ayahmu, ibumu,
Budemu dan Pakdemu akan marah padamu. Bisa jadi
mereka justru akan sangat sayang padamu dan mereka
akan mencari cara terbaik bagaimana mendidik anak
Budemu yang nakal itu. Karena kau diam saja, semuanya
jadi parah separah-parahnya dan tidak ada yang tahu. Tahu
mengalami nasib seperti ini. Anak Budemu tetap jadi
penjahat dan mati di tangan polisi. Dan ayah kamu mati
kena serangan jantung karena terormu."
"Apakah aku di matamu sudah terlalu kotor dan jahat
Na?"
81
"Sekotor-kotornya manusia dan sejahat-jahatnya
manusia, pintu ampunan Allah terbuka lebar. Selalu ada
pintu kembali ke jalan kesucian dan kebaikan."
"Benarkah Na?"
"Benar. Awalilah langkahmu dengan memaafkan
kedua orang tuamu yang kau anggap sudah tak termaafkan.
Maafkanlah mereka. Lalu maafkanlah dirimu sendiri.
Lalu melangkahlah di jalan orang-orang normal pada
umumnya!"
"Apa seperti ini aku tidak normal Na?"
"Tanyakanlah p a d a nuranimu. Pada hati kecilmu
sendiri Zum. N u r a n i m u lebih berhak menjawabnya.
Hanya itu yang saat ini aku sarankan Zum. Ini sudah sore.
Ayo kita minta diri."
"Aku sekarang tak tahu harus kemana melangkahkan
kaki Na. Aku bingung. Aku dengar pamanku yang polisi
itu sangat marah dan aku akan dibunuhnya. Aku takut
Na. Bagaimana ini?"
"Kita pamit dulu. Nanti aku akan coba berbicara
d e n g a n p a m a n m u . Dan jika kau m a u menjalankan
saranku tadi, aku akan membantu menjelaskan pada
ibumu dan warga agar adil memperlakukan kamu. Ayo
kita pamit. Hari sudah petang."
"Baik Na. Tapi aku mau cuci muka dulu."
"Benar, aku juga."
Keduanya lalu mencuci muka agar bekas-bekas tangis
hilang dari wajah mereka. Setelah cuci muka, wajah
keduanya tampak lebih segar dan bersih. Keduanya lalu
minta diri meninggalkan Pesantren Wangen yang damai.
Hati Zumrah sedikit lega setelah bisa menangis dan
menceritakan beban hidupnya pada Husna. la hayati betul
kata-kata teman kecilnya itu. la harus memaafkan. Harus
belajar memaafkan! Itu kuncinya.
82
Husna mengendari sepeda motornya meninggalkan
desa Wangen. la hanyut dalam diam. la tak pernah mengira
teman sebangkunya di SD itu sebenarnya mengalami
penderitaan batin yang sedemikian dalam. Jalan hidupnya
penuh semak belukar dan duri tajam.
Sementara itu, Z u m r a h y a n g m e m b o n c e n g di
belakang memandang lurus lekuk langit di kejauhan. Senja
perlahan turun. la dapat melihat di kejauhan sana betapa
sebagian besar kehijauan pepohonan telah menghilang di
bawah langit petang.
la merasakan satu hukum alam, saat cahaya hilang
maka kegelapan akan datang. la jadi bertanya apakah
cahaya dalam hatinya selama ini telah hilang, sehingga
yang ia rasakan hanyalah kegelapan dan kelam?
"Zum." Sapa Husna dengan tetap tenang mengendarai
sepeda motornya ke arah Tegalgondo
"Iya Na." Jawab Zumrah.
"Aku punya teman di Colomadu. Kau mau menginap
di sana sementara."
"Tak usah Na. Aku tak mau menyusahkan banyak
orang. Aku nanti turun di Tegalgondo saja."
"Kau mau menginap di mana?"
"Hidup tanpa arah seperti ini aku sudah biasa. Kau
tenang saja."
"Terserah kamu lah. Maaf aku tak bisa menemanimu.
Aku punya ibu dan adik yang harus aku temani."
"Diriku ini jangan terlalu kau ambil peduli. Kau mau
mendengar ceritaku saja aku sudah sangat berterima kasih
dan bahagia."
"Jika perlu aku kirim kabar ya. Kau boleh juga mampir
di radio. Kau pasti tahu jamnya."
"Baik Na. Terima kasih banget ya."
* * *
83
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
MR. Collection's
5
SEBUAH FIRASAT
Sudah lebih satu minggu sejak bertemu di pesantren,
Husna tidak mendapat kabar dari Zumrah. Seminggu yang
lalu Husna langsung menemui keluarga Zumrah dan
menceritakan semua yang ia ketahui dari Z u m r a h .
Meskipun berat, ibu Z u m r a h telah memaafkan putri
sulungnya itu. Adik-adik Z u m r a h malah b e r h a r a p
kakaknya itu kembali ke rumah.
Sebagian warga d u k u h Sraten ada yang iba dan
kasihan sama Zumrah. Namun ada juga kalangan yang
tetap sinis d a n m e n u n j u k k a n rasa jijik setiap kali
mendengar nama Zumrah. Zumrah seolah-olah barang
najis yang pantang didengar sekalipun. Husna berusaha
menjelaskan k e p a d a siapa saja y a n g membicarakan
Zumrah, bahwa gadis itu justru harus ditolong bukannya
dipinggirkan dan dihina. Malah, Mahrus paman Zumrah
yang anggota serse tetap bersikukuh akan menembak
84
keponakannya itu jika ketemu. la sama sekali tidak percaya
dengan apa yang disampaikan Husna.
Pagi itu Husna dan Lia sedang mencabuti rumput yang
tumbuh di samping rumah mereka ketika sebuah mobil
sedan Vios berhenti tepat di d e p a n r u m a h mereka.
Matahari mulai meninggi di angkasa, menyinari dunia
dengan sinar keemasannya. Seorang gadis berjilbab putih
gading rurun dari mobil. Husna dan Lia bangkit melihat
siapa yang datang.
Ketika gadis berjilbab putih gading menghadap ke arah
pintu rumah Husna langsung kenal siapa yang datang.
"Cari siapa Mbak Bintun Nahl?" Sapa Husna dari
jarak agak jauh sambil melangkah mendekat diiringi Lia
adiknya. Anna yang masih menggunakan nama samaran
Bintun Nahl, menengok ke arah suara dan tersenyum
ceria.
"Assalamu'alaikum
ya?"
"Wa 'alaikumussalam.
Mbak Husna, sedang berkebun
Tidak. Ini sedang mencabuti
rumput. Mumpung ada waktu longgar. Sendirian?"
"Iya."
"Mengajar di Pesantren Wangen itu makmur ya. Guru
bahasa Arabnya saja punya mobil sedan. Baru lagi. Mau
dong aku daftar jadi guru di sana." Kata Husna dengan
nada bergurau.
"Itu mobil pinjam kok."
"Pinjam Abah ya. Kamu itu sungguh jahat kok Mbak
Anna. Tega-teganya lho m e n y e m b u n y i k a n identitas
dariku. Lha wong namanya Anna Althafunnisa, Lc. Putri
tunggal pengasuh pesantren Daarul Quran Wangen kok
ya pakai nama samaran Bintun Nahl. Tega-teganya. Ih!"
Ujar Husna sambil menjotos lengan Anna.
"Eit." Anna mengelak.
85
Mereka berdua terlihat begitu akrab meskipun baru
dua kali bertemu. Mereka berdua seperti dua orang sahabat
lama yang baru bertemu.
"Ayo masuk! Ini adikku, n a m a n y a Lia." H u s n a
mengenalkan adiknya pada Anna. Keduanya tersenyum,
lalu berjabat tangan.
"Namaku Anna Althafunnisa. Masih kuliah, Dik?"
Tanya Anna.
"Masih." Jawab Lia.
"Di mana?"
"Di STAIN."
"Fakultas apa?"
"Tarbiyah."
"Alhamdulillah
Sela Husna.
"Alhamdulillah."
sekarang dia sudah mengajar di SDIT."
Sahut Anna.
"Ayo masuk! Jangan di luar terus. Matahari semakin
menyengat!" Ajak Husna.
Mereka bertiga lalu masuk ke dalam rumah. Kursi di
ruang tamu itu adalah kursi jati tua yang sudah kusam
pliturnya. Namun kursi itu masih berfungsi dengan baik
untuk menerima tamu.
"Ibu kalian mana?" Tanya Anna setelah duduk.
"Beliau sedang mengikuti pengajian rutin di masjid."
Jawab Husna.
"Dengar-dengar Mbak Anna kuliah di Mesir ya?"
Tanya Lia.
"Iya. Alhamdulillah.
penelitian tesis S2." Jawab Anna.
Ini saya sedang pulang untuk
"Masya Allah. Semoga diberkahi Allah." Sahut Husna.
"O ya Mbak Anna kenal nggak dengan kakak saya?
Dia juga kuliah di Cairo." Tanya Lia.
86
"Siapa namanya?" Anna balik bertanya. Ada rasa
penasaran dalam hatinya saat bedah buku dan Husna
menyebut-nyebut kakaknya yang kuliah di Cairo yang
sedemikian besar tanggung jawabnya. Dia ingin tahu siapa
orang itu. Mungkin ia mengenalnya.
"Namanya Azzam." Jawab Lia.
"Azzam siapa ya?"
"Lengkapnya Khairul Azzam."
"Sebentar, coba kuingat-ingat."Kata Anna. Dahinya
berkerut.
"Aduh, maaf, kelihatannya saya tidak kenal."
"Masak tidak kenal? Kakak saya sudah sembilan tahun
di Cairo. Sampai sekarang belum lulus SI. Dia di sana
belajar sambil bekerja. Atau kebalikannya ya bekerja sambil
belajar. Dikenal sebagai penjual tempe dan bakso. Lha ibuibu
KBRI saja banyak yang kenal. Tiga bulan lalu Pak Manaf
dan isterinya yang di konsuler datang ke sini mengantarkan
titipan Kak Azzam." Jelas Lia panjang lebar.
"Aduh, benar, saya tidak kenal. Penjual tempe yang
kukenal namanya itu ada Rio, Budi, dan Muhandis atau
Irul. Di antara mereka yang paling senior adalah Muhandis.
Tidak ada yang namanya Azzam. Tapi mungkin aku terlalu
kuper. Terus terang S1 aku kuliah tidak di Cairo."
"Di mana Mbak?"
"Di Al Azhar putri Alexandria. Baru kemudian S2-nya
di Cairo. Selama S2 terus terang aku juga tidak banyak
berinteraksi d e n g a n t e m a n - t e m a n mahasiwa dari
Indonesia. Aku lebih banyak di perpustakaan."
"O. Kalau begitu ya maklum." Kata Lia.
"Kalau k e t e m u o r a n g n y a bisa jadi aku kenal.
Seringkali aku akrab dengan wajah orang Indonesia di
sana karena bertemu di bus atau di metro tapi aku tidak
tahu namanya."
87
Husna menyela, "Kebetulan minggu depan insya Allah
dia pulang. Semoga ada waktu untuk bertemu."
"Iya Mbak Anna. Mbak Anna sudah menikah?" Tanya
Lia santai.
"Belum."
"Wah kebetulan."
"Kebetulan bagaimana?" Heran Anna.
"Kebetulan kalau belum nikah. Nanti siapa tahu bisa
jodoh dengan kakak saya." Terocos Lia.
"Hus! Kamu ini Dik, ada-ada saja. Kok tidak mengukur
diri mengajukan kakaknya. Kakak kita ini cuma penjual
tempe yang kuliahnya tidak lulus-lulus. Kok kamu ajukan
ke putri Kiai yang mau selesai S2. Kamu ini." Sergah
Husna.
"Mm... aku memang belum menikah. Tapi sebentar
lagi insya Allah menikah. Doanya." Kata Anna.
"Lho iya tho, penjual tempe mana mungkin berjodoh
sama putri Kiai terkenal." Kata Husna.
"Jodoh, rizki, juga kematian sudah ada yang mengatur."
Pelan Anna.
"Tapi sungguh, jujur aku kagum dan hormat sama
kakak kalian. Aku salut pada pribadi seperti kakak kalian.
Jujur sebagai perempuan hatiku ada kecenderungan pada
p e m u d a yang sangat bertanggung jawab dan mandiri
seperti itu. Adapun jodoh itu lain lagi urusannya. Semua
Allah yang menentukan. Kebetulan tunangan saya juga
mahasiswa Cairo. Sudah selesai S2 dan sekarang sedang
proses S3." Tutur Anna penuh kejujuran.
"Lha ini lebih cocok. S2 layak dapat yang sudah selesai
S2. Sama-sama dari Cairo lagi. Nanti kami diundang ya
pada hari H? Masih lama?" Kata Husna.
"Rencananya dua bulan lagi. Ya kalian pasti aku
undang insya Allah."
88
"Boleh tahu nama calon suami Mbak Anna? Siapa tahu
kakak saya kenal. Nanti kalau dia pulang biar kami beritahu
dia." Tanya Lia.
"Boleh namanya Furqan Andi Hasan."
"Furqan?"
"Iya. Ada apa?"
"Seingat saya kakak saya pernah bercerita punya teman
namanya Furqan. Apa mungkin Furqan itu ya?"
"Bisa jadi. Tapi nama Furqan di Cairo juga banyak."
Jelas Anna.
Hampir dua jam lamanya Anna berada di r u m a h
Husna. Selama dua jam banyak hal dibicarakan. Banyak
cerita diriwayatkan. Terutama tentang Mesir, juga tentang
Furqan. Dari perbincangan dengan Husna dan Lia, ia jadi
semakin tahu siapa sosok Azzam sesungguhnya. Ia jadi
tahu b a h w a H u s n a dan Lia semuanya dibiayai oleh
kakaknya. Kekagumannya kepada sosok bernama Azzam
semakin menguat. N a m u n ia selalu bisa meyakinkan
dalam hati bahwa Furqan tunangannya itu adalah lelaki
terbaik untuk menjadi pendamping hidupnya.
Pukul setengah sebelas Anna mohon diri. Saat ia
hendak keluar dari rumah, Bu Nafis memasuki halaman.
"Lha itu Bue baru pulang." Kata Lia.
"Bagaimana kalau Mbak Anna duduk lagi. Bincangbincang
dengan ibundaku sebentar. Beliau pasti senang."
Tukas Husna sambil memandang wajah Anna.
"Maaf, saya harus pulang sekarang. Sudah cukup
lama. Kebetulan mobilnya mau dipakai Abah ke Jogja. Jadi
aku harus segera pulang. Lain kali insya Allah." Jawab
Anna.
Anna menunggu Bu Nafis sampai beranda. Begitu Bu
Nafis mendekat Anna langsung meraih tangan perempuan
setengah baya itu dan menciumnya penuh rasa ta'zhim.
89
"Saya Anna Althafunnisa Bu. Temannya Husna." Anna
berkata halus mengenalkan diri.
"Kau cantik sekali Nak. Di mana rumahmu?" Tanya
Bu Nafis dengan mata berbinar.
"Wangen, Polanharjo Bu."
"Jauh dari pesantren?" Tanya Bu Nafis.
Belum sempat Anna menjawab, Husna mendahului,
"Dia putrinya Pak Kiai Lutfi Bu. Dialah yang punya
pesantren."
Bu Nafis terhenyak dan berkata, "Masya Allah.
Seharusnya ibu yang mencium tanganmu Nak. Bukan kau
yang mencium tangan ibu. Masya Allah, ayo masuk Nak,
akan ibu buatkan mendoan yang enak."
"Ah ibu. Sayalah yang harus mencium tangan ibu.
Tangan ibu yang telah mendidik putra dan putri yang
membanggakan seperti Husna, Lia dan juga Azzam.
Sungguh Bu saya ingin sekali berbincang-bincang. Saya
betah di sini. Tapi sayang saya harus pulang. Mobilnya mau
dipakai Abah pergi, Bu."
"O begitu. Matur nuivun
mampir."
ya Nak sudah berkenan
"Saya pamit, Bu. Mohon tambahan doanya."
"Semoga Allah menyertaimu. Amin."
Anna kembali meraih tangan Bu Nafis dan menciumnya.
Ada kebahagiaan yang mengalir dalam hati perempuan
tua itu ketika kulit tangannya bersentuhan dengan
kulit tangan putri ulama terkenal dari Wangen. Dalam hati
paling dalam ada p e n g h a r a p a n yang sangat halus,
"Andaikan gadis ini jadi menantuku, alangkah bahagianya
diriku sebagai seorang ibu."
Anna melangkah masuk ke dalam mobil. Bu Nafis,
Husna dan Lia masih berdiri di beranda. Mobil itu mundur
perlahan. Lalu putar haluan. Anna melambaikan tangan.
90
Bu Nafis, Husna dan Lia membalas melambaikan tangan
dengan senyum mengembang. Tak lama kemudian sedan
Vios itu hilang di tikungan jalan.
"Kok ada ya gadis sejelita itu. Ibu pikir Si Zumrah itu
dulu paling cantik. Ternyata kalah jauh dengan putrinya
Kiai Lutfi." Bu Nafis berkomentar seraya masuk rumah.
"Kalau Anna tadi Bu, tidak hanya cantik. Dia juga
shalihah insya Allah dan dalam ilmu agamanya. Dia itu sudah
selesai S1-nya di Al Azhar Mesir lho Bu." Tukas Husna.
"Jadi dia kuliahnya di Al Azhar?" Bu Nafis bertanya
meyakinkan.
"Iya. Sekarang sedang merampungkan S2-nya."
"Berarti dia kenal kakakmu? Apa dia datang kemari
membawa titipan dari kakakmu Na?"
"Wah sayang, Bue. Dia tidak kenal Kak Azzam juga
tidak membawa titipan dari Kak Azzam. Dia kemari karena
kemarin ketika bertemu di acara bedah buku, dia berjanji
akan berkunjung ke sini. Dia memenuhi janjinya."
"O begitu. Sungguh aku senang ketemu sama gadis
seperti itu. Dalam hati tadi aku sempat berharap kalau dia
jadi menantu ibu. Jadi isteri kakakmu."
"Kayaknya harapan Bue hanya akan jadi harapan."
"Kenapa, apa tidak mungkin itu terjadi?"
"Ya mungkin saja sih. Tapi sangat sulit. Sebab dia sudah
tunangan. Bulan depan mau menikah."
"O begitu. Ya kalau begitu ya dia mungkin tidak rizki
kakakmu."
Lia yang hanya mendengarkan saja menyela,
"Aku yakin Kak Azzam akan mendapat jodoh seorang
bidadari dunia. Bidadari yang jadi penyejuk hati suami dan
keluarga."
"Amin." Lirih Bu Nafis.
* * *
91
Sedan Vios itu memasuki pelataran pesantren dan
berhenti tepat di halaman kediaman pengasuh. Anna
keluar dengan wajah cerah. Ada gelombang kebahagiaan
yang hinggap di dalam hatinya. Gelombang itu terasa kuat,
tajam, menakjubkan. Entah kenapa hatinya merasa sangat
bahagia bisa akrab dengan Husna dan keluarganya. Ketika
kulit tangannya bersentuhan dengan kulit tangan Bu Nafis,
ada getaran halus menyusup ke dalam hatinya. la merasa
sejak pertama melihat Husna jiwa dan hatinya telah
bertemu dengan jiwa dan hati Husna. Itulah yang ia
rasakan sebagai pangkal kebahagiaan yang berdesir dalam
hatinya. Entah kenapa ia merasa seperti sudah sangat dekat
dengan keluarga psikolog dan penulis muda itu.
"Dari mana saja kamu Nduk? Abahmu seharusnya
sudah berangkat seperempat jam yang lalu. Jika Abahmu
terlambat yang kasihan pasti jamaah pengajian. Mereka
akan menunggu lebih lama." Tegur Bu Nyai Nur, ibunda
Anna. Nama lengkapnya Nur Sa'adah.
"Ummi, maaf Anna terlambat. Anna tidak mampir ke
mana-mana kok. Anna hanya ke rumah Ayatul Husna.
Psikolog yang minggu lalu kita undang mengisi bedah
buku. Abah di mana Mi?"
"Beliau sedang membaca Al Quran di taman belakang.
Datangilah beliau agar segera berangkat."
"Baik Mi."
Anna lalu bergegas ke taman belakang. Sampai di
taman belakang Anna langsung menemui ayahnya dan
meminta maaf atas keterlambatannya. Kiai Lutfi langsung
bergegas berangkat. Setelah Kiai Lutfi berangkat Anna
langsung ke tempat kerjanya, menulis tesis di perpustakaan.
Namun ternyata Bu Nyai mengikuti putrinya itu ke
lantai dua. Anna kaget ketika tahu ibundanya mengikutinya.
"Ada apa Mi?"
92
"Ummi ingin mengajakmu bicara sebentar."
"Tentang apa Mi?"
"Tentang rencana pernikahanmu dengan Furqan."
"Ada apa Mi?"
"Apa kau telah benar-benar mantap?" Tanya Bu Nyai
dengan mimik serius. Seluruh mukanya menghadap muka
Anna.
"Ummi ini bagaimana? Masak itu ditanyakan lagi.
Kalau tidak mantap ya pasti aku tidak mau dikhitbah. Tidak
akan memilih Furqan dan tentu juga tidak mau ditunangkan
dengan Furqan."
"Entah kenapa sampai sekarang ibu belum mantap
seratus persen. Ibu sendiri tidak tahu. Masih ada sebersit
keraguan yang menyusup halus."
"Keraguan itu banyak dijadikan alat oleh setan untuk
menjauhkan manusia dari amal kebaikan. Sudahlah Mi,
yang Ummi tanyakan itu sudah tidak perlu ditanyakan
lagi."
"Kalau s u d a h m a n t a p ya alhamdulillah.
Ummi inginkan."
* * *
Itu yang
Sementara nun jauh di Jakarta sana. Tepatnya di sebuah
rumah mewah di kawasan Pondok Indah Jakarta Selatan
Furqan sedang berbaring di tempat tidurnya. Matanya
berkaca. la m a s i h didera p e r a n g batin y a n g masih
berkecamuk dengan dahsyat di dalam dada.
Ayah dan ibunya sangat bahagia dengan keberhasilan
studinya. Mereka juga sangat bahagia mengetahui siapa
calon menantu dan besan mereka. Terutama ibunya yang
asli Betawi sangat bahagia. Sebab menjadi bagian dari
keluarga besar seorang Kiai adalah harapan banyak orang.
Dan tak lama lagi setelah pernikahan itu dilangsungkan
maka keluarga Andi Hasan akan menjadi bagian tak
93
terpisahkan dari keluarga pengasuh Pesantren Wangen. la
sendiri juga bahagia. Cita-cita dan keinginannya menyunting
gadis yang m e n u r u t n y a paling jelita di antara
mahasiswi Indonesia di Cairo tinggal satu langkah lagi
menjadi kenyataan. Yaitu ketika akad nikah telah
dilangsungkan.
N a m u n ia merasa ada ribuan paku menancap di
relung-relung hatinya. Ada rasa sedih dan rasa perih yang
terus menderanya. Juga rasa takut yang luar biasa. Ia takut
jika sampai keluarga Anna m e n g e t a h u i apa yang
dideritanya, entah dari siapa saja sumber informasinya. Jika
mereka tahu ia telah m e n g i d a p HIV maka tamatlah
riwayatnya dan riwayat keluarganya. Selain itu dalam
relung hatinya yang paling dalam ia tidak tega menyakiti
Anna. Nuraninya sering berontak bahwa jika langkah ini
diteruskan sampai Anna menjadi isterinya, itu sama saja
membunuh Anna dengan cara paling keji di dunia.
Ia yakin ada penyakit dalam tubuhnya. Dan perk
a w i n a n n y a d e n g a n Anna nanti akan m e n u l a r k a n
penyakitnya pada Anna. Lalu pada anak-anak mereka. Ia
lalu membayangkan seperti apa murkanya Anna dan
marahnya keluarga besar Pesantren Wangen padanya. Lalu
di mana rasa takwanya kepada Allah? Bukankah apa yang
dilakukannya itu satu bentuk penipuan paling menyakitkan
ummat manusia?
Nuraninya memintanya untuk bersikap layaknya
orang-orang shaleh yang memiliki jiwa ksatria. Nuraninya
memintanya untuk membatalkan saja pertunangan
itu. Terserah alasannya yang penting tidak ada yang dizalimi
karena ulahnya. Namun nafsunya tidak menerimanya. Ia
sangat mencintai Anna. Ia merasa sangat berat memutus
begitu saja pertunangannya dengan Anna. Apakah ia akan
membuang begitu saja mutiara paling berharga yang paling
ia inginkan setelah ada dalam genggamannya?
Tidak!
94
Furqan m e m u t u s k a n u n t u k tetap m e n e r u s k a n
langkah. Ia tak peduli lagi pada apa yang akan menimpanya
dan apa yang akan menimpa Anna. Ia juga tidak peduli
pada apa yang akan terjadi jika akhirnya Anna dan
keluarganya tahu apa yang disembunyikannya.
"Jika aku memutuskan pertunanganku dengan Anna,
siapakah yang lantas akan peduli pada nasibku? Biarlah
aku menentukan nasibku sendiri!" Tekadnya dalam hati
dengan mata berkaca-kaca. Saat ia meneguhkan tekadnya
itu nuraninya menjerit tidak rela. Ia teguhkan untuk tidak
mendengar jeritan-jeritan protes nuraninya. Ia berusaha
membutakan mata batinnya sendiri.
Tiba-tiba ia menangis sendiri. Ia teringat hari paling
celaka dalam hidupnya. Yaitu saat ia bangun dari tidurnya
di Meridien Hotel Cairo dan mendapati dirinya dalam
keadaan sangat memalukan. Lalu teror gambar-gambar
dirinya bersama Miss Italiana. Lalu periksa darah. Lalu di
kantor intelijen. Ia tahu Miss Italiana yang menghancurkan
hidupnya adalah seorang agen Mossad. Dan terakhir ia
membaca hasil laboratorium yang menyatakan ia positif
mengidap HIV. Lalu janjinya pada Kolonel Fuad untuk
tidak menyebarkan virus yang dideritanya.
Ia tidak percaya kenapa semua ini terjadi pada dirinya.
Kenapa? Apa ia pernah melakukan dosa besar sehingga
harus dihukum sedemikian beratnya?
Dan kini ia merasa dunia begitu sepi dan sunyi. Ia seperti
sendirian. Tidak ada tempat berbagi, tidak ada tempat
melabuhkan nestapanya. Berkali-kali ia ingin menceritakan
apa yang dialaminya pada ayah dan ibunya, tapi selalu ia
urungkan. Ia tidak sampai hati menghancurkan rasa
bahagia yang kini sedang bermekaran dalam dada mereka.
Furqan kembali menangis. Pada siapa ia h a r u s
mengadu. Setiap malam ia terus bermunajat mengadu
kepada Allah, namun ia merasa belum juga mendapatkan
95
penyejuk nelangsa jiwanya. Tekanan batin yang terus
menderanya membuatnya ia selalu murung muka. Hanya
saat ia berada di rumah Anna dalam acara pertunangan
itulah mukanya tampak bercahaya. Begitu meninggalkan
pesantren Wangen mukanya kembali m u r u n g seperti
sebelum-sebelumnya.
Saat Furqan menyeka air matanya, hand phonenya
berdering. Satu sms masuk. Ia buka. Dari Abduh, teman
satu rumahnya di Cairo. Ia baca,
"Ass. Mas apa kabar? Ane kirim email. Dibaca ya. Abduh."
Furqan menghela nafas. Ia lalu bangkit mengambil
laptopnya. Sejurus kemudian ia sudah berlayar di dunia
internet. Ia buka inbox alamat emailnya. Benar, ada email
dari Abduh. Tidak hanya dari Abdul ada puluhan email
masuk yang belum ia baca. Ia membuka email Abduh
dengan perasaan tak menentu. Tidak seperti biasanya.
Biasanya ia selalu membuka email dengan perasaan bahagia
dan penasaran apa isinya. Sejak kejadian di Meridien Hotel
ia seperti tidak ingin berinteraksi dengan siapa saja.
Abduh menulis,
"Mas Furqan, assalaamu'alaikum wr wb. Dari Cairo kalau
boleh aku ingin mengucapkan selamat kepada Mas atas
pertunangannya dengan Anna Althafunnisa. Kabar itu
sudah menyebar ke seantero Cairo. Dan Cairo sedang
geger. Saya yakin banyak hati yang patah karena orang
y a n g d i d a m b a s u d a h d i t u n a n g o r a n g . Sekali lagi
selamat ya Mas. Semoga nanti sakinah, mawaddah wa
rahmah. Amin. Salam dari teman-teman."
Di bawah email Abduh, ada email singkat dari Eliana,
putri duta besar yang terus mengejar cintanya. Eliana
menulis singkat,
"Aku dapat kabar dari Abduh, kau sudah tunangan
d e n g a n A n n a . S e l a m a t y a atas p e r t u n a n g a n n y a .
Semoga k a m u m e n d a p a t k a n apa y a n g k a m u cari
padanya. Eliana Alam."
96
Furqan kembali meneteskan air mata. Seharusnya ia
memang paling bahagia di antara mahasiswa Cairo. Ia
sudah selesai S2 dan siap menyunting gadis paling didamba
oleh mahasiswa Cairo. Email dari Abduh bukan menambah
dirinya bahagia, email itu justru semakin membuat
pedih hatinya. Ia tidak seperti yang disangka banyak orang.
Hatinya remuk redam, dan jiwanya telah hancur berantakan.
Berhari-hari ia merasa dirinya bagai mayat yang
berjalan.
"Fur!" Ia mendengar suara ibunya memanggil.
"Iya Bu." Jawabnya. Ia menghapus matanya yang
basah. Ia melihat cermin. Gurat wajahnya sama sekali tidak
ceria. Cepat-cepat ia ke kamar mandi membasuh muka.
Ia selalu berusaha tampak biasa di hadapan ibunya. Dan
tetap saja ibunya me n ganggapnya b e r m u r u n g durja.
Setelah merasa wajahnya segar ia keluar dari kamarnya
yang mewah di lantai dua. Ia turun menemui ibunya. Ia
memang sangat mencintai ibunya.
"Ada apa Bu?" Tanya Furqan.
"Ibu tadi sudah ketemu Teh Vina, desainer busana
pengantin muslimah dari Bandung yang terkenal itu. Dia
bisa menyelesaikan gaun pengantin untuk calonmu.
Tinggal kau pilih harga dan warnanya. Teh Vina minta agar
bisa segera mengukur calonmu itu. Menurutku agar tidak
merepotkan Anna. Ajak saja Teh Vina ke Solo besok.
Berangkat pagi pakai Garuda. Langsung ke Wangen biar
Teh Vina langsung bertemu Anna. Sore bisa kembali ke
Jakarta. Bagaimana m e n u r u t m u ? " Bu Maylaf, ibunda
Furqan bicara dengan penuh semangat dan wajah berseri.
"Saya sepakat Bu!"
"Kalau begitu kau telpon Anna dulu. Memastikan
besok dia di rumah dan tidak ke mana-mana. Jika sudah
pasti baru ibu akan telpon Teh Vina."
"Sekarang Bu?"
97
"Iya. Kapan lagi?"
"Baik Bu."
Furqan lalu kembali ke kamarnya mengambil hand
phonenya. Nomor Anna sudah tersimpan dan disetting
pada urutan pertama dalam hand phonenya. la langsung
menelpon tunangannya itu dari kamarnya. Saat mendengar
suara Anna di seberang sana, hatinya bergetar
hebat. Nyaris ia tidak bisa bicara dengan baik. Dengan agak
gagap ia menyampaikan apa yang diinginkan oleh ibunya.
Anna mengiyakan dan akan menunggu di rumahnya.
Furqan tersenyum. Ada sebersit bahagia menyusup dalam
hatinya. Ia semakin menekadkan hatinya untuk tetap maju.
"Yang penting maju dan mendapatkan Anna. Urusan
lainnya belakangan. Aku juga berhak merasakan bahagia."
Gumamnya pada diri sendiri.
* * *
"Siapa yang telpon Nduk?" Tanya Bu Nyai Nur pada
putrinya.
"Furqan, Mi." Jawab Anna dengan wajah tersipu.
"Ada apa dia nelpon Nduk? Apa dia sudah kangen
sama kamu?"
"Ya tidak tahu Mi. Dia tadi nelpon memberitahukan
bahwa dia dan ibunya besok mau datang ke sini."
"Ke sini lagi? Untuk apa?"
"Ibunya membawa desainer busana pengantin muslimah
dari Bandung. Desainer itu yang akan membuat
gaun pengantin Anna. Besok datang untuk mengukur
Anna."
"O begitu. Itu desainer terkenal ya Nduk?"
"Mungkin Bu. Anna kan tidak tahu dunia seperti itu."
"Iya orang-orang kota itu kalau nikah kok ada saja yang
disiapkan. Ya inilah, ya itulah. Ummi dulu waktu nikah
sama Abahmu kok ya biasa saja. Akad di masjid. Ayahmu
98
pakai sarung baru dan baju putih baru. Juga peci baru. Itu
saja. Ibu yang baru malah Cuma kerudungnya. Tapi kalau
sekarang, harus membuat gaun pengantin khusus."
"Ummi inginnya aku seperti Ummi?"
"Sebenarnya iya, pakaian sederhana saja. Tapi
bagaimana dengan mertuamu nanti. Pasti tidak setuju. Dia
kan konglomerat ibu kota. Ya ikuti saja keinginan mereka,
asal baik. Itu saja."
Belum apa-apa Anna sudah menemukan cara pandang
yang berbeda antara ibunya dengan ibu Maylaf, calon
mertuanya.
"Tapi ada satu hal yang harus kamu pertahankan matimatian
lho Nduk!" Ibunya kembali bicara p a d a n y a .
Nadanya tegas.
"Apa itu Mi?"
"Kau jangan pernah mau jika diminta tinggal di Jakarta
hidup bersama mereka! Ingat baik-baik ya!"
"Jangan khawatir Mi. Kan perjanjian waktu tunangan
kemarin memang Anna tidak tinggal di Jakarta setelah
menikah nanti. Tapi Anna akan tetap di sini. Furqan tinggal
di sini untuk ikut mengajar di pesantren. Itu sudah jadi
syarat yang harus Furqan penuhi. Jangan khawatir Mi!"
"Ummi khawatir suamimu nanti berubah pikiran.
Kalau kau dibawa ke Jakarta sana, lalu siapa yang akan
meneruskan pesantren itu. Kakakmu sudah menetap di
Magelang. Tinggal kau satu-satunya andalan Abahmu."
"Insya Allah
dan Ummi di sini."
"Sungguh?"
"Insya Allah, Mi."
"Alhamdulillah.
Mi, Anna akan hidup terus bersama Abah
Ummi pegang janjimu. Oh ya Ummi
mau tanya lagi, apa kau benar-benar sudah m a n t a p
memilih Furqan?"
99
"Ih Ummi ini tanya itu lagi! Kenapa sih Mi?"
"Entah, Ummi juga bingung sendiri. Ada sesuatu
dalam hati Ummi. Apa ini sebuah firasat. Ah, Ummi tidak
tahu itu apa."
"Sudahlah Mi. Anna s u d a h m a n t a p . Anna harus
bagaimana lagi Mi? Ummi jangan membuat Anna jadi raguragu."
"Iya Nduk. Maafkan Ummi ya."
"Ummi harus yakin bahwa Allah tidak akan menelantarkan
Anna. Bahwa Allah memberikan pendamping
hidup yang terbaik buat Anna. Ummi harus yakin itu.
Sebab Allah itu mengabulkan prasangka hamba-Nya
kepada-Nya. Anna minta, Ummi berprasangka yang baikbaik
saja."
"Iya Nduk."
* * *
100
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
MR. Collection's
6
DEWI-DEWI CINTA
Ini untuk pertama kalinya Husna pergi ke Jakarta. Ia
berangkat dari terminal Tirtonadi naik bus Cepat Jaya.
Meskipun ia seorang cerpenis yang kumpulan cerpennya
lerpilih sebagai kumpulan cerpen terbaik se-Indonesia,
namun ia masih juga bertanya-tanya seperti apakah
Jakarta? Apakah seperti yang ia imajinasikan ketika
melihatnya di televisi. Ini memang untuk pertama kalinya
ia pergi ke Jakarta. Waktu Azzam berangkat ke Mesir dulu
ia hanya mengantar sampai ke stasiun Balapan. Selanjutnya
ayahnyalah yang mengantarkan kakaknya ke Gambir,
Jakarta. Dari Gambir, menurut cerita ayahnya, baru naik
bus ke bandara. Ayahnya cerita dari stasiun Gambir tampak
Monas di depan mata.
Ia sebenarnya ingin naik kereta. Seperti cerita ayahnya.
Agar bisa melihat Monas segera. Namun jika naik kereta
ia berangkat sendirian. Tak punya teman. Jika naik bus
101
kebetulan ada seorang teman kuliahnya di UNS dulu yang
pulang ke Jakarta. Rumahnya tak jauh dari terminal Lebak
Bulus. Temannya itu bernama Rina. Ketika ia ketemu Rina
dan menceritakan akan pergi ke Jakarta untuk menerima
penghargaan dari Diknas, Rina berkata padanya,
"Na, naik bus saja bareng aku. Nanti ke rumahku dulu.
Baru nanti kamu aku antar ke Cikini."
Ia tak bisa menolak ajakan Rina. Baginya pergi ke
Jakarta bersama Rina lebih aman dan nyaman. Rina lebih
hafal medan dibandingkan dirinya. Rina juga seorang
teman yang enak diajak bicara.
Ini kali pertama ia pergi ke Jakarta, dan ini adalah detikdetik
yang ia nikmati dengan sangat bahagia. Selain ia akan
menerima penghargaan langsung dari menteri, ia juga akan
menjemput kakaknya tercinta di bandara.
Inilah kuasa Allah. Kakaknya akan sampai di bandara
satu hari sebelum acaranya menerima penghargaan di
Taman Ismail Marzuki, atau juga masyhur disebut TIM.
Rina juga akan m e n e m a n i n y a menjemput kakaknya
tercinta.
Tepat pukul empat. Bus eksekutif yang ia tumpangi
berangkat. Ia melambaikan tangan pada Lia. Lia sebenarnya
ingin ikut, tapi siapa yang akan menemani ibunya.
Jika Lia dan ibunya ikut ia rasa sangat besar biayanya. Dan
akan lebih repot nanti di Jakarta. Dari jendela bus ia
memandangi Lia yang tersenyum kepadanya. Ia membalas
dengan senyum serupa.
Bis melaju ke arah barat. Terus maju meninggalkan
kota Solo. Terus melaju beriringan d e n g a n p u l u h a n
k e n d a r a a n yang melaju ke arah yang sama. bus itu
melewati Boyolali, Ampel, Salatiga, Bawen, Ungaran dan
Semarang. Kira-kira jam sembilan malam bus itu berhenti
di sebuah rumah makan yang cukup besar di Weleri,
Kendal.
102
Para penumpang turun untuk rehat sebentar. Untuk
buang air, shalat dan makan. Husna dan Rina turun.
Mereka berdua shalat dulu baru makan.
"Pilih apa ya Rin enaknya?" Tanya Husna agak bingung
menentukan menu makanannya.
"Pilih apa saja. Tapi kamu jangan kaget ya, kalau agak
mahal. Namanya juga di jalan." Jawab Rina.
"Kamu pilih apa Rin?"
"Kalau aku suka yang panas. Aku pilih soto ayam saja."
"Aku sama aja."
Saat membayar harga makanannya Husna berseloroh
lirih, "Mahalnya."
Sang kasir r u m a h makan itu mendengar seloroh
Husna. Tapi diam saja. Wajahnya dingin. Ia seperti menyatu
dengan mesin penghitung uang di hadapannya. Mungkin
ia sudah sangat terbiasa mendengar perkataan itu. Dan ia
sudah menyiapkan mental untuk menghadapinya.
"Kan sudah kubilang jangan kaget kalau harganya
mahal." Kata Rina sambil memasukkan kecap ke dalam
mangkok sotonya.
"Harga semangkok soto di sini bisa untuk membayar
tiga mangkok soto di Kartasura Rin."
"Ah ini belum seberapa Na. Tahun lalu aku pergi ke
Hongkong. Di sana ada restoran Indonesia. Tahu nggak
kamu harga semangkok soto di sana bisa untuk membayar
enam mangkok soto di Kartasura. Udahlah, kita nikmati.
Makan kalau sambil mengingat kalau harganya mahal
malah tidak nikmat."
"Benar kau Rin."
Keduanya lalu makan dengan lahapnya. Deraan lapar
membuat soto ayam itu terasa nikmat rasanya. Selesai
makan mereka langsung naik bis, karena kondektur bus
sudah memanggil-manggil para penumpangnya.
103
Bis melanjutkan perjalanan. Kira-kira sepuluh menit
kemudian Husna diserang rasa kantuk habis-habisan. la
memang kurang tidur dan kelelahan. Kemarin malam ia
menjadi panitia kegiatan MABIT aktivis dakwah masjid
At Takwa yang terletak di samping stasiun radio tempatnya
bekerja. Ia nyaris tidak tidur semalam penuh. Paginya
sampai siang ia harus mengajar di UNS. Lalu siaran.
Menyiapkan bekal ke Jakarta. Dan selepas ashar ia harus
berangkat ke terminal.
Husna tidur dengan nyenyak. Rina yang duduk di
sampingnya agak kecewa. Sebenarnya ia ingin berbicara
banyak dengan temannya itu, ia ingin bercerita kesana
kemari dan berdiskusi apa saja. Tapi Husna malah tidur
mendahuluinya. Penumpang bus hampir semuanya pulas
dengan rnimpinya. Akhirnya Rina tidur juga.
Ketika bus s a m p a i tol Cikampek Rina sempat
terbangun. Ia melongok ke jendela sebentar, memastikan
sudah sampai di mana. Tapi itu hanya beberapa saat saja.
Ia lalu tidur kembali menyusul Husna.
Pukul lima pagi bus Cepat Jaya itu memasuki terminal
Lebak Bulus. Hari masih gelap dan sisa-sisa fajar masih
tampak di langit. Begitu bus berhenti puluhan penumpang
turun teratur. Rina menunggu sampai seluruh penumpang
turun baru membangunkan Husna yang masih pulas di
kursinya.
"Na bangun! Sudah sampai!"
Husna mengucek kedua matanya.
"Sudah sampai Jakarta?"
"Iya. Kita sudah di Lebak Bulus. Ayo kita turun!"
Husna bangkit mengikuti Rina. Ia menenteng barang
bawaannya. Begitu ia turun belasan tukang ojek menyerbu,
"Mbak ojek Mbak! Ciputat Mbak!"
"Ke Bintaro Mbak? Diantar pakai ojek yuk!"
104
"Ke Cirendeu Mbak? Pakai ojek murah. Ayo!"
Rina menepis tawaran itu. Husna diam saja dan terus
mengikuti langkah Rina.
"Na kita ke mushala dulu ya? Kita shalat subuh gantian.
Kalau tak dijaga barang-barang kita bisa hilang."
"Ya. Mana mushallanya?"
"Itu, tak jauh dari pintu keluar."
Dua gadis itu bergegas ke mushalla. Husna melihat
jam tangannya. Sudah jam lima seperempat. la mempercepat
langkahnya. Begitu sampai di mushalla ia berkata
pada Rina.
"Rin, yang shalat aku dulu ya?"
"Iya. Tapi cepat ya. Waktunya mepet."
Husna dengan cepat mengambil air wudhu lalu shalat.
Setelah itu gantian Rina. Pagi telah m e n u n j u k k a n
kesibukannya ketika mereka berdua keluar dari terminal.
"Wah, sepagi gini kendaraan sudah memenuhi jalan
Rin."
"Inilah Jakarta Na. Jika ingin sampai di tempat kerja
tepat pada waktunya. Jam empat harus bangun. Mandi
dan siap-siap. Begitu rampung shalat subuh langsung
berangkat. Terlambat setengah jam saja bangun maka
alamat sampai di tempat kerja akan kesiangan. Aku dulu
waktu SMA seperti itu Na harianku. Aku harus bangun
jam empat jika tidak ingin terlambat sekolah. Jakarta ini
kota paling macet sedunia!" Cerocos Rina menerangkan.
"Kita ada yang jemput Rin?"
"Seharusnya Papa yang jemput. Seharusnya beliau
sudah menunggu di mushalla. Tapi kok tidak ada. Coba
aku kontak ke rumah."
Rina lalu memanggil dengan hp-nya. Sesaat terjadi
pembicaraan antara Rina d e n g a n ayahnya. Selesai
menelpon Rina berkata pada Husna,
105
"Aduh afwan ya Na. Ternyata mobil ayah lagi ngadat.
Maklum mobil tua. Jadi tidak ada yang menjemput. Kita
naik angkot ya? Nggak apa-apa kan Na?"
"Ah tidak apa-apa. Kebetulan nih, aku bisa tahu rasanya
naik angkot di Jakarta. Malah bisa jadi sumber inspirasi
kalau nanti nulis cerpen."
"Ah dasar penulis! Apa aja jadi sumber inspirasi."
* * *
Rumah Rina tidak besar juga tidak kecil. Berdiri di atas
tanah seluar seratus sepuluh meter persegi. Terletak di
tengah-tengah perumahan yang rapat di daerah Ciputat
Indah. Rumah itu tampak baru direnovasi. Tampilannya
terlihat modern dan minimalis.
"Baru lima bulan yang lalu selesai direnovasi. Memang
sudah seharusnya direnovasi. Sudah terlalu tua. Sudah
banyak titik-titik bocor kalau hujan. Untuk merenovasi
ini ayah harus merelakan hampir seluruh tabungannya
habis. Maklum pegawai negeri." Jelas Rina begitu masuk
rumah. Mereka berdua disambut oleh ibu Rina yang sangat
ramah.
"Sugeng rawuh
Jawa halus.
Mbak." Sapa ibu Rina dengan bahasa
"Lha Ibu asli Jawa?" Tanya Husna setengah heran.
"Inggih, kulo saking Sragen."9
"Sudah berapa lama ibu tinggal di Jakarta?"
"Sejak Rina berusia satu tahun. Jadi sudah berapa
tahun ya Rin?" Akhirnya ibu Rina menjawab dengan
bahasa Indonesia.
"Ya berarti sudah dua puluh empat tahun Ma." Sahut
Rina.
9 lya saya dari Sragen.
10 Berlubang.
106
"Ya, sudah dua puluh empat tahun."
"Bu, Husna biar mandi ya?" Kata Rina pada ibunya.
"Ya. Masukkan dulu semua barangnya ke kamarmu.
Setelah mandi sarapan!"
Rina lalu mengajak Husna ke kamarnya.
Husna masuk kamar sahabatnya itu dan mengitarkan
pandangannya ke seantero kamar yang luasnya tiga kali
tiga. Kamar tidur Rina jauh lebih baik dibandingkan
kamarnya yang hanya berdinding papan di Sraten. Kamar
Rina berlantai keramik cokelat muda. Dindingnya biru
laut. Langit-langit kamarnya putih bersih. Kamar yang
cukup m e w a h di mata Husna. Sementara kamarnya
berlantai semen. Warnanya hitam. Dindingnya putih
kusam. Dan langit-langitnya adalah anyaman bambu yang
kusam dan di sana sini sudah bolong-bolong10.
H u s n a m e m b u k a tasnya mengambil h a n d u k d a n
peralatan mandinya. Rina menunjukkan kamar mandi.
Sebuah kamar mandi yang dalam pandangan Husna juga
cukup mewah. Setengah dindingnya berkeramik hijau tua.
Ada shower dan wastafel di dalamnya.
Pagi itu, setelah mandi, Husna sarapan dengan nasi
rawon. Husna makan dengan lahap dan bersemangat.
"Wah rawonnya mantap Bu." Kata Husna memuji.
"Yang masak itu Si Luna, adiknya Rina." Jawab ibu
Rina ringan.
"Mana dia Bu?"
"Sudah berangkat kerja."
"Di mana dia kerja?"
"Di sebuah penerbit buku di Ciganjur."
"Berarti dia penulis Bu?"
"Tidak. Dia akuntan."
"O. Anak ibu semua berapa?"
107
"Semua empat. Rina nomor dua. Nomor satu Adam.
Dia masih kuliah di Bandung. Lalu Rina. Lalu Luna. Dan
terakhir Rendra."
"Rendra?"
"Iya."
"Kenapa dinamakan Rendra Bu. Suka ya sama Rendra,
penyair terkenal itu."
"Iya. Terutama ayahnya. Ayahnya sangat suka sajaksajak
yang ditulis W.S. Rendra."
"Renda sekarang kelas berapa Bu."
"Baru kelas empat SD."
"Juga sudah berangkat sekolah."
"Iya bareng sama ayahnya. Kalau Dik Husna berapa
bersaudara?"
"Saya empat bersaudara juga Bu. Saya juga anak
nomor dua. Sama dengan Rina. Kakak saya juga masih
kuliah. Dia kuliah di Cairo. Terus saya. Adik saya Lia dan
yang ragil Sarah masih di pesantren."
"Kakakmu kuliah di Cairo?"
"Iya."
"Laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki."
"Sudah menikah?"
"Belum."
"Sudah punya calon?"
"Belum. Kenapa ibu menanyakan itu?"
"Ya namanya juga ikhtiar. Kau tahu kan Dik. Saya
punya dua anak gadis yang belum nikah. Rina dan Luna.
Siapa tahu bisa berjodoh dengan kakakmu." Ibunya Rina
berterus terang tanpa basa-basi lagi.
Rina merah padam mendengarnya.
108
"Ah Mama ini. Apa saya pantas untuk kakaknya
Husna? Kakaknya seorang penulis cerpen terbaik di
Indonesia. Saya ini gadis bodoh dan tidak cantik lagi. Apa
saya pantas?" Sahut Rina merendah.
"Rin, kalau memang berjodoh maka kita tidak bisa
mengatakan pantas atau tidak pantas. Seorang muslimah
yang baik selalu pantas untuk seorang muslim yang baik."
Kata Husna
"Benar, Dik Rina. Seperti saya inilah contohnya.
Saya ini kan dulu datang ke Jakarta awalnya bekerja
sebagai p e m b a n t u r u m a h tangga. Lalu p i n d a h kerja
sebagai pelayan Warteg. Di antara pelanggan warteg itu
s e o r a n g p e m u d a t a m p a n y a n g bekerja d i D i k n a s .
Mungkin orang berkata saya tidak pantas berjodoh
d e n g a n p e m u d a itu. Tapi t e r n y a t a Allah m e m p e r -
t e m u k a n k a m i d a l a m i k a t a n suci. P e m u d a itu y a
ayahnya Rina itu." Terang Ibu Rina.
"Cerita yang menarik untuk dijadikan cerpen Bu."
"Boleh." Sahut Ibu Rina.
"Jangan lupa nanti royaltinya ya." Canda Rina sambil
tersenyum.
"Jadi kamu tidak keberatan misalnya kakak kamu
dapat Rina atau Luna?" Tanya Ibu Rina.
Husna tersenyum pada Rina. Rina merah padam.
"Sama sekali tidak Bu. Selama kakak saya suka saya
juga suka. Kebetulan besok pagi kakak saya datang dari
Cairo. Dan saya akan menjemputnya di bandara. Rina
katanya mau ikut."
"Kalau perlu kami sekeluarga ikut menjemput." Ibu
Rina semangat.
"Janganlah Ma. Biar saya saja yang menemani Husna."
Sergah Rina.
"Ya terserah mana baiknya." Jawab Ibu.
109
"Ikut semua sekeluarga juga tidak apa-apa. Malah
ramai." Husna berempati pada Ibunya Rina. la merasa jika
mereka sekeluarga ikut sama sekali tidak merugikannya
atau merugikan kakaknya. la yakin kakaknya malah akan
merasa bahagia.
* * *
Selesai makan Rina mengajak Husna jalan-jalan ke Mall
Bintaro. Lalu melihat kampus UIN. Jam dua siang mereka
kembali ke rumah Rina dan tidur siang. Jam empat sore
Husna bangun. Mandi. Shalat ashar lalu membaca buku
yang sempat ia beli di samping kampus UIN. la membeli
sebuah buku tua berjudul Capita Selecta, yang ditulis oleh
M. Natsir saat masih muda. Ia baca halaman perhalaman.
Ia begitu menikmati sajian pemikiran di dalamnya.
Di tengah asyiknya membaca, ia mendengar seseorang
mengetuk pintu kamar. Ia buka. Seorang gadis muda
berjilbab cokelat muda.
"Luna ya?" Tebak Husna.
"Iya Mbak. Saya sering dengar nama Mbak dari cerita
Mbak Rina. Saya juga sudah baca buku-buku Mbak.
Salut!"
"Kerja di penerbit apa Dik?"
"Itu Mbak di Penerbit Ciganjur Mediatama."
"Katanya besok mau ke bandara ya Mbak?"
"Iya. Mau ikut?"
"Wah maaf saya tidak bisa Mbak. Besok saya ada rapat
penting."
"Santai saja, nggak ikut nggak apa-apa."
"Mbak aku punya tulisan. Ceritanya aku sedang latihan
membuat cerpen. Tapi masih jelek rasanya. Bisa tidak
Mbak membacanya lalu aku diberi masukan-masukan
begitu. Aku ingin juga bisa menulis karya seperti Mbak."
"Oh boleh. Bawa saja kemari!"
110
"Terima kasih ya Mbak. Tulisannya masih di komputer.
Besok saya print dulu. Nanti saya kasih Mbak dalam
bentuk print out saja."
"Oh ya itu lebih baik."
"Mbak, maaf mbak, boleh aku tanya sedikit."
"Boleh."
"Tapi ini agak bersifat pribadi banget."
"Tidak apa-apa."
"Begini Mbak, aku punya kakak lelaki. Namanya
Adam. Mungkin Mbak Rina sudah cerita. Tapi yang ini
dia pasti tidak cerita. Kakakku sekarang dosen di Bandung.
Sekarang mengajar sambil melanjutkan S2-nya. Dia itu
belum menikah. Beberapa w a k t u yang lalu dia lihat
albumnya Mbak Rina. Saat itu Mbak Rina di Solo jadi ia
tidak tahu. Lha dalam albumnya Mbak Rina itu ada foto
Mbak Rina sama Mbak Husna. Kelihatannya Bang Adam
itu tertarik sama Mbak Husna. Kira-kira bagaimana
Mbak?" Jelas Luna panjang lebar.
Husna diam. Ia heran. Ini satu keluarga bicaranya
ceplas-ceplos terus terang begitu. Tak ada basa-basinya.
Iya ibunya, iya anaknya sama saja. Ibunya menginginkan
kakaknya. Malah anaknya yang ini menginginkan dirinya.
"Allahu a'lam Dik. Jika jodoh tak ada yang bisa
menolak. Jika tidak jodoh tak ada yang bisa m e m -
pertemukan."
"Iya benar Mbak. Tapi boleh dong kakakku masuk
dalam kriteria Mbak?" tanya Rina sambil senyum.
H u s n a p u n menjawab d e n g a n s e n y u m a n , t a n p a
sepatah kata.
"Oh ya Mbak. Ngomong-ngomong sering mengikuti
sinetron Dewi-dewi Cinta?"
pembicaraan.
"Yang mana ya Dik?"
111
tanya Rina melanjutkan
"Itu Iho yang tayang seminggu sekali tiap malam
m i n g g u , p u k u l d e l a p a n m a l a m . Sinetron y a n g dibintangi
Eliana Pramesti Alam, artis cantik jebolan
Prancis itu lho."
"O itu, sinetron tentang perjuangan guru muda cantik
anak konglomerat di pedalaman Kalimantan Tengah?"
"Iya Mbak. Wuih itu sinetron bagus lho Mbak. Temanteman
kerjaku seringnya ya diskusi sinetron itu. Tapi apa
ada ya Mbak, anak seorang konglomerat seperti yang
diperankan Eliana itu yang memilih mengabdi jadi guru
di pedalaman?"
"Ya kita berdoa saja semoga ada agar jadi teladan bagi
generasi muda."
"Nanti malam nonton sinetron itu ya Mbak? Setelah
itu kita diskusi."
"Boleh."
Dan benar. Jam delapan malam sampai jam sembilan
Husna nonton sinetron Dewi-dewi Cinta. la menyaksikan
sang guru cantik bernama Hilma harus menempuh jarak
belasan kilometer dengan menggunakan sampan demi
mengajar anak-anak didiknya di p e d a l a m a n . Dalam
sinetron yang ia saksikan ia melihat guru itu nyaris
tenggelam ketika sampannya terbalik akibat hujan yang
disertai badai yang kencang. Guru itu berjuang keras
untuk tetap hidup dengan sekuat tenaga berenang. Husna
k a g u m d e n g a n akting Eliana yang begitu menjiwai
perannya. Ia juga senang dengan isi ceritanya yang tidak
kacangan.
"Aku baca di sebuah tabloit mingguan, saat ini Eliana
sedang membintangi sebuah film remaja yang disutradarai
oleh sutradara nomor satu di negeri ini. Katanya sih di
antara tempat yang digunakan syuting itu Kota Barat Solo.
Mbak Husna tahu Kota Barat Solo?" Tanya Luna.
"Tahu. Hanya belasan kilo saja dari rumah Mbak."
112
"Kalau begitu Mbak bisa lihat syutingnya dong.
Katanya sih seperti yang kubaca di tabloit itu syutingnya
di Solo tiga bulan lagi. Ih senang bisa bertemu sama Eliana.
Bahagianya kalau aku bisa bertemu terus foto bareng dia."
"Kalau begitu main saja ke rumah Mbak Husna. Nanti
Mbak antar ke Kota Barat biar ketemu sama bintang pujaan
hatimu itu."
"Ih dia itu bukan pujaan hatiku saja lho Mbak. Dia itu
pujaan hati jutaan umat manusia di Indonesia."
"Benarkah?"
"Iya."
* * *
Malam itu Husna tidur di kamar Rina. Ia sendirian.
Rina tidur bersama Luna. Rendra punya kamar sendiri.
Belum genap satu hari di r u m a h itu, ia telah akrab
dengan semuanya. Rendra berbicara dengannya seolah
kakak k a n d u n g n y a sendiri. Rendra bercerita tentang
Guru Matematikanya yang galak. Ia jadi tidak suka
dengan matematika karena gurunya galak dan membosankan.
"Dulu saat diajar Bu Farida, Rendra suka Matematika.
Sebab Bu Farida itu menyenangkan. Nilai Matematika
Rendra selalu sembilan dan sepuluh. Tapi sekarang setelah
Bu Farida pergi, Rendra tidak suka sama Matematika.
Gurunya galak dan membosankan. Dulu Matematika itu
mudah, sekarang rasanya susah." Adu Rendra pada Husna
yang baru dikenalnya. Husna hanya bisa menjawab dengan
senyum. Ia tak tahu harus memberi solusi apa pada anak
empat SD itu.
Semua orang di keluarga Rina ini terbuka dan familiar.
Ia merasa tidak menjadi orang asing di situ. Orang yang
paling banyak cerita tentu saja Bu Harti, ibundanya Rina.
Selepas shalat Isya Bu Harti ke kamarnya dan bercerita
ngalor-ngidul, kesana kemari tentang masa mudanya. Juga
113
tentang keinginannya memiliki m e n a n t u yang tahu
agama.
"Benar ya Dik Husna, tolonglah kenalkan Rina pada
kakakmu. Semoga dia tertarik. Rina wajahnya memang
biasa-biasa saja. Kecantikannya pas-pasan. Tapi ibu jamin
dia bisa menjadi isteri yang baik. Kelebihan Rina adalah
sifat qana'ahnya. Sifat nrimonya. Kekurangan dia sih
banyak. Di antaranya kalau dia marah lama redanya. Tapi
ia sesungguhnya orang yang tidak mudah marah. Kalau
misalnya setelah melihat Rina kakakmu tidak suka ya tidak
apa-apa. Tapi cobalah juga kau ketemukan dengan Si Luna.
Dia lebih cantik dari kakaknya. Cuma agak manja. Dan
jika sudah melihat mereka berdua kakakmu tidak suka
dua-duanya ya berarti bukan jodohnya. Iya tho." Pinta Bu
Harti dengan penuh harap pada Husna.
"Tapi kakak saya itu hanya penjual tempe lho Bu.
Selama di Cairo profesinya jualan tempe. Apa mau ibu
punya menantu penjual tempe." Terang Husna.
"Ya nggak apa-apa jualan tempe. Itu namanya ulet. Ibu
malah suka pada tipe lelaki seperti itu. Lelaki yang ulet."
Bu Harti berkata mantap.
Husna tersenyum mengingat perbincangan itu. Ia
tersenyum membayangkan jika kakaknya misalnya punya
isteri Rina atau Luna. Ia akan punya keluarga di Jakarta. Ia
kenal baik dengan Rina. M e m a n g Rina tidak cantik.
Kulitnya kuning langsat. Badannya cukup besar. Tapi
mukanya tidak bisa dikatakan cantik. Mukanya bulat.
Hidungnya agak besar. Juga tidak bisa orang mengatakan
Rina itu jelek. Benar kata Bu Harti, "Rina wajahnya
m e m a n g biasa-biasa saja. Kecantikannya pas-pasan."
Namun ia tahu Rina itu baik dan cekatan.
Sedangkan Luna, ia tidak tahu banyak. Luna lebih
cantik dari Rina. Tapi ya tidak cantik sekali. Hanya sudah
masuk standar u n t u k dikatakan cantik. Ia lihat cara
berpakaiannya sangat teliti dan rapi. Memang, dari bahasa
114
dan gerak tubuhnya agak sedikit manja. Tapi ia bisa hidup
mandin. Usai shalat maghrib ia lihat Luna membaca Al
Quran dengan suara pelan di ruang tamu. Menurutnya
itu sudah bisa jadi tanda bahwa Luna cinta pada Al Quran.
Satu kelebihan Luna yang ia tahu, yaitu Luna pandai
memasak. Untuk makan malam Luna membuat spagheti
yang sangat enak rasanya. Kakaknya, Azzam, akan cepat
gemuk memiliki isteri seperti Luna.
Dari Bu Harti, ia tahu satu kekurangan Luna. Yaitu ia
baru saja putus dengan pacarnya yang keempat. Artinya
Luna sudah empat kali ganti pacar. Ini yang ia kurang suka
p a d a Luna. U n t u k m a s a l a h ini ia yakin Luna bisa
disadarkan.
Husna tersenyum bahagia. Besok ia akan ke bandara
menjemput kakaknya. Ia akan bertemu dengan orang
yang sangat dicintainya. Bertemu dengan pahlawan yang
d i r i n d u k a n n y a . Seperti apa wajah kakaknya setelah
sembilan tahun tidak pernah bersua? Apakah ia semakin
putih? Ataukah malah jadi bertambah hitam? Apakah
kakaknya itu kurus, ataukah malah gemuk.
Husna semakin tak sabar menanti pagi tiba. Hatinya
seolah telah hadir di b a n d a r a m e n a n t i k e d a t a n g a n
kakaknya. Ia berpikir apa kira-kira yang akan ia ucapkan
ketika pertama kali bertemu dengan kakaknya?
Husna terus berpikir dan pelan-pelan tanpa ia rasakan
akhirnya ia terlelap dalam mimpinya. Mimpi bertemu
kakaknya, Khairul Azzam tercinta.
Sementara nan jauh di Sraten, Kartasura sana, Lia dan
ibunya juga merasakan hal yang sama. Yaitu perasaan
bahagia dan ingin segera bertemu dengan Azzam mereka
tercinta.
* * *
115
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
MR. Collection's
7
PERTEMUAN CINTA
"Sepuluh menit lagi kita akan mendarat di Bandara
Soekarno Hatta." Kata Eliana pada Azzam yang duduk di
sampingnya. Azzam diam menikmati gelombang keharuan
dan kebahagiaan dalam hatinya. Kedua matanya
berkaca-kaca. la hampir-hampir tidak percaya bahwa
akhirnya ia bisa pulang juga. Pulang ke tanah air tercinta
untuk bertemu d e n g a n orang-orang yang sangat dirindukannya.
"Kau menangis Mas Irul?"
Azzam mengangguk. Di pelupuk matanya ada ibu dan
ketiga adiknya. Kemarin sebelum meninggalkan Cairo ia
sempat kirim sms kepada Husna bahwa ia akan sampai
hari ini di Jakarta. Ia tidak minta sang adik menjemputnya.
Namun ia berharap ketika ia sampai di bandara ada yang
menjemputnya.
"Apa yang membuatmu menangis Mas?" Eliana lagi.
116
Azzam menyeka air matanya. la memandang wajah
Eliana sesaat seraya berkata,
"Sudah sembilan tahun aku meninggalkan tanah air.
Sudah sembilan tahun aku berpisah dengan ibuku dan
adik-adikku. Aku terharu b a h w a akhirnya aku bisa
pulang ke Indonesia. Aku akan bertemu dengan keluarga.
Apakah aku tidak boleh menangis karena haru dan
bahagia? A p a k a h aku tidak boleh menangis karena
bersyukur bahwa aku akan kembali menginjak tanah air
tercinta?"
"Kau benar. Aku baru tahu kalau selama itu kau
meninggalkan Indonesia dan selama itu pula kau tidak
pernah bertemu keluarga. Kau sungguh orang yang sabar
dan tabah."
"Aku tidak sesabar dan setabah yang kau kira."
"Paling tidak kau membuatku salut."
Pesawat semakin rendah. Semakin mendekati bumi.
Akhirnya siang itu, tepat jam dua siang pesawat yang
d i t u m p a n g i A z z a m m e n d a r a t di landasan Bandara
Internasional Soekarno Hatta d e n g a n selamat. Arus
kebahagiaan merasuk ke dalam hatinya dengan deras, kuat
dan tajam. Berkali-kali ia memuji kebesaran Allah atas
limpahan nikmatnya.
"Aku datang Indonesia tercinta! Aku datang ibunda
tercinta! Aku datang adik-adikku tercinta!" Pekiknya dalam
hati dengan mata berkaca-kaca.
Azzam berjalan beriringan dengan Eliana.
"Mas Irul ada yang jemput?" Tanya Eliana.
"Tidak tahu pasti. Mungkin saja ada." Jawab Azzam.
"Kalau tidak ada yang menjemput bareng aku saja.
Istirahat saja dulu di rumahku. Baru besok pulang ke Solo.
Bagaimana?"
"Tak tahu. Nanti sajalah jika sudah di luar sana."
117
Mereka berdua melangkah menuju loket imigrasi, lalu
mengambil bagasi. Barang bawaan Azzam jauh lebih
banyak dibandingkan Eliana. Eliana hanya membawa tas
kecil dan kopor ukuran sedang yang bisa ditarik dengan
santai. Setelah melewati bea cukai hati Azzam berdebar,
jantungnya berdegup kencang. Syaraf-syarafnya bergetar.
Ia sangat yakin ada yang menunggunya di luar.
Azzam keluar dengan hati bergetar. Ia melangkah
sedikit di depan Eliana. Ia melihat banyak orang bawa
k a m e r a . Seperti m e m b i d i k d i r i n y a . Ia m e n d e n g a r
seseorang memanggil-manggil namanya. Suara anak
perempuan. Ia mencari-cari asal suara. Matanya bertemu
dengan mata gadis manis b e r k e r u d u n g hijau m u d a .
Gadis itu adalah Husna. Azzam menghambur ke arah
adiknya. Sang adik juga bergegak menghampur ke arah
k a k a k n y a . K e d u a n y a b e r p e l u k a n sambil m e n a n g i s
penuh haru. Sembilan tahun tidak bertemu akhirnya
bertemu.
Husna meraih terisak-isak dalam pelukan kakaknya
tercinta. Kakak yang sangat dirindukannya siang dan
malam. Kakak yang menjadi pahlawan baginya yang telah
membiayai hidup dan sekolahnya. Juga sekolah adikadiknya.
Tubuh kakaknya itu begitu kurus. Wajahnya lebih
tua dari umurnya.
Eliana menyaksikan adegan itu dengan hati haru. Ia
juga meneteskan air mata, tapi segera ia hapus dengan sapu
tangannya. Belasan wartawan terus membidikkan gambar
ke arahnya. Seorang pria setengah baya datang mengawalnya.
Sejurus k e m u d i a n ia s u d a h d i k e p u n g belasan
wartawan yang ternyata sudah menunggu sejak pagi untuk
mewawancarainya.
Azzam melepaskan pelukannya pada adiknya.
"Sendirian Dik?" Tanya Azzam sambil menyeka air
matanya.
118
"Iya, Husna ke Jakarta sendiri. Tapi ke sini Husna
ditemani dua orang teman. Itu, mereka berdiri di sana
memandangi kita. Mereka kakak beradik Rina dan Luna."
"Bue dan adik-adik tidak ikut kenapa?"
"Jakarta itu jauh Kak. Takut ibu malah sakit. Lia harus
mengajar, di samping juga harus menemani Bue. Si Sarah
di pesantren."
"Ya sudah tidak apa-apa. Terima kasih Dik ya, sudah
menjemput kakak."
"Tidak perlu berterima kasih atas sebuah kewajiban
Kak."
"Kapan kau sampai ke Jakarta?"
"Kemarin pagi. Terus tadi malam Husna menginap di
rumah Rina."
"Ini kita mau ke mana?"
"Kita ke Cikini Kak. Ke hotel yang disediakan panitia
untuk Husna. Kan nanti malam acara penganugerahan
penghargaan itu seperti yang pernah Husna ceritakan di
surat. Ayo kita temui Rina dan Luna."
"Ayo."
Azzam mendorong barang bawaannya mengikuti
langkah Husna ke arah dua gadis yang berdiri tenang.
Eliana masih sibuk dengan wawancaranya.
"Rin, Lin, ini kakakku yang aku ceritakan itu. Kak
Khairul Azzam."
Azzam menelungkupkan kedua tangannya di dada
sambil mengangguk pada Rina dan Luna. Kedua gadis itu
melakukan hal yang sama seraya berkata,
"Selamat datang kembali di Indonesia!"
"Terima kasih." Jawab Azzam.
"Mbak Husna, itu yang dikerubuti wartawan kelihatannya
Eliana Alam deh." Ujar Luna yang sangat ngefans
sama Eliana.
119
"Wah aku kok tidak begitu memperhatikan ya." Jawab
Husna sambil melongok ke arah keramaian orang yang
membawa kamera.
"Maklum, konsentrasinya sepenuhnya p a d a sang
kakak yang sudah sembilan tahun tidak bertemu." Tukas
Rina sambil tersenyum.
"Memang benar." Jawab Husna ringan.
"Yang dimaksud Eliana Pramesti Alam?" Tanya Azzam.
"Betul Mas. Itu lho bintang sinetron Dewi-dewi Cinta?
Mas Azzam kenal dia? Tadi satu pesawat ya?" Seru Luna
heboh.
"Iya itu memang Eliana Pramesti Alam. Saya kenal baik
dengan dia. Tadi bahkan duduk satu bangku dengannya."
Jawab Azzam santai.
"Hebat! Mas Azzam pacarnya ya?" Timpal Luna tanpa
dosa.
"Hus! Kau ada-ada saja!" Rina membentak adiknya
yang menurutnya sudah keterlaluan. Husna dan Azzam
tersenyum saja mendengarnya.
"Mas bisa tidak, aku dikenalkan sama dia? Aku ingin
foto bareng sama dia. Biar heboh teman-teman di kantor."
"Bisa. Kita temui dia saja sekarang, nanti dia keburu
pergi!" Ajak Azzam.
"Mbak Rina di sini saja ya. Nunggu barang-barang.
Kalau tidak ditunggu nanti hilang." Seru Luna riang.
Dengan muka agak cemberut Rina menjawab, "Ya.
Fotolah sepuas-puasnya!"
Azzam, Husna dan Luna melangkah ke arah kerumunan.
Sambil berjalan Luna m e n y e r a h k a n hand phone
kameranya pada Husna. la menjelaskan bagaimana caranya
mengambil gambar.
Azzam menerobos kerumunan diikuti Husna dan
Luna. Begitu sampai di samping Eliana Azzam berkata,
120
"Mbak, k e n a l k a n ini a d i k k u H u s n a d a n t e m a n n y a
Luna."
"Oh ya. Saya Eliana."
H u s n a d a n Luna menjabat tangan Eliana. Luna
langsung menggeser tubuhnya dan berdiri di samping
kanan Eliana. Dan Azzam ada di samping kiri Eliana.
Sementara Husna sedikit mundur. Eliana mau mengatakan
sesuatu pada Azzam, tiba-tiba seorang wartawan televisi
bertanya,
"Saat ini kalau boleh tahu siapa pria paling dekat
dengan Eliana?"
Eliana agak terhenyak menjawab pertanyaan itu.
"Apa tadi?" la pura-pura kurang dengar.
"Siapa pria paling dekat dengan Eliana saat ini?"
Wartawan itu mengulang dengan suara lebih keras.
"Em... siapa ya. Yang paling dekat saat ini seorang
mahasiswa di Cairo namanya Khairul Azzam!" Jawab Eliana
sekenanya.
Husna dan Luna kaget. Keduanya berpandangan.
Azzam lebih kaget. la tidak percaya apa yang didengarnya.
"Orang itu sekarang ada di mana?" Kejar wartawan itu.
"Ini di samping saya." Jawab Eliana santai, ia benarbenar
sang penguasa keadaan saat itu.
Seketika moncong kamera dan belasan alat perekam
mengarah ke Azzam.
"Sejak kapan Anda kenal Eliana?" Tanya seorang
wartawan.
"Aduh, ini apa-apaan!" Seru Azzam panik.
"Santai saja Mas. Kita kooperatif saja jadi enak. Sejak
kapan Anda kenal Eliana?"
"Aduh, gimana ini. Mbak Eliana, bicara dong. Wah kok
jadi rumit begini sih!" Kata Azzam pada Eliana.
121
"Dia tidak biasa menghadapi wartawan. Kami kenal
sejak satu tahun yang lalu." Sahut Eliana dengan tenang.
"Benar kamu dekat dengan Eliana?" Cerocos seorang
wartawan koran ibu kota.
"Kebetulan tadi kami satu p e s a w a t d a n t e m p a t
duduknya berdekatan. Saya di 15 F, dia di 15 E. Jadi kami
memang dekat." Jawab Azzam juga sekenanya.
"Apa profesi Mas saat ini?"
"Jualan bakso."
"Ah, jangan bergurau Mas."
"Sungguh. Tanya saja pada Eliana!"
Wartawan itu langsung bertanya pada Eliana,
"Benarkah dia berjualan bakso?"
"Ya benar. Para diplomat adalah para pelanggannya."
Jawab Eliana.
"Wah seorang entrepreneur! Keren ya Mbak?"
Wartawan itu berkomentar.
"Iya dong. Dia pria paling keren yang pernah aku
temui." Kata Eliana santai m e n a n g g a p i k o m e n t a r
wartawan itu. Eliana lalu mencondongkan kepalanya ke
arah telinga Azzam dan berbisik, "Hei, Mas, jadinya
bagaimana? Mau ikut ke rumahku?"
Azzam menggelengkan kepala.
"Kenapa?" Tanya Eliana berbisik. Kepalanya masih
condong ke arah Azzam.
Puluhan kamera mengabadikan peristiwa itu. Eliana
cuek saja. Azzam tak tahu harus bagaimana.
"Aku sama adikku ada hotel." Jawab Azzam juga
setengah berbisik.
"Ya sudah kalau begitu. Nanti kalau aku ke Solo boleh
mampir?"
"Boleh." Jawab Azzam sambil mengangguk.
122
Beberapa w a r t a w a n mencatat dialog lirih Eliana
dengan Azzam. Mereka mencatat beberapa kalimat yang
mereka dengar lalu mengembangkan dengan imajinasi
mereka.
Azzam pamit pada Eliana. la hanya menelungkupkan
tangan di dada. Lalu beranjak pergi.
"Tidak ada cipika cipiki11
wartawan usil.
Mas?" Tanya seorang
Azzam tidak menjawab, yang menjawab malah Eliana,
"Dia itu mahasiswa Al Azhar Cairo, masak cium pipi
kanan pipi kiri. Kan belum halal! Ngerti!?"
"Wah sekarang pacar Eliana 'alim ya. Bisa jadi berita
menarik ini." Komentar seorang wartawan.
"Boleh saja. Okay, teman-teman wartawan semua. Aku
pamit dulu. Terima kasih ya semuanya."
Eliana melangkah pergi. Beberapa wartawan masih
mengabadikan wajah Eliana yang tampak lelah namun
tetap cantik di kamera mereka. Pria setengah baya yang
datang untuk menjemput dan mengawal Eliana langsung
mengambil peran. Dengan sekuat tenaga ia menyibak jalan
dan membawa Eliana ke mobil Toyota Camry yang telah
siap menunggu. Begitu Eliana dan pria setengah baya itu
masuk, Camry itu langsung meluncur tergesa.
Azzam melangkah bersama Husna dan Luna ke tempat
Rina menunggu. Husna belum bisa memahami apa yang
baru saja dilihatnya. Bagaimana mungkin kakaknya begitu
dekat dengan Eliana. Seolah tidak ada jarak. Ia ingin
langsung banyak bertanya, tapi ia lihat muka kakaknya
sedang benar-benar lelah. Ia tidak tega. Dua orang
wartawan datang minta wawancara. Dengan tegas Husna
mengamankan kakaknya. Seorang sopir taksi menawarkan
jasanya, Azzam langsung mengiyakan. Dengan sigap
11 Cium pipi kanan, cium pipi kiri
123
ia memasukkan barang bawaannya dibantu sopir taksi
yang kekar dan muda.
Azzam lalu masuk duduk di depan. Husna, Rina dan
Luna duduk di belakang.
"Ke mana Bang?" Tanya sopir taksi sambil menghidupkan
argo kepada Azzam.
"Ke mana Dik?" Tanya Azzam pada Husna.
"Ke Hotel Sofyan Cikini Bang, yang dekat dengan TIM
ya Bang." Jawab Husna.
"Baik."
Taksi itu lalu meluncur perlahan meninggalkan Bandara.
Luna diam-diam kagum pada Azzam. Rasa kagumnya
pada Azzam sama dengan rasa kagumnya pada Eliana.
"Ternyata kakak Mbak Husna selebritis juga ya. Nanti
aku minta foto bareng ya." Celetuk Luna.
"Ah kamu ini foto melulu yang dipikir. Udah ah, jangan
mengganggu orang dong!" Ujar Rina setengah membentak
pada adiknya.
"Saya ini bukan selebritis kok Dik. Saya ini cuma
penjual tempe dan bakso di Cairo. Sungguh. Kebetulan di
antara yang sering pesan bakso saya ayahnya Eliana dan
Eliana sendiri. Ayahnya Eliana itu kan Dubes Indonesia di
Mesir. Jadi saya kenal baik dengan Eliana. Tadi itu kan
Eliana tidak serius. Dia main-main. Dia mengerjain saya!
Wah punya kenalan artis ini jadi repot!" Jelas Azzam
panjang lebar. Ia tahu adiknya dan dua gadis temannya
itu pasti mengira yang bukan-bukan pada dirinya.
"Tapi aku yakin besok pagi wawancara tadi bakal jadi
head line surat kabar dan akan jadi berita dan gosip tidak
ada habis-habisnya di infotainment." Ujar Luna.
"Biarin saja. Kayak gitu tidak udah diurus, hanya
menghabiskan umur saja." Sahut Azzam tenang.
* * *
124
Sampai di hotel Husna mengajak ke kamar yang telah
ia pesan untuk kakaknya. Kamar kakaknya berdampingan
dengan kamarnya Ia sudah check in di hotel itu sejak pagi
sebelum berangkat ke bandara. Ia memilih hotel yang
paling dekat d e n g a n t e m p a t acaranya. Rina y a n g
memilihkan Hotel Sofyan.
"Kakak istirahat saja dulu. Nanti selepas maghrib kita
berangkat ke TIM. Acaranya nanti jam tujuh malam." Ujar
Husna sambil menata barang-barang bawaan kakaknya.
"Iya Dik. Kau pun kelihatannya juga lelah. Istirahatlah
dulu!"
"Baik."
"Eh, Dik, dua temanmu itu sudah pulang?"
"Belum, mereka ada di kamar. Mereka juga mau lihat
acara nanti Malam. Usai acara baru mereka akan pulang.
Oh ya itu Si Luna tetap ingin foto bareng Kak Azzam,
bagaimana?"
"Ya nggak apa-apa asal nanti kamu ikut foto."
"Baik Husna akan sampaikan. Dia itu penggemar berat
Eliana. Wah dia merasa seperti mimpi katanya bertemu
Eliana. Awalnya tadi pagi Luna tidak mau ikut tapi dipaksa
sama Rina. Jadilah dia ikut. Tadi pagi selama perjalanan
dia uring-uringan terus sama kakaknya, sampai Husna
tidak enak dibuatnya. Sekarang ia berterima kasih berkalikali
sama kakaknya. Oh ya Kak, ayah dan ibu mereka titip
salam. Sebenarnya ayah dan ibunya Rina mau ikut jemput,
tapi tidak jadi karena ternyata mereka punya janji dengan
kolega. Ibunya Rina itu ingin sekali bertemu kakak. Baiklah
Kak, Husna ke kamar dulu ya?"
"Eh, nanti jam setengah lima aku dibangunkan ya
Dik?"
"Iya kak."
Husna pergi ke kamarnya. Azzam menutup pintu lalu
rebahan. Husna yang ia temui sekarang sudah sangat
125
berbeda dengan Husna sembilan tahun silam. Sekarang
t a m p a k lebih a n g g u n d a n dewasa. la jadi semakin
penasaran seperti apa Lia? Juga ibunya. Seperti apa dukuh
Sraten sekarang? Apakah masih seperti sembilan tahun
silam? A t a u k a h telah banyak p e r u b a h a n ? Dan Pak
Masykur yang dulu pernah memarahi dirinya dan temantemannya
karena bergurau saat shalat Jumat, bagaimanakah
kabar beliau sekarang?
Akhirnya rasa lelah membawa Azzam tidur pelan-pelan.
* * *
Usai shalat maghrib mereka berempat berjalan kaki
ke TIM. Pusat budaya yang ada di jantung kota Jakarta itu
tak pernah sepi dari karya cipta. Pertunjukan seni, diskusi,
pagelaran budaya, dan peluncuran karya hampir selalu ada
tiap bulannya.
Malam itu, Diknas menggelar acara penganugerahan
penghargaan kepada karya-karya terbaik di bidang sastra.
Diknas menggolongkan penghargaan dalam tiga kategori.
Kategori pertama, karya sastra untuk anak-anak. Kedua,
karya sastra untuk remaja. Dan ketiga, karya sastra untuk
dewasa. Masing-masing dipilih sepuluh terbaik nasional.
Jadi semuanya ada tiga puluh orang yang mendapat
penghargaan.
Kumpulan cerpen Menari Bersama Ombak yang ditulis
Husna meraih penghargaan karya terbaik nomor 1 kategori
karya sastra untuk remaja. Buku Husna itu mengalahkan
seratus lima puluh tujuh judul buku yang diseleksi oleh
Diknas.
Mereka berjalan santai. Sepuluh menit kemudian
mereka sampai di gerbang TIM.
"Ini tho yang namanya Taman Ismail Marzuki yang
terkenal itu." Ujar Azzam dengan perasaan gembira yang
meluap. la sudah lama mendengar nama TIM. Tapi baru
malam itu sampai di gerbangnya. Gerbang TIM tampak
126
semarak. Belasan warung tenda berjejer menyambut siapa
saja yang datang ke sana.
"Acaranya di gedung apa Na?" Tanya Rina.
"Di Graha Bhakti Budaya." Jawab Husna.
"Kita langsung ke sana saja. Gedung itu muat untuk
sekitar delapan ratus orang. Kalau malam ini pengunjungnya
m e m b l u d a k kita bisa tidak dapat tempat kalau
terlambat. Ayo!" Seru Rina.
"Iya, apalagi akan ada beberapa artis ibu kota yang
akan membaca puisi." Sahut Husna
"Pasti membludak!" Yakin Rina sambil mempercepat
langkah. Husna, Azzam, dan Luna mengikuti iramanya.
"Wah, kalau banyak artis yang datang, ini acara seru
juga." Seloroh Luna.
"Apa kalau tidak ada artis yang datang tidak seru?"
Tanya Rina dengan nada tidak sepakat.
"Ya bukan begitu. Maksudnya semakin seru dengan
datangnya artis. Wah susah menjelaskan." Sengit Luna.
"Apa-apa kok timbangannya artis. Memang artis itu
nabi apa, kok selalu dijadikan timbangan?" Imbuh Rina
dengan sinis.
"Tak tahu ah. Yang penting nanti akan aku abadikan
Mbak H u s n a saat m e n e r i m a p e n g h a r g a a n sebaikbaiknya."
Ujar Luna sambil melirik H u s n a y a n g
melangkah tenang.
Graha Bhakti Budaya hampir penuh terisi orang.
Husna dan rombongannya menemui panitia. Mereka
berempat lalu dicarikan tempat agak depan. Tepat pukul
sembilan belas malam acara dimulai. Ada sesuatu yang
membuat mereka b e r e m p a t terkesima, yaitu sang
pembawa acaranya, yang tak lain adalah Eliana Pramesti
Alam. Artis m u d a yang sedang naik daun dan paling
diminati para pemirsa televisi di tanah air.
127
Eliana tampak begitu anggun dalam balutan kebaya
ala Betawi. P u l u h a n kamera l a n g s u n g m e n g a m b i l
gambarnya begitu ia berdiri di tengah panggung. Acara
disiarkan secara langsung di dua stasiun televisi swasta
terkemuka. Eliana membuka acara itu dengan bersamasama
membaca Al Fatihah.
Kemudian ia mempersilakan ketua panitia memberikan
sambutannya. Setelah itu Eliana langsung meminta
Bapak Menteri Pendidikan untuk menyampaikan pidato
kebudayaannya. Bapak Menteri berpidato hanya lima belas
menit. Eliana l a n g s u n g memanggil seorang penyair
perempuan untuk membacakan puisinya.
Seorang p e r e m p u a n berjilbab maju ke panggung.
Berjalan anggun. Dan berdiri di panggung dengan anggun.
Setelah salam, perempuan itu membuka kalimatnya,
"Perkenankan aku membaca sebuah puisi, yang aku
tulis dikertas ini dengan tetesan air mata. Sebuah puisi
untuk anak-anak Irak yang teraniaya. Judulnya Pohon
Zaitun Masih Berbunga."
Seluruh hadirin diam. Graha Bhakti Budaya sesaat
senyam. Semua mata tertuju pada gerak gerik sang penyair
di depan. Penyair perempuan itu lalu membaca puisinya
dengan segenap penghayatan. Suara emasnya menyihir
siapa saja yang mendengarkan,
Di kota Basrah
Seorang ibu melagu
Di depan ayunan bayinya
Mendendangkan lagu sayang
Tidurlah nak, malam masih panjang
Pohon zaitun di halaman masih berbunga
Katakan pada dunia kita masih ada
Seribu satu cerita masih aku punya
Untuk mengantarkan kau dewasa
Syahrazad mungkin habis cerita
128
Tak menyangka di ujung umur dunia
Seorang durja memporak porandakan negeri kita
Namun doa Rabiah
Membuka pintu Tuhan
Pintalah apa yang bisa kau pinta
Pintalah Zaitun tetap berbunga
Pintalah darah syuhada menjadi pupuknya
Pintalah negeri kita tetap ada
Pintalah apa yang bisa kau pinta
Pintalah nak
Pinta
Tuhan menjaga.12
Semua yang hadir terkesima.
Azzam menghayati kandungan puisi itu dengan hati
basah dan mata berkaca-kaca. Demikian juga Husna yang
halus p e r a s a a n n y a . Begitu sang penyair itu selesai
membacakan puisinya, gedung itu luruh dalam gemuruh
tepuk tangan hadirin yang tersentuh hatinya. Beberapa
orang malah meneriakkan takbir secara spontan dan tibatiba.
"Selanjutnya untuk membacakan lagi, sebuah puisi
saya panggilkan seorang artis papan atas Indonesia. Seorang
artis berbakat yang sudah go international. Kita panggil
Emira Giza Humaira!"
Kalimat Eliana langsung disambut tepuk tangan
hadirin dengan semeriah-meriahnya. Seorang artis yang
tidak asing, yang biasa dipanggil Giza maju memakai gaun
malam panjang hijau tua. Tanpa sebuah pengantar ia
membacakan sebuah puisi p e n d e k berjudul "Tuhan
Mabukkanlah Aku" dengan penuh penghayatan,
Tuhan mabukkanlah aku
Dengan anggur cinta-Mu
12Puisi karya Fatin Hamama, diambil dari Antologi Puisi Perempuan Penyair
Indonesia 2005, KSI, Des 2005, hal 27
129
Rantai kaki erat-erat
Dengan belenggu penghambaan
Kuraslah seluruh isi diriku
Kecuali cinta-Mu
Lalu recai daku
Hidupkan lagi diriku
Laparku yang maha pada-Mu
Telah membuatku
Berlimpah karunia.13
Giza membaca p e n u h p e n g h a y a t a n dan m e n g -
akhirinya dengan setetes air mata. Sebuah akting yang
nyaris sempurna. Diam-diam Eliana memperhatikan
dengan seksama segala kelebihan akting Giza yang lebih
senior darinya. la memperhatikan untuk belajar darinya.
Lalu tibalah acara inti. P e n g u m u m a n dan penganugerahan
penghargaan karya sastra terbaik tingkat
nasional. Para pemenang dipanggil berurutan perkategori.
Dan pemenang pertama perkategori diminta memberi
sambutannya. Akhirnya sampailah nama Ayatul Husna
diucapkan oleh bibir Eliana. Husna bangkit dan maju
diiringi gemuruh tepuk tangan. Lalu sembilan nama
menyusul di belakangnya.
Sampai di d e p a n p a n g g u n g Eliana agak terkejut
melihat Husna. la tahu yang berdiri di panggung sebagai
pemenang pertama adalah adiknya Azzam. Matanya
mencari-cari sosok Azzam. Akhirnya ketemu juga. la
melihat Azzam, tapi Azzam sedang memusatkan perhatiannya
pada adiknya. Hatinya dipenuhi gelombang bahagia
yang membuncah-buncah luar biasa. Setelah menerima
piala penghargaan, Husna memberikan sambutan.
"Piala ini aku h a d i a h k a n y a n g p e r t a m a u n t u k
kakakku. Dialah pahlawanku yang mati-matian membiayai
13 Puisi karya penyair sufi dari Persia bernama Anshari, diterjemahkan oleh
Abdul Hadi W.M.
130
hidup dan kuliahku ketika ayah telah tiada. Kakakku yang
membanting tulang dengan jualan tempe dan bakso di
Cairo demi adik-adik yang dicintainya. Untuk kakakku
yang baru tiba di Indonesia setelah sembilan tahun
lamanya tidak bisa pulang ke Indonesia demi memperjuangkan
nasib adik-adiknya, aku hadiahkan penghargaan
ini. Dan di hari bahagia ini menyambut kepulangannya,
perkenankan aku membacakan puisi yang baru tadi sore
aku tulis untuknya. Judulnya "Kau Mencintaiku."
Kau mencintaiku
Seperti bumi
Mencintai titah Tuhannya.
Tak pernah lelah
Menanggung beban derita
Tak pernah lelah
Menghisap luka
Kau mencintaiku
Seperti matahari
Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah
Membagi cerah cahaya
Tak pernah lelah
Menghangatkan jiwa
Kau mencintaiku
Seperti air
Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah
Membersihkan lara
Tak pernah lelah
Menyejukkan dahaga
Kau mencintaiku
Seperti bunga
Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah
131
Menebar mekar aroma bahagia
Tak pernah lelah
Meneduhkan gelisah nyala
Azzam tidak bisa menahan harunya. la meneteskan
air mata bahagia di tempat duduknya. Acara itu disiarkan
langsung ke seluruh Indonesia. Sambutan Husna itu
disaksikan oleh jutaan manusia, termasuk ibu dan adiknya
Lia di Kartasura. Anna Altafunnisa dan keluarganya di
Wangen. Furqan dan keluarganya di Jakarta. Juga temanteman
kerjanya di UNS dan radio JPMI Solo. Sambutan
dan puisi Husna begitu menggugah dan bermakna.
Dan diam-diam, Eliana harus merasa kagum pada
Azzam dan adiknya. la tidak mengira akan sedahsyat ini
hasil jerih payah Azzam. la tidak bisa lagi meremehkan
Azzam hanyalah seorang pemuda pembuat bakso dan
tempe. la merasa Azzam pemuda yang langka di persada
nusantara. Dan dengan sangat halus sekali ada rasa kagum
menyusup ke dalam hati Eliana. Kagum pada pemuda
kurus bernama Khairul Azzam.
Eliana teringat apa yang tadi siang ia lakukan pada
Azzam. Ia memang murni mengerjai Azzam dan para
wartawan. Ia jadi malu karenanya. Namun ia merasa tidak
akan menyesal jika digosipkan oleh siapa saja kalau dirinya
dekat dengan pemuda itu. Ia tidak akan menyesal. Sebab
ia kini telah tahu kualitasnya. Azzam, secara akademik
memang kalah dengan Furqan yang beberapa waktu terus
dikejarnya. Namun dalam ujian hidup nyata Azzam sudah
menunjukkan karakternya.
Dalam hati, Eliana meneguhkan selesai acara ia akan
mengajak Azzam dan adiknya makan malam bersama. Ia
merasa malam itu benar-benar salah satu malam yang
berbeda baginya.
* * *
132
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
MR. Collection's
8
KECERDASAN ELIANA
Dukuh Sraten Kartasura gempar!
Husna dan Azzam masuk televisi! Hampir seluruh
penduduk Sraten menyaksikannya. Husna tampak sesaat
di berita infotainment seputar selebritis. Yaitu saat Eliana
diwawancarai di Bandara. Penduduk dukuh Sraten seolah
tidak percaya bahwa Azzam dekat dengan bintang film
terkenal Eliana Pramesti Alam. Mereka terhenyak ketika
Eliana mengaku bahwa pria paling dekat dengannya adalah
Azzam. D i t a m b a h d e n g a n opini narasi berita y a n g
menggiring pembaca bahwa Azzam adalah pacar Eliana.
Tayangan kedua adalah acara di Graha Bhakti Budaya
TIM yang disiarkan secara live se-Indonesia. Meskipun
banyak bintang dan artis, namun bintang sesungguhnya
adalah Ayatul Husna. Kata sambutannya dan puisinya yang
ditujukan untuk sang kakak membuat Husna menjadi
latunya para artis dan bintang malam itu. Usai acara Husna
133
dan Azzam diwawancarai. Lalu tampak Eliana mengucapkan
selamat pada Husna. Keduanya berpelukan akrab. Hal
itu semakin mengukuhkan, bahwa Eliana seolah sudah
sangat kenal dengan keluarga Azzam. Bahkan sudah sangat
akrab dengan adiknya.
Pagi harinya beberapa Koran ibu kota dan daerah
mengulas berita itu. Profil Husna dimuat di sebuah Koran
yang bernuansa islami di ibu kota. Foto Azzam tampak
berdua dengan Eliana muncul di beberapa koran.
Tak terkecuali Ibu Nafis, Ibu kandung Azzam juga
m e n y a k s i k a n itu s e m u a dari televisi bersama Lia.
Perempuan setengah baya itu matanya berkaca-kaca. Haru
dan bahagia. Dua anaknya sudah masuk televisi. la sempat
waswas Azzam diberitakan sebagai pacar Eliana. Tapi ia
sangat yakin dengan kualitas akhlak putranya itu. Ia jadi
bangga. Ia akan merestui jika putranya itu misalnya
menikah dengan Eliana. Ibu mana yang tidak suka
p u t r a n y a menikah d e n g a n gadis y a n g sedemikian
cantiknya. Gadis y a n g menjadi pujaan p e m u d a se-
Indonesia. Begitulah cara berpikir Bu Nafis. Sederhana saja.
* * *
Matahari menuju tengah petala langit.
Lia sudah pulang dari mengajar. Ia pulang jam setengah
sebelas. Ia ijin pada kepala sekolah unruk pulang lebih awal
hari itu. Sampai di rumah ia langsung menyalakan televisi.
Dan kembali ia menyaksikan wawancara Eliana saat tiba di
Bandara. Dalam dua hari ini, entah sudah berapa kali
wawancara itu ditayangkan di televisi. Tapi anehnya ia tidak
bosan-bosan juga menontonnya. Entah kenapa, meskipun
ia tidak suka dengan perempuan yang tidak memakai jilbab,
tapi ia merasa bangga kakaknya dekat dengan Eliana.
Lia memperhatikan serius wawancara itu,
"Siapa pria paling dekat dengan Eliana saat ini?"
Seorang wartawan bertanya.
134
"Em... siapa ya. Yang paling dekat saat ini seorang
mahasiswa di Cairo namanya Khairul Azzam!" Jawab
Eliana.
Lalu kelihatan wajah Azzam yang kaget.
"Orang itu sekarang ada di mana?" Kejar wartawan itu.
"Ini di samping saya." Jawab Eliana santai.
Seketika moncong kamera dan belasan alat perekam
mengarah ke Azzam. Berondongan pertanyaan mengarah ke
Azzam,
"Sejak kapan Anda kena! Eliana?"
"Aduh ini apa-apaan!" Seru Azzam panik.
"Santai saja Mas. Kita kooperatif saja jadi enak. Sejak
kapan Anda kenal Eliana?"
"Aduh, gimana ini. Mbak Eliana, bicara dong. Wah kok
jadi rumit begini sih!" Kata Azzam pada Eliana.
"Dia tidak biasa menghadapi wartawan. Kami kenal
sejak satu tahun yang lalu." Sahut Eliana dengan tenang.
"Benar Anda dekat dengan Eliana?" seorang wartawan
mencercar.
"Kebetulan tadi kami satu pesawat dan tempat duduknya
berdekatan. Saya di 15 F, dia di 15 E. Jadi kami memang
dekat." Jawab Azzam.
"Apa profesi Mas saat ini?"
"Jualan bakso."
"Ah, jangan bergurau Mas."
"Sungguh. Tanya saja pada Eliana!"
Wartawan itu langsung bertanya pada Eliana,
"Benarkah dia berjualan bakso?"
"Ya benar. Para diplomat adalah para pelanggannya."
Jawab Eliana.
Klik. Selesai. Layar kaca menampilkan berita selebritis
lain. Lia langsung mematikan televisinya itu.
135
"Berita wawancara itu lagi ya?" Tanya Bu Nafis pada
putrinya sambil membawa sepiring mendoan14
"Iya. Kak Azzam jadi terkenal sekarang Bu. Eh Bue...
Bue... apa benar ya, Kak Azzam itu pacarnya Eliana? Kok
bisa ya? Aku kok belum ketemu nalarnya?" Cerocos Lia.
"Bue kok tidak yakin. Besok saja kita tanyakan
langsung pada kakakmu. Mereka katanya akan sampai di
Kartasura jam enam pagi besok." Jawab Bu Nafis.
Sepiring mendoan goreng itu masih mengepulkan
asap. Bu Nafis baru saja mengangkatnya dari dapur.
Aromanya merasuk hidung Lia yang sedang lapar. Air
liurnya seperti mau keluar. Wajah Bu Nafis tampak cerah.
Ia meletakkan mendoan itu di meja tepat di hadapan Lia.
Karena memang itulah satu-satunya meja di ruang tamu.
Meja serbaguna.
Lia tersenyum pada ibunya. Lesung pipinya membuatnya
lebih mempesona. Mendoan goreng yang masih panas
atau hangat memang kesukaannya sejak kecil. Seminggu
paling tidak tiga kali ia membuat mendoan. Ibunya juga
suka mendoan seperti dirinya. Dalam anggapannya, di
dunia ini tak ada makanan ringan yang lebih nikmat dari
mendoan.
"Bue, Bue... ingat nggak makanan apa yang paling
disukai Kak A z z a m ? " Tanya Lia sambil mencomot
mendoan satu
"Ingat."
"Apa coba?"
"Mendoan."
"Salah!"
"Masak salah?"
"Iya salah. Kak Azzam memang suka mendoan, tapi
ada yang lebih ia sukai."
14 Mendoan; Tempe yang digoreng dengan dibalut adonan tepung yang diberi
bumbu.
136
"Apa itu?"
"Bakwan."
"O ya benar Bakwan, sama seperti ayahmu dulu. Suka
sekali mereka sama Bakwan."
"Bue kalau Kak Azzam benar dekat sama Eliana. Terus
nanti mau menikahi Eliana, Bue setuju tidak?"
"Kalau Eliana itu muslimah. Mau mengaji. Mau
menutup aurat dengan baik dan taat pada suami ya ibu
setuju saja. Siapa tho yang tidak ingin punya menantu
cantik dan kaya seperti Eliana?"
"Kalau Eliana tidak mau menutup aurat dengan baik.
Terus kalau main film cium-ciuman sama lawan mainnya,
bagaimana Bu?"
"Wah kalau seperti itu ya lebih baik menikah dengan
gadis tetangga yang baik dan shalehah. Apa gunanya punya
menantu yang suka ciuman sama lelaki lain. Ih, itu tidak
bisa menjaga kehormatan namanya."
"Tapi artis sekarang rata-rata begitu Bu."
"Semoga Eliana tidak seperti itu."
* * *
Sementara itu, di sebuah kamar hotel Sofyan Azzam
mengingat puisi yang dibaca adiknya untuknya. Puisi yang
begitu tulus. Husna sekarang bukanlah Husna si anak nakal
yang dulu memukul pelipisnya sampai berdarah. Bukanlah
Husna yang sering membuat onar dan membuat jengkel
banyak orang. Husna sekarang adalah penulis cerpen yang
baik, psikolog dan dosen di UNS yang dicintai temanteman
dan anak didiknya.
Manusia bisa berubah. Demikian juga Husna. la telah
berubah setelah melewati proses yang sangat panjang.
Seorang nabi sekalipun menjadi matang sehingga mampu
memikul risalah setelah melalui proses panjang. Setelah
melalui tempaan-tempaan. Sebelum menjadi nabi, seorang
137
Yusuf harus dibuang di dalam sumur. Lalu dijual sebagai
b u d a k . Diuji fitnah Zulaikha. Dipenjara. Barulah
dimuliakan oleh Allah.
Sebelum menjadi manusia yang dijamin masuk surga,
Umar bin Khattab pernah jahiliyyah. Pernah melakukan
perbuatan keji, m e m b u n u h anak perempuannya yang
baru lahir dengan menanamnya hidup-hidup. Ia juga
memusuhi dakwah Nabi. Bahkan berniat m e m b u n u h
Nabi! Namun Umar terus berproses dengan mengikuti
nuraninya yang fitri. Umar terus berusaha lebih baik dari
hari ke hari dengan mengikuti petunjuk nabi.
Ia teringat satu baik puisi adiknya y a n g sangat
menyentuhnya itu.
Kau mencintaiku
Seperti matahari
Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah
Membagi cerah cahaya
Tak pernah lelah
Menghangatkan jiwa
Ingin rasanya membalas puisi adiknya itu. Tapi ia
bukanlah seorang penyair yang pandai memintal katakata
indah penuh makna. Ia ingin mengatakan kepada
adiknya bahwa ia memang benar-benar mencintainya
d e n g a n sepenuh jiwa. Adik-adik dan ibunya adalah
segalanya baginya. Dengan bahasa seadanya, akhirnya ia
goreskan pena untuk menulis puisi pendek yang akan ia
sampaikan pada Husna. Ia menulis beberapa kalimat saja,
aku mencintaimu
seperti bumi
mencintai
mataharinya
Selesai menulis puisi itu, Azzam jadi teringat janjinya
pada Hafez. Ia telah menyanggupi untuk memberi tahu
138
Fadhil tentang keinginan Hafez mengkhitbah Cut Mala.
Kesanggupannya adalah amanah. Amanah yang sangat
penting sebab berkaitan dengan cinta anak manusia.
Alangkah bahagianya jika seseorang bisa menikah dengan
orang yang dicintainya. Dan alangkah bahagianya jika
setelah menikah itu cintanya terus berkembang dari masa
ke masa.
Azzam memutuskan untuk menulis surat kepada
Fadhil saat itu juga. Mumpung ada waktu dan semuanya
tersedia. Setiap hotel biasanya menyediakan surat dan
amplop surat di tiap-tiap kamarnya. Azzam menulis surat
di atas kertas b e r k o p Hotel Sofyan. Dengan p e n u h
khidmat Azzam menulis dengan penanya,
139
la melipat surat itu hati-hati dan memasukkan amplop
yang juga berkop Hotel Sofyan. la berniat mengirim surat
itu siang itu juga. la akan bertanya pada resepsionis apakah
hotel juga bisa membantu pengiriman surat sebagaimana
lazimnya hotel berstandar Internasional.
Telepon di kamarnya berdering. la yakin itu Husna,
adiknya. la angkat.
"Hallo?"
"Ya hallo. Ini siapa?"
"Ini Eliana, Mas."
"Oh Mbak Eliana. Ada apa Mbak?"
"Bisa ngobrol sebentar."
"Mbak ada di mana?"
"Saya ada di lobby hotel. Bareng paman saya. Mas ada
waktu untuk turun?"
140
"Ada. Tunggu sebentar ya?"
"Baik."
Hatinya bertanya-tanya ada urusan apa siang-siang
Eliana datang menemuinya. Tadi malam selesai acara di
TIM Eliana sempat mengajak makan malam bersama. la
dan Husna menolak tidak bisa. Sebab selain sudah cukup
malam, Husna ingin makan malam di hotel berdua saja
dengan dirinya. Husna ingin memuaskan diri ngobrol
dengannya. Maka selesai semuanya ia dan Husna kembali
ke hotel. Sementara Rina dan Luna pulang ke r u m a h
mereka dengan taksi. Husna mengajak mereka tidur di
kamarnya beramai-ramai. Tapi mereka menolak. Mereka
merasa harus pulang malam itu juga.
Azzam menghubungi kamar Husna. Langsung diangkat.
"Kakak ya?"
"Iya Dik."
"Ada apa Kak?"
"Di bawah ada Eliana. Kita turun yuk nemui dia."
"Ayuk."
Sejurus kemudian mereka berdua turun bersama.
Eliana menyambut dengan senyum menawan di bibirnya.
Siang itu putri Dubes Indonesia di Mesir itu memakai kaos
panjang merah jambu yang dipadu dengan celana jeans
merah tua. Rambutnya dia kucir kuda. Apa saja yang
dipakai Eliana dan apa saja gaya rambutnya selalu saja
menjadikannya tampak jelita.
"Sudah lama?" Sapa Azzam.
"Ah tidak. Baru sampai terus telpon Mas Irul melalui
resepsionis. Oh ya kenalkan ini pamanku. Namanya Pak
Marjuki. Lengkapnya Marjuki Abbas. Di Indonesia
beliaulah yang selalu mengawalku." Eliana mengenalkan
pamannya. Lelaki setengah baya itu m e n g u l u r k a n
tangannya pada Azzam sambil tersenyum ramah.
141
"Saya Azzam, Pak. Dan ini adik saya Husna."
"Ya. Saya s u d a h tahu sejak kemarin ketemu di
bandara." Kata Paman Eliana.
"Mbak Eliana tidak ada kegiatan siang ini, kok sempatsempatnya
datang ke sini?" Tanya Husna.
"Siang ini kebetulan kosong. Baru jam tiga nanti ada
acara ketemu sutradara." Jawab Eliana.
"Katanya Mbak mau syuting di Solo ya?"
"Iya. Eh, kapan rencana kalian pulang?"
"Nanti sore."
"Mau naik apa?"
"Awalnya sih mau naik bis. Tapi setelah dipikir-pikir
kayaknya lebih nyaman naik kereta. Karena Gambir kan
dekat dari sini. Jadi rencana naik kereta dari Gambir ke
Balapan Solo. Dari Balapan baru naik taksi ke Kartasura."
Husna menjelaskan.
"Bagaimana kalau aku ikut?"
"Mbak Eliana ikut?"
"Iya. Aku ingin melihat-lihat kota Solo dan setting yang
akan d i g u n a k a n u n t u k syuting. Sekalian aku m a u
bersilaturrahmi menemui Bude di Gemolong."
"Mbak Eliana punya Bude di Gemolong?"
"Iya. Sudah dua puluh tahun beliau di sana. Dia guru
SMP. Bagaimana aku boleh ikut?"
"Boleh saja. Iya Kak?" Ucap Husna sambil menengok
wajah kakaknya.
"Iya boleh saja. Kenapa tidak." Jawab Azzam sambil
mengangkat alisnya.
"Tapi jangan naik kereta ya. Aku sering mabuk kalau
naik kereta." Pinta Eliana.
"Lha terus naik apa? Kalau pesawat maaf kami tidak
bisa." Azzam berterus terang.
142
"Naik mobil pribadiku saja ya. Kita pakai mobil ke
Solo. Biar aku nanti juga mudah kalau mau jalan-jalan di
Solo. Bagaimana?"
"Boleh." Sahut Azzam.
"Kalau begitu kalian tunggu saja di sini sampai aku
datang. Aku ketemu sutradara cuma setengah jam. Setelah
itu aku jemput kalian. Terus kita ke rumahku sebentar.
Baru kita jalan." Terang Eliana bersemangat.
"Sebentar El, kalau menurutku tidak begitu." Pak
Marjuki mengajukan pendapat. Azzam jadi tahu kalau
Eliana juga bisa dipanggil "El".
"Nanti kalian akan terjebak macet. Sebaiknya begini.
Itu sutradara kita samperin sekarang saja. Terus kamu
pulang ke rumah berkemas. Terus ke sini lagi. Dan kirakira
jam tiga kita sudah meluncur meninggalkan kota
Jakarta ke Solo. Jadi kita berangkat lebih siang supaya tidak
terjebak macet." Lanjut Pak Marjuki memberi usul yang
menurutnya lebih baik.
"Ya benar Paman. Tapi b a g a i m a n a kalian? Siap
berangkat jam tiga?" Tanya Eliana memandang Azzam dan
Husna.
"Siap saja." Jawab Azzam singkat.
"Baiklah kalau begitu aku pergi dulu nemui sutradara.
Jam tiga aku kemari. Kuharap kalian sudah siap."
"Insya Allah." Sahut Husna.
* * *
Sore itu tepat jam tiga Eliana menjemput dengan
Toyota Fortunernya. Eliana hanya ditemani sang paman.
Azzam dan Husna telah siap di lobby hotel. Barang-barang
dinaikkan. Azzam d u d u k di d e p a n m e n e m a n i Pak
Marjuki. Husna dan Eliana di belakangnya. Doa safar
dipanjatkan, mereka b e r e m p a t memulai perjalanan
panjang.
143
"Kenapa tidak pakai Camry Pak?" Tanya Azzam sambil
memandang ke depan. Sesekali ia melihat kiri dan kanan.
Fortuner itu meluncur di tol dengan kecepatan di atas
seratus kilometer perjam.
"Kebetulan itu Camry sudah saatnya diservis dan
belum diservis. Kalau tadi nyervis dulu ya tidak cukup
waktunya. Dan saya lebih mantap pakai Fortuner kalau
keluar kota." Jelas Pak Marjuki.
"O iya Pak, kira-kira kita sampai di Solo pukul berapa
ya. Biar Husna sms adiknya?"
"Insya Allah, sekitar pukul empat pagi."
Sementara belakang Husna nampak asyik berdiskusi
dengan Eliana. Putri Dubes Mesir itu ternyata tahu banyak
tentang teori psikologi. H u s n a sangat menikmati
berdiskusi dengan mahasiswi jebolan EHESS Prancis itu.
Di mata Husna Eliana sangat berbeda dengan artis pada
umumnya. Eliana benar-benar memiliki kelas tersendiri.
Cerdas dan berwawasan luas.
"Menurut Mbak Eliana, kenapa ada negara lebih maju
dari negara lain. Dan ada negara yang ketinggalan dari
negara lain." Tanya Husna.
"Sejarah mencatat b a h w a prestasi-prestasi besar
dilahirkan oleh mereka yang hampir tidak punya waktu
untuk istirahat. Mereka yang bekerja keras dengan pikiran
cerdas. Kenapa ada negara lebih maju dari negara lain, dan
ada negara yang ketinggalan dari negara lain? Jawabannya
menurutku sederhana saja. Suatu negara lebih maju dari
negara lain karena negara itu lebih hebat kerja kerasnya
dari negara lain. Dan jika ada suatu negara ketinggalan
jauh di belakang negara lain, itu karena negara itu sangat
parah malasnya.
"Benyamin Franklin mengatakan bahwa malas adalah
pangkal kemiskinan. Sedangkan Leonardo Da Vinci
mengisyaratkan bahwa malas adalah pangkal kebodohan.
144
Da Vinci pernah mengatakan, 'Sama seperti besi yang bisa
berkarat karena jarang digunakan, maka berdiam diri bisa
merusak kesehatan.'
"Jika bangsa kita masih dikategorikan bangsa yang
ketinggalan dari bangsa lain m e n u r u t k u ya karena
mayoritas penduduk kita adalah para pemalas. Lihatlah
para pelajar yang malas-malasan. Pegawai negeri yang
banyak bermalas-malasan. Aku pernah menjenguk seorang
kerabat yang sakit di sebuah rumah sakit umum di kota
S. Pelayanannya sangat buruk. Para perawat acuh tak
acuh. Ketika pasien mengerang kesakitan, para perawat itu
malah asyik nonton televisi. Jika kita bandingkan dengan
Jepang misalnya sangat jauh. Di Jepang, tidak ada kursi di
ruang perawat, apalagi televisi. Dan perawat di sana itu
malu kalau terlihat menganggur tidak melakukan apa-apa.
"Kau tahu apa yang terjadi akibat malasnya perawat
itu? Pasien lebih lambat sembuhnya. Padahal tidak sedikit
pasien yang sangat diperlukan tenaga dan pikirannya
untuk membangun negara. Misalnya kerabatku itu, dia
seorang dosen di sebuah perguruan tinggi di sana. Di kota
S. Seharusnya mungkin dia cuma dirawat di rumah sakit
selama tiga hari. Gara-gara perawatnya yang malas dan acuh
tak acuh dia harus dirawat selama lima hari. Jadi ada dua
hari yang hilang sia-sia.
"Hari adalah kumpulan waktu. Dan waktu adalah
modal paling berharga yang dimiliki oleh ummat manusia.
Dua hari yang sia-sia itu jika diproduktifkan akan sangat
besar andilnya dalam memajukan bangsa. Kita jangan
melihat waktu sia-sia dari satu orang saja. Kita bayangkan
jika yang mengalami nasib seperti kerabatku itu jumlahnya
dua juta orang dari total jumlah penduduk Indonesia. Jadi
dua kali dua juta. Berarti empat juta hari yang terbuang
sia-sia karena malas.
"Coba renungkan empat juta hari ini kalau dimanfaatkan
secara optimal akan menghasilkan apa? Oh, jadi tak
145
terbayang betapa ruginya kita karena malas. Bukan saja
kita rugi karena malasnya diri kita, tapi kita juga sering
dirugikan karena kemalasan orang lain. Ini baru kita lihat
yang terjadi di rumah sakit. Belum di pasar. Belum di jalan
raya. Belum di lembaga pendidikan. Belum di instansiinstansi
pemerintahan dan Iain-lain."
Eliana menjawab panjang lebar. Husna terperangah
dibuatnya. Husna diam sesaat lalu kembali bertanya,
"Aku punya tetangga yang menurutku sangat giat dan
rajin. Jam tiga s u d a h b a n g u n u n t u k m e n y i a p k a n
dagangannya sampai subuh tiba. Setelah subuh dia
langsung menata dagangannya di pinggir jalan. la jualan
nasi sambel tumpang. Pukul sembilan ia selesai jualan. Lalu
pulang dan menyiapkan dagangannya yang lain. Yaitu
ayam goreng. Pukul dua siang dagangannya itu baru siap.
Ia istirahat kita-kita satu jam. Lalu jam tiga sudah mulai
membuka warungnya sampai jam sepuluh malam. Begitu
setiap hari. Tapi kenapa dia kok tetap miskin dan banyak
hutang. Ini cara menganalisanya bagaimana Mbak?"
"Menurutku begini," Jawab Eliana, "Rajin dan giat saja
tidak cukup. Ada yang lebih penting sebelum rajin dan
giat, yaitu alasan kenapa harus rajin dan giat. Ada giat yang
lebih banyak menimbulkan letih saja namun ada giat yang
melahirkan hasil luar biasa. Banyak orang tidak dapat
membedakan antara sibuk dan produktif. Mereka yang
hanya sibuk tapi tidak produktif dalam bahasa Caroline
Donnelly adalah ibarat kincir angin berwujud manusia.
Bekerja keras tapi sedikit hasilnya."
Mobil itu terus melaju kencang meninggalkan kota
Jakarta. Terbersit dalam benak Husna jika gadis yang ada
di s a m p i n g n y a itu berjilbab dan pikiran cerdasnya
d i g u n a k a n u n t u k m e m b e l a agama Allah alangkah
dahsyatnya. Ia berdoa kepada Allah semoga suatu saat nanti
hal itu benar-benar terjadi.
* * *
146
Bersambung.....
Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya
di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt

Tidak ada komentar:

Posting Komentar